BAB 9

557 6 0
                                    

Setelah Gabby memakai kimono untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, dia pun ikut Arnold pergi ke rooftoop.

"Kenapa kau mengajakku ke sini?" tanya Gabby sambil celingukan.

Embusan angin malam menyapu rambut cokelatnya hingga berserakan menutup wajah. Berkali-kali Gabby harus merapikan rambutnya dan menyelipkan ke antara daun telinga.

"Aku cuma mau nikmatin angin malam sambil ngobrol aja," jawab Arnold.

Mereka pun terduduk di kursi payung sambil melihat pemandangan kota dari rooftop.

Gabby menunduk, masih memainkan kuku jempolnya. Dia tak tahu harus berkata apa.

"Kamu baru pertama kali ya, kerja di sini?"
tanya Arnold seraya menghisap sebatang rokok.

"Iya," jawab Gabby singkat.

"Kayaknya kamu masih muda. Umur berapa?"

"Dua puluh tahun."

Arnold mencebik lalu mengangguk tanda mengerti.

"Udah punya pacar?"

Gabby menatap Arnold beberapa detik sebelum menjawab, "Tidak."

"Aku sangat menyayangkan kau bekerja di tempat seperti ini, Gabriella. You deserve better."

Mendengar perkataan Arnold, seketika mata Gabby berkaca-kaca. Dia tak menyangka bahwa Arnold tak seburuk yang dia pikir.

"Kukira dia akan sama dengan si Brengsek Raizel," batin Gabby.

Arnold menyadari bahwa Gabby mulai menangis. Dia pun berinisiatif untuk menenangkannya. Arnold segera mematikan puntung rokok lalu terduduk di sebelah Gabby.

"Kamu nangis?"

Pertanyaan Arnold malah membuat tangisan Gabby semakin membuncah. Gadis itu pun membenamkan wajahnya di kedua telapak tangan.

"Ssh, Ssh, Ssh! Aku tahu perasaanmu. Kamu yang sabar ya! Nanti aku bantu cari jalan keluarnya."

"To-tolong aku, Kak. Tolong bawa aku keluar dari sini!" pinta Gabby dengan tatapan penuh harap.

Arnold menangkup wajah mungil Gabby dengan kedua tangannya. Kemudian menghapus bulir air yang menggelinding di antara pipi.

"Iya. Nanti aku bantu. Kamu jangan khawatir," ucap Arnold lembut.

Dia pun memeluk Gabby sambil mengelus rambutnya.

Satu jam telah berlalu. Arnold pun mengantarkan Gabby kembali ke kamarnya. Dia menuntun Gabby menuruni tangga agar tak terjatuh.

Perhatian Arnold membuat Gabby merasa nyaman. Apalagi saat Gabby telah sampai di depan kamarnya, Arnold membelai rambut Gabby dengan lembut. Perlakuan manis itu menciptakan desiran lembut di hati Gabby.

"Makasih ya, Kak," ucap Gabby, tersenyum manis.

"Cie, manggil Kakak!" ejek Arnold sambil mengacak rambut Gabby.

Gabby hanya tersipu menerima perlakuan itu. Sampai akhirnya dia berpamitan untuk masuk kamar.

"Aku masuk dulu ya!" seru Gabby.

Arnold mengangguk sambil tersenyum manis.

"See you next time," ucapnya.

Gabby membalas ucapan Arnold dengan senyuman. Kemudian dia masuk ke kamar dan mengunci pintu.

"Gemes banget, sih!" seru Gabby dengan semringah.

Kamar yang sudah disiapkan khusus untuk Gabby terlihat gelap. Gadis itu pun mencari saklar untuk menyalakan lampunya.

Setelah kamarnya terang, tiba-tiba Gabby dikejutkan oleh seseorang yang terduduk di di kursi depan cermin.

"Siapa yang gemes?" tanya orang itu.

Ternyata dia adalah Raizel. Pria itu bertanya dengan raut datar.

"Astaga!"

Gabby terperanjat melihat Raizel yang ada dalam kamarnya.

"Kok bisa di sini?" pekik Gabby tak percaya.

"Kalau orang tanya, jangan balik nanya! Lo belom jawab pertanyaan gue!" geram Raizel. Dia bangkit dari duduknya terus melangkah mendekati Gabby yang masih bergeming sambil bersandar ke pintu.

Gadis itu menelan ludah. Makin lama Raizel terlihat sangat menyeramkan.

"Emm, a-aku cuma.... "

Raizel menghentikan langkahnya setelah berdiri di hadapan Gabby. Dia merapatkan tubuhnya hingga gadis itu merasa tersudutkan.

Kemudian Raizel meletakkan kedua telapak tangannya ke permukaan pintu. Mengapit tubuh Gabby di antara lengan kekarnya. Kini wajah pria itu sangat dekat sehingga Gabby hanya bisa menunduk, tak kuasa menatap Raizel.

"Siapa yang gemas?" tanya Raizel sekali lagi.


TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now