BAB 33

308 3 0
                                    

Laporan George yang berkata bahwa Danny mengaku disuruh seseorang berhasil membuat gaduh seisi kantor. Bahkan berita itu sampai ke kantor pusat dari mulut ke mulut beberapa polisi yang gemar bergosip. Sayangnya laporan George tak dapat diproses karena tak ada bukti yang menyertakan ucapan tersebut. Peraturan yang melarang bawa ponsel saat membesuk narapidana membuat George kesulitan untuk merekam. Apalagi di era modern seperti ini dia tak kepikiran sama sekali untuk membawa alat perekam.

“Argh! Kayaknya gue harus ketemu Danny lagi.”

Sejak lima hari George membuat laporan, akhirnya dia memiliki waktu luang untuk bertemu kembali dengan Danny karena jadwalnya yang terlalu padat akhir-akhir ini. Pasalnya, George sedang mengikuti seleksi untuk menjadi anggota BIN.

Baru saja George memarkirkan mobilnya di parkiran lapas, tiba-tiba dia mendengar suara ambulans dan beberapa keributan di pintu masuk. Entah kenapa perasaan George tak  enak saat berniat KEPO dengan apa yang terjadi.

“Siapa yang meninggal?” batin George seraya melangkah lebih dekat ke arah ambulans.

Dari dalam, terlihat beberapa polisi menggotong sesosok tubuh pria yang tampak babak belur di bagian wajah.

George memperjelas pandangannya dan menatap lamat-lamat pria yang memakai baju tahanan tersebut.

“Astaga! Danny?” pekiknya,

George bertanya dengan sangat panik ke beberapa orang yang turut berada di sekitarnya.

“Ada apa ini, Pak? Kenapa dia babak belur seperti itu?”

Seorang polisi yang memakai jaket kulit menghela napas panjang lalu menjelaskan kronologinya kepada George.

“Dia meninggal di tempat saat para napi mengeroyoknya.”

George menjegil, tak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Atas dasar apa dia dikeroyok, Pak?”

“Ya, biasalah namanya di dalam penjara. Para napi kan benci banget sama kita.” Polisi itu mengusap-usap punggung George sebelum akhirnya meninggalkan George dan masuk ke dalam.

“Makanya kamu hati-hati, ya! Dengan mencoreng nama instansi kita aja udah salah besar. Apalagi membunuh atasan dengan menyalahgunakan jabatannya.”

George termangu di depan pintu masuk. Dia tak pernah menyangka jika Danny akan pergi secepat ini menyusul ayahnya. Meskipun ini adalah hukuman setimpal yang didapat oleh Danny setelah membunuh Jonathan, tapi George mendengar sendiri kalau sahabatnya itu membunuh atas dasar perintah. Namun siapa yang tega memberikan perintah keji semacam itu?

“Apa kematian Danny kali ini pun ada hubungannya karena dia telah memberikan sebuah petunjuk?”

Di tengah lamunannya, tiba-tiba fokus George teralihkan oleh kehadiran mobil SUV berwarna putih yang menurunkan sorang Jenderal pangkat dua, Richardo.

Diketahui bahwa sebelumnya Danny merupakan seorang ajudan dari Richardo  sejak pria paruh baya itu naik pangkat. Butuh waktu tiga tahun untuk Richardo menyalip pangkat Jonathan akibat kepiawaiannya mengungkap berbagai macam kasus besar seperti pembunuhan, penculikan, hingga narkoba.

Sepertinya Richardo baru mendengar kabar bahwa mantan ajudannya itu meninggal akibat dikeroyok narapidana lain. Oleh sebab itu dia mendatangi lapas tapi terlambat beberapa menit karena ambulans yang membawa jasad Danny baru saja pergi.

“Loh, Bukannya kamu George? Kenapa ada di sini?”

Tanya Richardo seraya melangkah mendekati George.

Dengan spontan George menegakkan badannya dan memberi hormat kepada Jenderal bintang dua tersebut.

“Siap, Komandan! Saya ingin membesuk Danny.”

Richardo manggut-manggut mendengar jawaban pemuda di hadapannya.

“Kamu juga sudah mendapat kabar kalau Danny baru saja meninggal di lapas?”

“Siap, belum, Komandan! Saya baru saja tiba.”

“Baiklah. Santai saja! Anggap kita sedang berada di luar jam kerja selama berduka.”

“Siap, Komandan!”

“Kalau begitu, mari bersama-sama melihat kondisi Danny,” ajak Richardo, menepuk pelan bahu George.

“Ta-tapi Jenazahnya baru saja dievakuasi, Komandan.”

Seketika Richardo menaikan kedua alisnya. “Oh, ya?”

“Iya, Komandan!”

“Aduh, sepertinya saya terlambat. Kalau begitu kita tak perlu mengikutinya ke rumah sakit karena situasinya pasti sangat tidak kondusif.”

“Baik, Komandan. Kalau begitu saya pamit lebih dulu.” George berniat untuk meninggalkan Richardo karena dia tak begitu suka basa basi, apalagi dengan orang yang lebih tua.

Namun, niat George untuk pergi seketika dihentikan oleh Richardo.

“Tunggu!”

Sontak George sedikit tergemap seraya menelan saliva yang terasa getir.

“Mari kita bicara sebentar, George!” seru Richardo bernada serius.

***

TAWANAN CINTA MAFIA TAMPANWhere stories live. Discover now