34.1

2.3K 317 8
                                    

Akhirnya, aku tahu mengapa di kehidupan sebelumnya Kak Lio tak pernah mengajakku ke rumahnya. Ternyata dia tak mau ketahuan bahwa dia anak yang dimanja!

Untuk remaja laki-laki 16 tahun yang sedang jatuh cinta tak akan mau terlihat dimanja oleh orang tuanya di depan pacarnya sendiri.

Beberapa hari lalu, setelah aku dan Mama Kak Lio melihat-lihat album foto masa kecil Kak Lio, kami bertiga akhirnya makan bersama. Mama yang katanya sudah makan siang, memutuskan untuk kembali makan karena ingin menyicipi masakan anak tunggal kesayangannya.

Kak Lio selalu diperlakukan manis oleh mamanya di hadapanku sampai membuatku jadi senyum-senyum sendiri apalagi kalau Kak Lio sudah berengut sambil melirikku dengan malu. Aku menikmati pemandangan di mana mamanya mengusap-usap rambutnya dan memperlakukannya seperti anak laki-laki berumur 5 tahun.

Cowok yang diperlakukan seperti anak laki-laki berumur 5 tahun itu sekarang sedang memantulkan basket ke lapangan dengan gagahnya. Aku tiba-tiba tertawa sendiri dan karena itu juga Kak Lio—yang sebelumnya asyik dengan permainannya—menatapku dengan keheranan.

"Ada yang lucu?" tanyanya.

Aku segera menggeleng. Kalau aku pikir-pikir lagi, Kak Lio ini serba bisa. Ada begitu banyak piagam di rumahnya. Dari lomba-lomba di masa kecil sampai dia SMA. Dia bisa bermain bola, bisa basket, jago lari, bisa bermain piano, bisa memainkan gitar, bisa bernyanyi. Selengkap itu! Namun, Kak Lio tak pernah serius dengan salah satu di antara semua itu dan hanya menjadikannya sebagai hobi. Dia pandai dalam bidang musik, tetapi tak bercita-cita untuk menjadi seorang musisi. Tak heran, ketika anak band sekolah membutuhkannya, dia memilih keluar dengan alasan tak suka menjadi pusat perhatian.

Aku sudah lelah karena berlari 1 putaran lapangan basket ini sementara Kak Lio masih saja asyik berlari dengan basketnya. Tubuhku yang hanya olahraga seminggu sekali karena mata pelajaran olahraga langsung ingin pulang ke rumah dan tidur dengan nyengak. Aku benar-benar mengantuk. Akan tetapi, tubuhku kali ini tidak separah saat aku berumur 20-an. Tentu saja. Semakin bertambahnya usia tubuh, maka semakin banyak jenis minyak-minyak aroma terapi yang kubutuhkan.

"Bangun!" seru Kak Lio sambil menangkap bola basketnya. "Katanya mau belajar main basket? Ayo renggangkan badan dulu."

Aku memang meminta Kak Lio mengajariku basket karena minggu depan ada penilaian praktik bola basket di mata pelajaran olahraga.

Kuulurkan tanganku pada Kak Lio dengan memelas. "Tarik."

"No skinship."

Aku cemberut. "Gimana caranya Kak Lio ngajarin gue nanti?"

"Makanya bangun dulu."

Aku berusaha berdiri dengan malas-malasan. Kak Lio tiba-tiba melemparkan bola basket kepadaku. Aku yang tidak siap hanya bisa melotot dan pasrah menerima dengan refleks. Untung saja aku bisa menangkapnya sebelum bola basket itu menghantam dadaku.

"Aset gue hampir lo sakitin!"

"Aset...?" Kak Lio menatapku dengan tatapan bertanya-tanya, lalu dia melirik bagian tubuh di mana bola basket itu dia tujukan. Dia lalu memalingkan wajah dengan salah tingkah. "Mana sampai pikiran gue lempar ke sana.... Nggak sengaja."

Aku memantulkan bola basket ke lapangan, lalu memukulnya.

"Jangan dipukul, didorong." Kak Lio tiba-tiba berada di sampingku.

"Kayak gini?" Kudorong bola basket itu ketika mengenai tanganku yang menunggu di atasnya. "Gini, kan?"

"Yap."

Kami benar-benar berlatih basket tanpa ada kejadian romantis yang terjadi. Kami menjaga batas dan bersikap seperti seorang pelatih basket yang melatih anak muridnya. Ini lebih menyenangkan daripada seorang cowok yang melatih basket sambil memeluk pacarnya di tengah-tengah keseriusan berlatih.

Aku melompat dan melempar bola ke ring basket. Bola basket itu memutar di dalam, tetapi tiba-tiba keluar dan tak jadi mencetak poin. "Ah, ck. Kenapa susah banget, sih! Kak Lio!"

"Apaaa?"

"Bantuin, dong!" Kutatap Kak Lio yang sedang bersantai di tengah lapangan.

"Bantuin apa?"

"Biar bisa cetak poin!"

"Coba aja terus. Cari posisi nyaman lo. Tadi bentar lagi, tuh. Lebih relaks lagi. Jangan tegang!" teriak Kak Lio. "Tembak bagian dalam gambar kotaknya!"

Aku mencoba saran-saran Kak Lio dan memfokuskan tembakan bolaku pada gambar kotak. "YES!" Bola basket itu akhirnya berhasil masuk ke ring basket. "Huaaa, capek!"

Aku berlari kecil menghampiri Kak Lio yang sudah tiduran saja di bagian lapangan yang tertutupi oleh bayangan pohon. Aku ikut berbaring di samping Kak Lio. Ada jarak sekitar dua meter agar Kak Lio merasa nyaman.

"Adem banget di sini. Jadi ngantuk." Kelopak mataku jadi ingin tertutup rapat merasakan angin lembut yang mengenai kulitku. Aku memejamkan mata dan merasakan ujung telunjukku disentuh seseorang. Pejaman mataku langsung terbuka dan aku menoleh, melihat Kak Lio lah pelakunya. Kak Lio menatapku dalam diam. Aku menatapnya bingung. Ada apa dengannya tiba-tiba seperti ini?

"Gimana kalau suatu saat gue pergi ninggalin lo karena takdir bukan karena keinginan?"

DaraWhere stories live. Discover now