14

3.9K 357 48
                                    

Aku tidak berniat untuk pergi tiba-tiba dari hidup Kak Lio hanya karena pemikiran objektifku yang belum tentu benar. Pada akhirnya, aku memilih untuk ke kosan Kak Lio daripada pulang ke rumahku untuk melanjutkan tangisan yang hanya akan berakhir sia-sia. 

Tak kupedulikan segala hal yang menggangguku sejak tadi. Satu-satunya keinginan terbesarku saat ini adalah mendengar penjelasan langsung dari Kak Lio tentang apa yang sebenarnya terjadi. Aku juga sengaja tidak mengaktifkan ponselku karena agar aku bisa memberikan kejutan padanya. Sembari memandang pintu kamarnya terbuka, aku menunggu kedatangannya dengan harap-harap cemas. Aku menyiapkan hati jika saja dia datang dengan seorang cewek. Entah itu Kak Abel atau cewek lain. 

Aku duduk diam di lantai dekat kasur. Bibirku terkatup rapat saat suara kunci yang diputar dari luar terdengar. Ketika pintu itu terbuka, aku langsung berdiri dan melihat Kak Lio memandangku dengan ekspresi yang terlihat panik dan khawatir di wajahnya.

"Satpam kosan bilang ngelihat lo ke sini," katanya saat semakin mendekat, membuatku refleks menjaga jarak. "Dara."

Aku langsung membuang muka, kesal.

"Apa lo salah paham lagi?" Dia berhasil berdiri di hadapanku, memegang kedua lengan atasku sembari memandangku dengan tatapan yang dalam. "Gue pikir lo nggak ada di sana dan gue masih berusaha nyari lo, tapi gue baru nemuin lo saat lo pergi—"

"Coba Kak Lio tanya ke diri Kak Lio sendiri? Kira-kira kenapa gue selalu salah paham?" 

"Dara."

"Tolong jujur, Kak! Apa hubungan Kak Lio dengan Kak Abel?!" Aku tak sadar berteriak dan cowok di depanku ini mendekapku erat, membuat tangisku menjadi pecah dan tak bisa kutahan sekali lagi. 

"Gue tegasin, Dara. Gue nggak ada hubungan khusus dengan Abel." Kak Lio menenangkanku sambil mengelus punggungku, membuatku semakin merasa cengeng. "Bahkan sepertinya lo nggak denger hal paling gue tunggu-tunggu karena telinga lo tersumpal earphone."

Aku menjauh dan memandang Kak Lio dengan serius. "Kak Lio ngomong ... apa?"

"Tentang gue yang punya seseorang yang spesial," katanya sambil mengusap air mata di pipiku. "Walaupun gue nggak ngomong siapa orangnya karena gue nggak mau hal itu bakalan ngerugiin lo, tapi yang jelas seseorang yang spesial itu adalah lo."

Aku menunduk dalam. "Kak Lio nggak pernah tegas tentang hubungan kita yang sebenarnya apa."

"Gue nggak pernah nyium cewek selain lo." Kak Lio menangkup kedua pipiku dengan tangannya. "Cuma lo satu-satunya, Dara."

Aku memegang tangan Kak Lio di pipiku. "Gue cuma butuh penegasan. Hubungan kita. Status kita. Apa?"

"Lebih dari pacar." Setelah Kak Lio berkata seperti itu, dia mendekati wajahku dan mencium bibirku dengan singkat. 

Kak Lio lalu menjauh dan menatap mataku lekat-lekat. Tangannya bergerak menyelipkan rambut-rambut yang menjuntai di pipiku ke belakang telingaku. Aku menghindari tatapan yang selalu membuat perasaanku kacau. Apalagi beberapa saat lalu dia mencium bibirku lagi walau tak selama dulu.

Entahlah. Terkadang, aku merasa Kak Lio sedikit menakutkan. Seolah dia sedang berpikir untuk melakukan sesuatu kepadaku kapan saja. Meski aku berpikir begitu, aku tidak lari dari hidupnya. Rasa nyaman yang lebih besar membuatku bertahan di sisinya.

"Dara...." 

Suara serak yang sedikit berbeda dari saat dia bernyanyi, napas yang pendek-pendek, tatapan sayu yang membuatku sedikit takut. Aku asing dengan ciri-ciri itu, tetapi secara alami aku sadar ini bukanlah hal yang baik.

Namun, sekali lagi, aku tidak lari. "Ya, Kak?"

"Perasaan gue nggak enak." Kak Lio menjauh dariku. Dia mengambil kunci motornya di gantungan. "Gue anterin lo pulang, ya?"

DaraWhere stories live. Discover now