38

2K 280 25
                                    

"Apa?" Aku benar-benar terkejut mendengarnya. "Jangan aneh-aneh, Kak."

"Nggak aneh-aneh, kok," balasnya cepat. "Gue ... cuma takut kehilangan lo lagi."

Aku tertegun. Lagi-lagi dia mengatakan hal itu.

"Kenapa Kak Lio takut kehilangan gue lagi?" Kutekan kata terakhirku, tetapi yang kudapatkan hanya keheningan dari seberang sana. "Kak?"

"Lo harus tidur. Sekarang udah malam. Jangan tidur telat."

Kak Lio mengalihkan pembicaraan. Itu artinya dia tidak mau membahas tentang pertanyaanku lebih lanjut. "Kak Lio juga tidur," bisikku sambil berbaring di tempat tidur, lalu merapikan posisi dan selimutku. "Tapi jangan matiin, ya? Temenin."

"Iya, Dara."

***

Aku turun dari mobil dan Ara langsung terlihat di depan gerbang dengan gelisah.

"Oi!" serunya sambil berlari ke arahku dan langsung merangkul lenganku. Wajahnya terlihat khawatir sambil membawaku melewati gerbang sekolah. "Si Reva asli parah banget! Dia nge-kick lo katanya supaya lo nggak baca komentar-komentar nyelekit temen-temen kelas tentang foto ciuman itu. Gue pikir dia ikut khawatir, tapi ternyata dia sedikit pun nggak ngebela lo di grup. Dia diem aja! Tiffany juga diam aja sialan. Si anak baru juga diem aja! Waktu gue tanya Reva kenapa nggak bantuin lo, dia cuma bilang mau cari aman. Nggak mau ikut terseret. Ish! Tiffany nggak balas pesan gue, pasti dia ngikut Reva! Alula cuma bilang kalau dia turut prihatin dengan apa yang terjadi sama lo, tapi nggak bisa ngelakuin apa pun. Ish! Ish. Kesel banget. Cuma gue yang berusaha larang anak-anak lain untuk ngomentarin hal yang belum pasti, tapi mereka terlalu percaya katanya apa lagi yang musti disangkal? Semuanya udah jelas nyenyenye!"

Ara terlalu bersemangat. Meskipun bercerita panjang lebar, dia mengucapkannya dengan berbisik agar yang tak sengaja lewat di dekat kami tak mendengar ucapannya. Aku masih kelas sepuluh, tetapi beberapa yang aku lewati tahu wajahku dan mereka pasti akan teringat dengan foto vurgal itu.

"Kenapa lo percaya sama gue?" tanyaku.

"Astaga, Dara!" seru Ara, lalu lanjut berbisik. "Gue kan pernah nggak sengaja lihat tete lo. Tete lo nggak sekendor yang di foto!"

Mulut anak ini sevurgal foto yang tersebar itu. Dia memang tak sengaja melihatku saat aku mengganti pakaian di kamar mandi pribadinya yang tidak aku kunci. Dia langsung masuk begitu saja, lalu teriak sendiri melihatku yang setengah telanjang.

"Malah gue kan suka salfok ke dada orang yang gede waktu ganti baju olahraga, malah mirip punya Alula nggak, sih?"

Aku langsung menjitak rambutnya. "Ya, jangan bilang nama orang sembarangan juga, Ara."

Ara mengusap kepalanya sambil cemberut. "Habisnya, yang di foto itu kendor banget. Nggak setuju gue yang udah lihat secara live."

Kami melangkah bersama hingga tiba di kelas. Kelas yang tadinya berisik, langsung hening saat melihatku. Musa yang biasa menyapaku di pagi hari, langsung mengalihkan perhatian ke buku di depannya.

Aku menuju tempat dudukku dan melihat Reva dan Tiffany yang tak menyapa. Mereka menyibukkan diri dengan membicarakan hal lain seolah takut aku sapa. Jadi, aku berakhir mendiamkan mereka dan segera duduk di bangkuku. Wajar saja mereka semua berpikir bahwa cewek dalam foto itu benar-benar aku karena editan yang sangat mulus sampai semua orang telah tertipu.

Tak apa.

Aku sudah terbiasa dengan semua ini. Daripada memikirkan cara untuk kembali mendapatkan kepercayaan teman-teman yang sudah membuatku nyaman, aku lebih memilih untuk tidak melakukannya dan membiarkan mereka mempercayai kebohongan yang mereka lihat. Untuk apa juga aku mengambil kembali kepercayaan mereka yang mudah dihasut pihak luar.

"Dara...."

Sentuhan di punggung tanganku membuatku terasadar dari lamunan. Aku menoleh dan melihat raut khawatir di wajah Ara. Aku tersenyum kecil. "Gue baik-baik aja, kok."

Cepat atau lambat aku akan dipanggil pihak sekolah terkait foto itu atau bahkan mungkin saja hari ini akan ada rapat komite sekolah yang membahas tentang foto mirip denganku yang tersebar.

***

"Untung ya guru-guru yang ngajar di sekolah ini nggak suka nyindir-nyindir hal yang belum bisa dipastiin kebenarannya," kata Ara. "Nggak kayak guru di SMP gue."

Aku juga tidak menyangka karena tidak ada satu pun guru yang membahasnya. Aku tidak dipanggil kepala sekolah, wali kelas, atau pun guru BK.

Reva, Tiffany, dan juga Alula tak pernah mengajakku bicara. Ketika aku di kantin, hanya Kak Lio, Ara, Kak Abel, dan teman-teman Kak Lio dan Kak Abel yang masih ada di sekitarku. Meskipun Kak Abel sempat percaya dan mengatakan foto itu adalah bagian dari masa lalu dan bukan salahku karena yang paling salah adalah si penyebar, tetapi Kak Abel langsung percaya saat Kak Lio mengatakan bahwa foto itu adalah hasil rekayasa dari orang tak bertanggung jawab yang telah mengedit wajah cewek itu menjadi wajahku.

"Yang punya badan di foto itu pasti ketar-ketir. Harusnya dia yang malu karena badan aslinya kesebar. Muka doang diganti," kata Ara lagi. "Dar...."

"Hm?"

"Sebenarnya ... gue takut, sih," bisik Ara sambil memeluk lenganku ketika kami berada di koridor yang sepi menuju gerbang untuk pulang sekolah. "Gue suka foto setengah telanjang. Buat pribadi, doang. Waktu lihat foto tersebar itu, gue langsung hapus foto-foto yang tersisa. Tapi nggak tahu kenapa, gue tetap takut aja. Handphone gue sempat rusak dan nginep di tempat servis dua hari. Mereka ... nggak akan ngambil foto gue sembarangan, kan?"

"Harusnya," balasku pelan. "Tapi, Ara, kita nggak tahu apa yang akan terjadi ke depan. Itu bahaya. Lo pengin gue temenin ke tempat servis itu dan mastiin? Mungkin kita bisa ancam, kalau ada foto aneh-aneh yang tersebar, mereka bisa kita tuntut dan bawa ke hukum. Mereka harus hapus secara permanen kalau mereka diam-diam nyimpen."

Ara menggeleng kencang. "Gimana kalau ancaman dari anak bau kencur kayak kita ngebuat mereka malah jadi ngancam balik?"

Aku jadi terdiam. Benar juga. "Ah, gue minta tolong ke Nyokap gue. Orang-orang kayak mereka pasti akan ciut kalau denger Nyokap gue kerja di mana."

"Memangnya kerja di mana?"

Pertanyaan Ara tak langsung aku jawab karena mendengar keributan dari dekat gerbang sekolah. Aku tersentak karena tarikan kencang Ara. Dia berlari kencang seolah takut ketinggalan momen. Kendaraan-kendaraan siswa yang ingin lewat jadi terhalang. Keramaian dan suasana ini ... sepertinya ada yang sedang berkelahi. Beberapa siswa bahkan turun dari motornya untuk ikut melihat apa yang sedang terjadi di sana.

"Dara! Bukannya yang berantem itu Kak Lio?"

Aku membelalak dan melepaskan genggaman Ara untuk segera menerobos kerumunan. Benar. Kak Lio bertengkar dengan seseorang. Seseorang yang tak kusangka-sangka. Seseorang berseragam SMA sekolah lain, yang wajahnya mirip dengan cowok dalam foto vulgar itu.

Lalu, aku terkejut mendengar perkataan dari cowok yang tidak aku kenali itu. "Dara itu cewek gue, anj*ng! DENGER! CEWEK GUE SEJAK DIA MASIH SMP!"

*******. Aku mengumpat dalam hati karena pengakuan bohongnya di depan banyak orang.

DIA SIAPA?

*** 


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraWhere stories live. Discover now