03

5.4K 537 10
                                    


Selama ini, aku anti laki-laki kecuali laki-laki itu adalah keluargaku seperti ayah, kakek, paman, atau saudara-saudara sepupuku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selama ini, aku anti laki-laki kecuali laki-laki itu adalah keluargaku seperti ayah, kakek, paman, atau saudara-saudara sepupuku. Namun, cowok bernama Lio ini membuatku justru tak ingin berbalik untuk pergi. Aku hanya berdiam diri menatap sepasang matanya yang mengunci tatapanku. Kata terlanjur sudah bukan alasan lagi untuk aku tetap berada di sini karena jauh di dalam hatiku, aku memang ingin tetap berdiri di dekatnya secara suka rela dan merespons perkataannya barusan.

"Kita kan satu sekolah," kataku dengan suara yang sangat pelan. Aku tak tahu apakah dia mendengarnya, tetapi dia tertawa. Kemudian suara beratnya terdengar, membuat hatiku terasa berbunga-bunga.

"Bener juga, sih." Dia mengangkat tangannya yang memegang rokok, lalu membuangnya ke tempat sampah yang tak jauh dari posisi kami. "Gue nggak ngerokok, ya. Tadi gue ngerasa ada sesuatu di jaket gue dan ternyata rokok. Kayaknya salah satu temen gue iseng masukin ke sini." Jeda pada perkataannya untuk sesaat. "Lo anak suara cempreng waktu itu? Kirain waktu itu anak kelas 7 yang diisengin temen-temen gue."

Aku menyadari bibirku tertarik ke atas dan segera kutahan agar aku tidak terlihat aneh di hadapannya. Dia masih mengingat wajahku meski sudah berbulan-bulan berlalu! "Bukan, kok. Kita cuma beda setahun."

Dia menaikkan sebelah alisnya dengan senyum penuh arti. "Oh, dari mana lo tahu gue kelas sebelas?"

Apakah barusan pertanyaannya itu secara tidak langsung menuduhku telah menguntitnya selama ini? Aku jadi tak bisa berkata-kata dan atmosfer di sekelilingku tiba-tiba terasa panas.

"Muka lo tegang banget. Santai aja," katanya sembari menahan tawa. "Temen-temen gue memang suka gangguin anak SMP yang lewat di gang itu. Katanya pengin isengin aja karena anak SMP imut-imut kalau lagi ketakutan."

Alasan yang tidak masuk akal. Mengingat kakak kelas cewek yang waktu itu sangat mendalami, aku tidak yakin dengan perkataan cowok ini.

"Gue lihat ada dua anak kucing yang ketakutan waktu itu."

"Hah?" Pikiranku jadi melambat karena perkataannya barusan. Kenapa tiba-tiba membahas anak kucing?

"Salah satu anak kucing berusaha ngelawan," katanya sambil menggigit bibir saat senyumnya masih terus mengembang. "Gue wakilin mereka buat minta maaf, ya? Jangan berniat balas dendam lagi. Serem soalnya."

Aku segera mengerti ucapannya, membuatku menggerakkan tanganku dengan refleks. "Siapa yang pengin balas dendam? Enggak! Enggak balas dendam!"

Bahunya naik turun. Dia tertawa dan berusaha menghentikannya. Apa ... dia sedang mengusiliku sejak tadi?

"Jadi, dari mana lo tahu kalau gue kelas sebelas?" tanyanya.

Aku memalingkan wajah. "Itu ... kan beberapa kali nggak sengaja gue lihat lo, Kak. Dari sana! Salah satunya jam olahraga!"

Dia mengangguk-angguk. Kelihatan tidak sedang serius mengangguk seolah-olah dia sudah tahu alasannya dan hanya ingin mendengarkan jawabanku.

"Ngomong-ngomong, gue nggak suka senioritas," katanya lagi. "Tapi, khusus lo, tolong ke depannya selalu panggil gue Kak."

Aku menunduk dan memainkan jemariku. "Iya, Kak...."

Sebuah tangan terulur di hadapanku, membuatku mengangkat wajah dengan jantung berdegup kencang.

"Panggil gue Kak Lio. Nama lo siapa?"

Tanganku terlalu gemetar untuk membalas uluran tangannya. Aku takut dia tahu betapa aku salah tingkah sekarang. Aku hanya berniat menyentuh pelan tangannya yang lebih besar itu. Akan tetapi, saat aku ingin langsung menarik tanganku, dia memegang tanganku dengan erat dan tak langsung melepasnya.

"Dara," balasku sembari menatap malu-malu sepasang iris matanya yang berwarna hitam.

Dia melangkah satu kali ke arahku tanpa melepaskan tangan kami. Tangannya yang lain menyentuh rambut panjangku yang terurai tanpa melepaskan tatapan kami yang sejak tadi saling tatap. Anak-anak itu bohong tentang dia yang memiliki tampang playboy. Aku justru melihat wajah menenangkan di sana.

"Senang bertemu lo, Dara."

***

Tiga hari setelah pertemuan singkat kami, aku tak pernah melihat Kak Lio lagi.

Aku tak punya alasan untuk apa mencari dan menghampirinya. Dia juga tak pernah lagi muncul di kantin biasa bahkan teman-temannya pun tak terlihat. Walau aku tidak mengenali semua wajah teman-teman mereka, tetapi setidaknya aku tahu beberapa dan biasanya mereka datang seperti sebuah kawanan manusia.

Andaikan waktu itu aku berani meminta nomor handphone atau setidaknya nama akun instagram, aku pasti tidak akan gelisah. Pertemuan kami benar-benar berkesan sampai membuatku sulit tidur dan ingin pagi hari cepat-cepat menghampiri agar aku bisa segera ke sekolah dan melihatnya meski dari jauh.

Aku tersesat dalam perjalanan yang tak terarah. Sekolah ini terlalu luas dan berbelok-belok. Aku sendirian. Tak ada teman seperti harapanku saat sebelum menjadi bagian dari sekolah ini. Keberuntunganku sudah terpakai saat aku lulus di sini tanpa tes bahkan sebelum aku dinyatakan lulus SMP. Impianku untuk memiliki teman baru seperti saat berteman dengan Abel ternyata tidak semudah itu. Padahal katanya, masa-masa SMA adalah masa yang paling menyenangkan. Meski ini masih awal-awal aku di SMA, tetapi entah kenapa perasaanku tak enak menyangkut pertemanan.

Kulanjutkan langkahku hingga tiba di sebuah koridor yang lengang. Suara samar-samar perempuan terdengar dari satu-satunya ruangan yang ada di sini. Hanya ada jalan buntu di sana, tetapi lukisan-lukisan di dinding membuatku tertarik untuk melangkah. Aku meneruskan langkahku dan melewati satu-satunya ruangan di sana. Langkahku berhenti mendadak tepat di depan pintu yang terbuka lebar ketika mendengar nama seseorang yang selalu muncul di pikiranku keluar dari bibir manja seorang cewek.

"Lio sayaaang, semua orang ke kantin. Cuma kita berdua di sini. Ayo kita lakuin di sini ajaaa."

Tidak seharusnya aku menggerakkan kepalaku ke samping untuk melihat siapa laki-laki yang ada di dalam sana, tetapi aku ingin memastikan bahwa aku salah dengar. Aku berharap bahwa cowok di dalam sana bukanlah Kak Lio.

Namun, yang terlihat bersama seorang cewek di sana memanglah Kak Lio.

Seorang cewek mengalungkan tangan di lehernya dengan manja sementara Kak Lio menatapnya dengan tatapan datar. Aku ingat dengan jelas meski cewek itu membelakangiku. Dia adalah cewek yang dulu menghadangku dengan Abel. Perasaanku tidak nyaman. Hatiku terasa sakit saat melihat betapa dekatnya mereka berdua. Siapa aku? Untuk apa juga aku merasa sakit sementara cewek itu bahkan sudah lebih lama mengenal Kak Lio dibanding aku.

"Ah, ada orang."

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sampai akhirnya mendengarkan Kak Lio berkata demikian. Kami saling pandang sementara dia menahan kepala cewek itu agar tidak bisa melihatku.

Lalu, dia menyerukan kalimat dengan wajah datar yang membuat mataku langsung berkaca-kaca.

"Jangan di situ terus. Cepetan pergi dari sini."

***


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang