28

2.7K 348 11
                                    

Tekatku sudah matang untuk melakukan apa pun agar membuat Kak Lio menyerah pada rencananya untuk menjauh dariku. Maka dari itu, aku akan lebih sering bertemu dengan teman-teman Kak Lio juga karena Kak Lio menghabiskan hampir seratus persen waktunya bersama mereka saat istirahat maupun pulang sekolah.

"Gue udah nyuruh Kak Lio buat ke sini, tapi dia nggak bales!" seru Ara dengan wajah sedih saat melihat sekumpulan kakak kelas. Padahal sebelumnya, dia yang paling semangat saat aku mengatakan ingin mendatangi Kak Lio untuk proses pendekatan.

Aku sudah memegang nampan berisi makanan dan minumanku, bersiap untuk mencari tempat duduk di dekat Kak Lio berada. Di sekitarnya terdapat banyak cowok. Aku tidak akan merasa malu pada sekumpulan anak SMA itu, tetapi Ara, Reva, dan Tiffany tak berani ikut denganku padahal sebelumnya mereka bersikukuh untuk ikut. Mereka mundur setelah melihat sekumpulan kakak kelas. Mungkin di mata mereka, para senior itu adalah sekumpulan harimau yang siap menerkam. Namun, bagiku mereka hanyalah kelinci-kelinci nakal.

"Kalau gitu, semangat!" seru Ara dengan suara lemah. "Kali ini kita nggak bisa bareng lagi."

"Sampai ketemu di pintu kantin," kataku, lalu aku segera melangkah menuju Kak Lio. Ketika aku sampai di samping Kak Lio, aku memiringkan tubuh ke samping, memandang Kak Lio yang sedang makan sambil memainkan ponsel. Aku belum bicara, tetapi Kak Lio lebih dulu menyadari kehadiranku. Dia menatapku dengan raut tak terbaca.

"Hai, Kak?" sapaku dengan senyum semringah. "Kursi depan Kakak kosong. Gue boleh duduk di situ?"

"Ada orangnya," balas Kak Lio sambil kembali memainkan ponselnya. Dia bersikap biasa seolah-olah tak pernah bertemu denganku sebelumnya dan seolah-olah tak ada yang terjadi di antara kami kemarin. "Cari tempat lain. Jangan di sekitar sini."

"Tempat lain udah hampir penuh. Di daerah sini doang ada beberapa kursi yang kosong." Aku menegakkan punggung dan melihat kursi tak bertuan di antara 3 cowok yang diam-diam mengamati Kak Lio yang sedang 'didatangi seorang cewek'. Sepertinya, mereka teman-teman Kak Lio juga. Aha! Kira-kira, bagaimana reaksi Kak Lio jika aku duduk di antara mereka?

"Ah, di sana." Aku segera melangkah membawa nampanku dengan riang. Tak sabar dengan respons Kak Lio selanjutnya. Kuhentikan langkahku di samping kursi kosong yang kuincar. "Misi, Kak. Di kursi ini nggak ada yang duduk, kan?"

"Nggak ada. Nggak ada. Duduk aja." Mereka berebut merapikan kursi yang ingin aku duduki. Aku segera duduk di kursi itu dan ketiga kakak kelas di dekatku kembali duduk ke masing-masing kursi mereka. Kulirik Kak Lio yang kini menatapku dengan tajam. Aku menaikkan alis tinggi-tinggi. Apa yang sedang dia pikirkan sekarang?

Seseorang di sampingku menyerongkan tubuh dan menatapku. "Lo di kelas berapa?"

Aku belum sempat menjawab. Perhatianku terlalu fokus pada Kak Lio yang tiba-tiba berdiri dari kursinya sambil membawa makanannya. Aku pikir dia ingin pergi sejauh-jauhnya, tetapi apa ini? Dia mendekat ke arah sini dan berhenti di samping meja sambil menatap teman-temannya satu per satu.

"Kalian bertiga. Kita tukeran tempat," perintah Kak Lio, yang langsung dituruti oleh ketiga temannya itu. Suara berisik nampan beradu dengan meja. Mereka bertiga buru-buru pergi, lalu duduk di tempat Kak Lio sebelumnya sambil menatap Kak Lio dengan tatapan penasaran.

Kak Lio lalu duduk di sebuah kursi yang berhadap-hadapan denganku.

"Apa Kak Lio cemburu?" tanyaku, berhasil membuat matanya membulat. "Sebenarnya Kak Lio mau tapi malu sama gue, kan? Kaaan?"

Kak Lio mendengkus. Dia tak mengatakan apa-apa.

"Kak Lio sebenarnya perhatian sama gue." Aku mengamati perubahan ekspresi Kak Lio. Dia sedang badmood. Haha. Lucu. Aku ingin terus menggodanya. "Kalau Kak Lio seperhatian itu sama gue, gimana kalau kita tukeran nomor kontak yang bisa dihubungi?"

"Untuk apa kita tukeran nomor?" tanya Kak Lio. Akhirnya dia bicara.

"Buat lebih dekat. Apa lagi kalau bukan itu? Teman? Jangan," kataku sambil menggeleng dengan tegas. "Gue pengin lebih dari teman. Contohnya, jadi pacar Kak Lio."

Kak Lio menatapku lekat-lekat. Aku memberikan senyum paling manis yang aku punya seolah aku memiliki tingkat percaya diri di level yang paling tinggi.

Pasti dia terheran-heran dengan sikapku yang agresif. Aku tersenyum memandang Kak Lio yang sedang menghela napas panjang. Dia pasti sedang kebingungan mengatasi sikapku yang tidak mau menyerah. Lagipula, kenapa juga dia harus menghindar selama kita bisa dekat dan tahu batasan? Baik jiwaku maupun jiwa Kak Lio bukan lagi remaja puber yang lebih mudah terpengaruh akan hal-hal yang membuat penasaran.

"Hm...." Aku memalingkan wajah dan menatap teman-teman Kak Lio satu per satu. "Tapi, kalau Kak Lio nggak mau buka hati buat gue, Kak Lio bisa kenalin salah satu teman Kak Lio yang suka sama cewek ke gue."

Jemari Kak Lio menyatu dan dia sandarkan di depan bibirnya. Tatapan matanya yang dalam menembus ke manik mataku. Aku bertopang dagu, ikut melihat ke dalam manik mata hitamnya. Apa yang dia pikirkan? Sebuah rencana baru?

Dia sejak tadi lebih sering menutup mulut dan tidak bertingkah aneh. Ah. Aku tahu. Aku tahu. Dia pasti lebih berhati-hati dalam bicara setelah sebelumnya bertingkah gegabah.

"Kalau gue perhatiin," kujeda kalimatku sesaat, "Kakak ternyata imut juga, ya?"

Suara muncrat di mana-mana sampai membuatku terkejut. Aku melirik sekitar. Beberapa teman Kak Lio muncrat berjamaah karena secara kebetulan sedang minum. Mereka sejak tadi mendengarkan ucapanku yang terus menggoda Kak Lio. Beberapa di antara mereka tak bisa menahan tawa hingga akhirnya tertawa terbahak-bahak sampai teman di sampingnya panik dan memukul cowok-cowok yang tertawa itu.

Kualihkan pandanganku kembali pada Kak Lio. Aku hampir saja menyemburkan tawa karena melihat Kak Lio salah tingkah. Di kehidupan sebelumnya aku memang tak pernah memuji Kak Lio imut. Kata imut dan tampan jelas dua hal yang berbeda. Imut adalah sesuatu yang menggemaskan dan Kak Lio benar-benar imut!

"Dari tadi lo banyak omong." Kak Lio menunduk dalam-dalam. "Makan sana. Dan jangan banyak bicara."

Aku menahan tawa. Kutundukkan kepalaku sedikit untuk mengintip ekspresi Kak Lio.

"Apa?" Dia langsung mendongak dengan wajah garang.

"Nggak pa-pa," kataku, mengangkat kedua bahu sambil tersenyum senang. Aku mulai mengambil makananku dan makan dengan lahap.

Sayangnya, hari ini Kak Lio masih memasang tembok di antara kami. Namun, aku cukup senang karena Kak Lio terlihat tak rela meninggalkanku berada di sekitar teman-temannya.

***


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraWhere stories live. Discover now