09

3.9K 426 11
                                    

Aku memutuskan untuk pergi ke kosan Kak Lio.

Fakta bahwa aku menerima dengan cepat dan semangat, membuatku pada akhirnya sedikit malu di hadapan Kak Lio. Kapan lagi aku pergi ke tempat tinggal Kak Lio? Ajakan itu mustahil akan diucapkan Kak Lio lagi jika aku menolak. Tak apa sedikit malu, aku justru mendapatkan tawa renyah Kak Lio yang membuatku bahagia.

Di sini lah aku sekarang. Turun dari motor Kak Lio di parkiran kosan yang ternyata kosan elit. Bahkan ada satpam yang menjaga. Mobil-mobil dan motor mahal berjejeran di parkiran kosan yang luas. Lampu-lampu menyala dengan begitu terang. Hening. Tak ada keributan seperti kosan pada umumnya yang aku bayangkan walau sudah tengah malam.

Satu hal yang paling masuk akal mengapa selama ini Kak Lio tak pernah menggunakan motor pribadinya adalah karena kosan ini dekat dengan sekolah.

"Kak Lio kenapa tinggal di kos?" tanyaku pada Kak Lio yang baru turun dari motornya. Aku tahu aku sedikit melewati batas karena rasa penasaran.

"Pengin aja."

"Nggak ada jam kunjungan, ya?"

"Iya, ini kosan bebas." Dia mendekat dan menaruh telunjuknya di depan bibirnya. "Tapi jangan terlalu berisik, oke?"

Aku menganggu-angguk dan hanya bisa terdiam saat Kak Lio meraih tanganku. Dia menuntunku memasuki bagian dalam kosan elit itu. Kosan ini ada dua lantai dan kamar Kak Lio berada di lantai 2. Kami berhenti di kamar paling ujung. Kak Lio mengambil kartunya dan pintu akhirnya bisa dia buka.

"Sori kalau berantakan," kata Kak Lio ketika kami sudah berada di dalam kamarnya yang bertema monokrom.

"Apanya yang berantakan, sih, Kak?" tanyaku sambil menatap sekeliling. "Kalau kamar Kak Lio ini berantakan, kamar gue apa?"

"Nggak tahu." Kak Lio tersenyum dan melepas tangan kami. Dia menutup pintu di dekatku, membuatku mencium wangi tubuhnya yang menenangkan. "Gue belum pernah lihat kamar lo kayak gimana," bisiknya, lalu menjauh.

Aku membuka sandalku dan mendorongnya ke belakang pintu. Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanku sekarang. Seluruh tubuhku terasa ringan. Seolah semua bebanku selama ini hilang dalam sekejap.

Kak Lio berbalik membawa handuk kecil yang diambilnya dari lemari. Dia menaruhnya di atas kepalaku dan mengacak-acaknya di sana.

"Lo kena hujan, kan?" tanyanya.

"Dikit, kok," balasku sambil menyatukan ibu jari dan jari telunjuk.

"Nah, berarti kena." Kak Lio membuka jaketnya. Kaosnya basah karena hujan. "Gue mau ganti baju dulu. Nggak nyaman kalau lembab. Lakuin apa aja yang bikin lo nyaman di sini."

Aku mengangguk. Kak Lio memasuki kamar mandi. Pandanganku kembali mengelilingi ruangan ini. Kutatap pintu ruangan yang sedikit terbuka, yang ada di dekat kamar mandi. Terlihat di dalam sana sepertinya merupakan dapur. Aku tak tahu harus melakukan apa dan berakhir duduk di sofa empuk yang ada di depan televisi.

Sejujurnya ada kekhawatiran karena Kak Lio adalah cowok, tetapi entah kenapa di sisi lain aku juga begitu yakin bahwa Kak Lio bukanlah tipikal cowok berengsek. Aku percaya yang dikatakan Kak Lio mengenai rumor yang beredar tentangnya memanglah tak benar.

Kuambil remote untuk menyalakan televisi dan langsung dikejutkan oleh serial HBO yang menayangkan adegan panas. Aku langsung menekan tombol off pada remote dengan tangan gemetar dan duduk diam dengan jantung berdegup kencang.

Mata dan pikiranku benar-benar ternodai. Itu adalah semi pornografi!

"Lo kenapa?"

Aku berpaling kaget karena tak mendengar Kak Lio membuka pintu kamar mandi.

DaraWhere stories live. Discover now