15

4K 364 30
                                    

Aku membuka mataku yang terasa berat dan air mataku langsung luruh saat sadar apa yang telah terjadi dalam semalam.

Meskipun orang yang aku sayangi lah yang mengambil kegadisanku, tetapi aku tetap menangis karena merasa aku seperti kehilangan diriku sendiri.

Aku tak bisa melupakan dosa besar yang telah kami lakukan malam tadi. Ketika terbangun di pagi ini, yang aku temui adalah ruangan yang sunyi. Hanya aku sendirian di balik selimut yang membungkus tubuh telanjangku. Tak ada suara sama sekali yang menunjukkan keberadaan Kak Lio di sini.

Dia pergi. Entah ke mana meninggalku yang sedang menyesal akan apa yang sudah terlanjur terjadi. Aku duduk dan meringis pelan karena perih di bawah sana sambil melirik sekitar. Barang-barang Kak Lio masih lengkap. Aku takut Kak Lio pergi meninggalkanku sendirian di sini dan tak pernah kembali.

Rasa takutku menghilang ketika mendengar suara pintu yang terbuka, kuyakin yang membukanya adalah Kak Lio. Dia benar-benar muncul dan tak meninggalkanku seperti apa yang aku takutkan. Dia datang membawa kantong bening berisi dua kotak makanan dan langsung menutup pintu hingga terdengar suara yang bantingan yang cukup keras.

"Kamu ... sudah bangun," kata Kak Lio pelan setelah matanya sedikit terkejut karena melihatku.

Aku menunduk. Kuangkat selimut hingga menutupi seluruh tubuhku kecuali leher. Aku tak tahu di mana pakaianku berada. "Ya.... Seperti yang Kak Lio lihat."

Aku tak berani menatapnya. Aku merasa canggung saat pandanganku secara samar-samar masih bisa melihat Kak Lio memandangku tanpa bergerak sedikit pun di sana. Aku tak tahu apa yang Kak Lio pikirkan. Aku juga masih canggung atas apa yang telah terjadi di antara kami sehingga tak punya apa pun untuk dikatakan. Kugigit bibirku dan kuremas selimut dari dalam saat Kak Lio mulai melangkah.

Aku semakin gugup dan canggung.

Meski aku tak menoleh, aku masih bisa melihat apa yang dia lakukan. Kak Lio menaruh kantong makanan di meja, lalu mengambil sesuatu di sofa—yang sebelumnya tak aku sadari—yang dari warnanya sepertinya itu pakaianku. Dia berhenti di dekat tempat tidur dan menaruh pakaian di dekatku, lalu duduk. Tangannya terangkat, telapaknya menyentuh keningku yang berpeluh, lalu dia usap perlahan sembari menarik kepalaku pelan dengan tangannya yang lain agar bersandar di dadanya.

"Walaupun aku pakai pengaman, tapi kalau ada hal yang nggak disangka-sangka terjadi, aku pasti akan tanggung jawab," katanya sambil mengusap puncak kepalaku dengan lembut.

"Nggak disangka-sangka...?"

"Seperti, misalnya kamu hamil."

Aku membeku sesaat. Bagaimana jika aku hamil di usia muda? Bagaimana respons Mama? Papa? Orang-orang di sekolah saat melihat perutku membesar? Apakah aku berhenti sekolah atau mencari tempat aborsi dan melanjutkan sekolah seolah tak terjadi apa-apa?

Bagaimana ... kalau di dalam rahimku ada sebuah nyawa yang merupakan darah daging Kak Lio?

Aku memejamkan mata, lalu tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di benakku. Kubuka kelopak mata dan kuarahkan kepalaku untuk memandang laci yang ada di dekat tempat tidur. "Apa ... alat yang Kak Lio pakai itu memang selalu ada di sana?"

"Oh," gumam Kak Lio, lalu memandangku. Kutatap matanya lekat-lekat. "Maksud kamu kondom?"

Aku menunduk dalam. "Apa pun namanya, intinya itu...."

"Aku beli udah cukup lama. Selalu ada di sana."

Jawabannya sempat membuatku tertegun. "Kenapa di sana?"

"Takut hal kayak gini terjadi sama kita berdua dan aku berpeluang hancurin masa depan kamu kalau aku nggak pakai pengaman. Apalagi di kamar ini kita selalu berdua aja. Aku jujur udah sering mikir enggak-enggak tentang kamu, tapi selama ini aku berhasil ngelawan. Tapi, semalam aku benar-benar udah di luar kendali."

Aku tak menyangka Kak Lio akan menjelaskannya dengan cukup jelas.

"Tapi aku pastiin hal itu nggak akan terjadi lagi." Kak Lio menjauh dariku dan berlutut di lantai. Dia menatapku dengan penuh rasa bersalah. "Soal semalam, aku beneran minta maaf."

Kak Lio menunduk, lalu menyentuhkan dahinya di atas lututku yang tertutupi selimut. Aku memegang rambutnya yang tebal dan lurus, lalu kusisir dengan jemariku dengan pelan.

"Nggak apa-apa, Kak," balasku, meski aku ingin menangis. "Kak Lio nggak maksa aku. Nggak ada paksaan jadi Kak Lio nggak usah merasa bersalah banget."

Kak Lio mengangkat wajahnya dan menatapku dengan tatapan sedih. Kuambil pakaianku dan kutatap Kak Lio dengan bibir yang terkatup rapat. Dia berdiri dan mengusap pipiku dengan lembut. "Kamu mau ganti baju, kan? Aku keluar dulu."

Aku mengangguk dan Kak Lio segera berbalik. Dia keluar dari kamar kosannya. Aku segera memakai pakaianku sambil meringis beberapa kali karena perih di area sensitif.

Aku berdiri, lalu kutarik selimut Kak Lio dengan hati-hati. Bercak berwarna darah di seprai abu-abu itu ... aku yakin adalah darah.

Ah, pikiranku jadi kacau lagi karena merasa jijik pada diri sendiri. Apa yang aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, saat ini, mengingatkanku kembali bahwa semua telah terjadi dan waktu tak bisa diputar kembali.

Darah itu tanda bahwa aku sudah tidak perawan lagi.

Aku mendengar suara pintu dibuka dan aku tak bisa bergerak. Hanya berdiri kaku sambil menangis tanpa suara. Kak Lio berhenti di dekat tempat tidur dan menarik seprai, lalu dia menutupi bagian yang kotor.

Kak Lio mendatangiku, memelukku, dan mengusap punggungku berkali-kali. Aku yakin, Kak Lio tahu apa yang aku tangisi. Dia selalu mengerti kegelisahanku walau hanya melihatnya sekilas.

"Aku nyesel. Bener-bener nyesel udah buat kamu kayak gini," bisiknya. "Andaikan waktu bisa terulang, aku nggak akan ngebiarin hal ini terjadi."

Aku menangis terisak di pelukan Kak Lio yang semakin erat.

"Aku nggak akan ninggalin kamu. Jadi, jangan takut, ya?" Kak Lio mencium puncak kepalaku. "Ini janji aku, Dara. Akan aku tepati sampai aku mati."

*** 


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraWhere stories live. Discover now