33.1

2.5K 310 9
                                    

Aku menahan senyum. "Aku?"

"Gue, deh," balasnya. "Kalau aku-kamu-an, gue berasa pengin meluk lo terus."

"Aku-kamu juga nggak apa-apa. Jadi, mulai hari ini kita resmi balikan dan panggilnya aku-kamu kayak dulu— KAK LIO!"

Kak Lio tidak menjawab dan malah melangkah lebar meninggalkanku.

***

"Apa gue juga nggak boleh meluk lo dari belakang? Gue harus pegangan di mana? Motor lo nggak ada pegangannya. Kalau gue jatuh di perjalanan gimana?" Aku terus bicara ketika sudah naik di atas motor Kak Lio.

"Pegangan sama angin," balasnya dengan tega. "Pegang jaket gue. Kayak biasanya gue megang kemeja sekolah lo."

Kupegang jaket Kak Lio sambil tertawa. Benar-bena konyol. Tadi saja, ketik aku naik ke atas motor Kak Lio, aku kesusahan memegang motornya karena tak bisa menyentuh Kak Lio. Aku seperti berhadapan dengan seorang cowok alim yang menjaga kesuciannya dari perempuan.

"Kenapa ketawa?" tanya Kak Lio ketika mulai menjalankan motornya.

"Nggak. Nggak apa-apa," balasku sambil memperbaiki helm yang kupakai. "Kak Lio yang katanya nggak bisa jadi cowok romantis, tapi selalu bawa dua helm. Pasti Kak Lio jaga-jaga untuk situasi yang kayak gini, kan?"

"Situasi kayak gini gimana?" tanyanya.

"Ah, Kak Lio sok-sok nanya. Situasi di mana gue dibonceng Kak Lio, lah."

Kak Lio tidak menjawab. Entah bagaimana ekspresinya sekarang. Aku tidak bisa melihatnya. Jujur saja, aku ingin sekali memeluk Kak Lio dan menyandarkan pipiku di punggungnya. Namun, keadaan membuatku hanya bisa menatap punggung Kak Lio dengan pasrah.

Perjalanan lama membuatku mengantuk dan ingin bersandar di sana. Aku selalu menggeleng kencang, terkadang mencubit punggung tangan. Kak Lio benar-benar tidak tinggal di kosan yang penuh dengan kenangan itu. Kak Lio memasuki sebuah perumahan. Motornya melaju dengan kecepatan rendah. Aku melirik kanan kiri di mana rumah-rumah bertingkat dua berjejeran. Akhirnya, sebentar lagi aku akan melihat rumah Kak Lio.

Aku semakin gugup ketika Kak Lio menghentikan motornya di depan sebuah rumah. Aku segera turun dan menatap Kak Lio yang membuka gerbang.

Kak Lio menggerakkan kepalanya. "Lo masuk duluan."

"Gue?" Kutunjuk diriku dengan panik.

"Gue mau masukin motor bentar." Kak Lio mendekatiku, lalu menepuk-nepuk bagian atas helm yang belum kulepaskan dari kepalaku. "Lo nggak akan gue tinggalin, kok."

Aku melangkah duluan dengan ragu-ragu. Sesekali kulirik Kak Lio yang sedang menaiki motornya untuk dia masukkan ke halaman rumah. Aku berhenti di teras rumah Kak Lio sambil terus menatap Kak Lio dengan gelisah. Aku sudah pernah melihat wajah mamanya Kak Lio di foto pada galeri ponsel Kak Lio, tetapi itu sudah lebih dari 13 tahun yang lalu.

Jadi, yah..., semua menjadi samar-samar.

"Heii, gue takut," kataku ketika Kak Lio menaiki anak tangga teras.

"Kenapa harus takut?" Dia berhenti di dekatku sambil menarik helm dari kepalaku.

"Lebih ke gugup," bisikku.

"Ngapain gugup."

"Lo nggak ngerti!"

"Nanti jangan ngaku sebagai pacar gue. Bilang aja lo temen gue. Oke?"

Aku cemberut. "Kok gitu?"

"Kalau Mama tahu lo pacar gue, lo bakalan dipaksa nginep di rumah ini. Gue yakin lo nggak akan bisa nolak keinginan Mama dan lo beneran tinggal di sini. Kalau gue nggak tahan dan diam-diam masuk kamar lo gimana? Nggak mungkin nggak terjadi sesuatu. Pikiran gue akan ke mana-mana kalau satu atap sama lo."

Kak Lio bicara panjang lebar sambil berbisik, membuatku gemas menatap bibirnya yang terus mencerocos.

"MAAA!" Kak Lio tiba-tiba berteriak bertepatan saat dia membuka pintu rumah yang tidak terkunci, membuatku kaget saja. "AKU PULANG."

"IYAAA, SAYANGKU."

Sampai akhirnya, keterkejutanku tergantikan oleh tawa yang hampir menyembur. Intonasi suara seorang yang sepertinya adalah mamanya Kak Lio membuatku ingin menertawai Kak Lio. Apalagi sekarang, Kak Lio sedang menahan malu.

"Lo belum makan, kan?" tanya Kak Lio sambil menyimpan kedua helmnya di atas meja ruang tamu.

Aku menggeleng. "Belum."

"Laper nggak?"

"Laper," balasku jujur. Aku membelalak setelah menduga sesuatu. "Nggak. Gue nggak laper, kok!"

Kak Lio tidak mengatakan apa-apa, tetapi aku menduga bahwa dia akan menyiapkan makan. Dia aka meninggalkanku hanya bersama mamanya.

"Jangan tinggalin gue!" seruku dengan suara tertahan.

Tidak ada respons apa-apa dari Kak Lio. Dia menghilang di balik perantara ruang. Kudengar suara samar-samar Kak Lio dengan seseorang perempuan. Itu pasti mamanya. Mereka berbisik jadi aku tidak bisa mendengar apa pun dengan jelas. Apa yang mereka rencanakan?

DaraWhere stories live. Discover now