32

2.6K 345 21
                                    

Aku terdiam kaku. Gila. Jangan. Tidak boleh!

Ekspresi wajahku sekarang pasti terlihat campur aduk. Aku ingin pergi bersama Kak Lio, tapi takut terjadi yang tidak-tidak di antara kami.

"Buat ketemu sama Nyokap gue."

Eh? Benar juga...

Ini bukan tentang kosan, tapi rumah. Tempat di mana Kak Lio tinggal dengan kedua orang tuanya. Rumah yang tidak pernah aku datangi. Aku bahkan belum pernah bertemu langsung dengan kedua orang tua Kak Lio di kehidupan sebelumnya, lalu sekarang Kak Lio mengajakku ke rumahnya dan bertemu dengan mamanya?

Dulu aku tak pernah diajak Kak Lio ke rumahnya dan karena itu aku sempat sedih. Hubungan kami sudah di luar batas, tetapi aku tak pernah diajak bertemu dengan orang tuanya. Alasan Kak Lio dulu adalah karena belum siap dengan respons mamanya yang tahu kalau anak satu-satunya sudah memiliki pacar. Namun, sekarang Kak Lio tiba-tiba mengajaku pergi. Mungkin, ini dia telah siap.

"Kenapa diem?" Kak Lio menatapku. "Nggak mau...?"

"Mau, kok!" seruku dengan cepat.

"Ya udah, yuk?" Kak Lio melangkah lebih dulu.

Aku menahan senyum. "Musa bahkan lebih gentle dibanding Kak Lio karena kalau jalan nggak ngedahuluin cewek."

Seketika, Kak Lio berhenti melangkah. Aku berlari kecil ke depan dan akhirnya tiba di samping Kak Lio. Kami pun kembali melangkah bersisian.

"Segitu nggak maunya, ya, Kak Lio deket-deket gue?" tanyaku lalu berdecak. "Tapi anehnya malah ngajakin gue ke rumah Kak Lio. Pikiran Kak Lio benar-benar nggak bisa dimengerti."

"Gue nggak mau kebablasan."

Aku mengernyit dan mendongak ke samping. "Kebablasan gimana?"

"Kebablasan...." Kak Lio memelankan langkah dan menatapku. Kami pun berhenti secara alami. Area ini cukup sepi untuk bicara berdua.

Tatapan mata itu seolah memberi isyarat akan sesuatu.

"Ada banyak cara daripada harus menghindar, kan?" tanyaku. "Seperti, melakukan semuanya dengan positif. Pacaran yang sehat."

Kak Lio memalingkan wajahnya sejenak dariku sambil mendengkus. "Pacaran sehat. Nggak ada yang namanya kayak gitu."

Jika ada yang mendengar percakapan di antara aku dan Kak Lio, mereka tak akan mengerti karena mereka tak tahu apa inti utama dari pembicaraan kami yang tak pernah kami sebutkan. Kami saling tahu pembahasan ini merujuk ke mana, tetapi sama-sama tak membahas inti utamanya apa karena aku berusaha menyembunyikan bahwa aku adalah seorang pengguna jasa Holtyum. Sementara Kak Lio, mungkin juga memiliki alasan yang sama atau alasan lainnya yang tak berbeda jauh denganku.

Kami cukup tahu bahwa kami sama-sama menyadari telah mengulang kehidupan di tahun ini tanpa saling memberi tahu bahwa masing-masing dari kami sama-sama telah mengulang kehidupan.

Ini yang aku inginkan dari dulu. Bicara. Bukannya menghindar seperti yang dilakukan Kak Lio. Ternyata, kehadiran Musa membuat dampak besar perubahan sikap Kak Lio.

"Kalau nggak ada, kita adain. Apa Kak Lio mau ngelihat gue menyerah dan gue membuka hati untuk cowok lain?" tanyaku.

Kak Lio langsung terdiam. Aku tidak benar-benar akan melakukan itu. Itu hanya sedikit ancamanku padanya. Untuk apa aku sampai rela menukar umurku pada makhluk itu jika salah satu alasanku untuk kembali bukan demi Kak Lio?

"Nggak," kata Kak Lio dengan suara lemah. "Ada hal ... yang nggak bisa gue ceritain. Gue menghindar bukan cuma karena gue khawatir kembali ngulang kesalahan yang sama." Kak Lio membasahi bibirnya, lalu meneguk ludah. "Ada alasan lain yang benar benar nggak bisa gue ceritain, Dara...."

Aku tak bisa memaksa Kak Lio untuk menjawab alasan apa itu karena ini pasti ada hubungannya dengan aturan.

"Nggak bisa Kak Lio ceritain, ya?" Aku menghela napas. "Nggak apa-apa, tapi setelah ini Kak Lio jangan menghindar lagi, oke?"

"Gue nggak akan menghindar, kok. Gue takut lo diambil cowok lain."

Aku langsung tertawa mendengarnya.

"Gue akan berusaha jaga batasan," kata Kak Lio lagi. "Jadi, tolong bantu gue. Kita nggak boleh sentuhan."

"Walau pegangan tangan?"

Kak Lio mengangguk-angguk.

"Itu kan hal biasa. Sekadar pegangan tangan. Pegangan tangan, doang," kataku sambil menyatukan kedua tanganku.

"Nggak bisa." Kak Lio menggeleng dengan tegas. "Jangan iseng, ya? Kalau lo iseng, gue nanti tiba-tiba meluk lo dan berakhir lebih dari itu, gimana? Gue juga kan yang bakalan merasa bersalah?"

Kak Lio tidak sedang bercanda. Dia benar-benar serius. Apa ini salahku yang telah membuat dia menjadi ehm ... pecandu? Aku ingat Kak Lio pernah mengatakan bahwa gara-gara aku, dia menjadi seorang hypers*x. Aku sampai bertanya-tanya mengapa itu menjadi salahku, tetapi setelah aku mengingat-ingat lagi, aku memang yang lebih sering menggodanya.

Tidak seharusnya aku iseng dengan hal yang bukan merupakan hal sepele. Kak Lio sudah mati-matian menjaga jarak demi kebaikan kami berdua.

"Oke, janji. No skinship." Aku mengangkat jari kelingkingku dan Kak Lio hanya menatapnya. Aku tertawa menyadari kesalahan pertamaku sambil menyembunyikan tanganku ke belakang punggung. "Janji! Kak Lio juga bilang janji, dong!"

Kak Lio akhirnya bisa senyum dengan lebih tenang dibanding sebelumnya yang dipenuhi kekhawatiran. "Aku janji, Dara. Jadi, kita resmi balikan, kan?"

*** 


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ