08

3.7K 434 17
                                    

CERITA BERLANGSUNG terbaru 

sirhayani: Dara

svrinai: I'm Yours, You're Mine

|

* * * 

Aku melewati jalanan perumahan yang hening. Aku tetap khawatir ketahuan mama dan papa dari mulut orang lain walau aku tahu warga di perumahan ini rata-rata bersifat individual karena kebanyakan adalah orang-orang sibuk.

Aku sempat takut ketika hampir melewati pos satpam karena berpikir bahwa mungkin saja satpam kompleks akan memberitahukan kepada papa dan mama bahwa aku keluar dari rumah lewat dari waktu kunjung para tamu. Namun, ketika aku bahkan belum melewati pos satpam, aku dikejutkan oleh kehadiran Kak Lio bersama Pak satpam yang tidak aku ketahui namanya sampai detik ini.

Mereka terlihat akrab. Duduk berhadap-hadapan dengan serius sembari memandang permainan catur yang ada di meja. Aku hanya berdiri diam dengan kedua tangan yang masuk ke saku hoodie dan wajah yang tak kentara karena tertutupi oleh topi hoodie, tetapi Kak Lio menyadariku dengan cepat. Baru sedetik dia menoleh, dia langsung mengangkat tangannya.

"Pak. Temen saya sudah datang," kata Kak Lio saat kembali menatap Pak Satpam. "Sesuai janji, saya harus langsung pergi."

Mereka berbincang beberapa saat. Tampak wajah tak rela Pak satpam karena ditinggalkan di tengah permainan catur, tetapi senyum langsung terpasang di wajahnya saat melihatku.

Aku langsung menunduk gelisah karena takut Pak satpam mengenali wajahku. Kak Lio muncul di hadapanku dan memegang kedua pundakku.

"Ayo," katanya sambil menarikku pelan ke motornya.

"Lo ngomong apa sama Pak satpam sampai dibiarin kayak gini, Kak?" tanyaku dengan suara pelan.

"Rahasia," katanya.

"Kak Lio main rahasia-rahasiaan, ya," gumamku sedikit salah tingkah karena tubuh kami yang begitu dekat dan kedua tangan Kak Lio yang masih memegang kedua pundakku. "Ini lewat jam kunjungan. Apalagi gue warga perumahan, nggak mungkin Pak satpam ngebiarin gitu aja. Gue jarang munculin diri di depan Pak satpam, sih. Kayaknya Pak satpam nggak akan tahu kalau gue ini anaknya mama dan papa."

Aku terus bicara sampai Kak Lio membuka topi hoodie dan memakaikanku helm tanpa aba-aba. Aku jadi terdiam karena itu dan memandang Kak Lio yang sedang memakai helmnya sendiri. Kutatap motor yang baru pertama kali aku lihat. Selama ini, aku hanya menduga bahwa Kak Lio menggunakan kendaraan umum saat berangkat maupun pergi ke sekolah karena Kak Lio tak pernah menggunakan kendaraan pribadi seperti teman-temannya.

"Ayo naik," kata Kak Lio sambil menatapku di balik helmnya.

Kupegang pundak Kak Lio untuk naik ke motor besarnya. Aku meneguk ludah karena tanganku hampir refleks memeluk perutnya. Namun, beberapa detik setelah itu Kak Lio menarik kedua tanganku untuk memeluknya. Akhirnya, aku melingkarkan kedua tanganku dengan malu-malu. Dia mulai menjalankan motornya dan meninggalkan area ini. Kugigit bibirku, menahan senyum yang tak mungkin juga dilihat oleh Kak Lio.

Aku menikmati waktu kebersamaan kami di atas motor ini sepanjang jalan. Kami sudah sepakat hanya untuk berkeliling kota. Meski tubuhku pegal, tapi rasa tak nyamannya tertutupi oleh rasa bahagia. Ini lebih baik dibanding berdiam diri di dalam kamar sambil mendengarkan suara teriakan dari kedua orang tua yang bertengkar setiap hari.

"Lo seneng, Dar?"

Teriakan Kak Lio membuatku mengangguk dengan semangat. Aku merentangkan tangan menatap langit sambil tersenyum semringah. Mataku terasa berair. Sepertinya aku menangis karena terharu.

Kembali kupeluk Kak Lio sambil menggigit bibir. Air mata terus jatuh ke pipiku. Tak tahu mengapa, aku malah terisak. Kak Lio sepertinya tahu aku menangis karena motornya kini melaju lebih pelan.

Aku merasa nyaman dengan atmosfer ini. Pelukanku yang awalnya canggung, pun perlahan-lahan jadi terasa nyaman. Aku memejamkan mata dan kusandarkan helm yang aku pakai ke punggungnya. Aku mengantuk dan ingin tidur, tetapi aku tidak ingin segera pulang. Entah sejak kapan, rumah keluarga kecilku bukan lagi tempat paling menyenangkan untuk aku tinggali.

Aku mengencangkan pelukanku ketika menyadari kesadaranku semakin menipis. Entah sudah berapa lama berlalu ketika aku merasakan Kak Lio menghentikan motornya. Aku menarik tubuhku darinya dan melihat sekeliling dengan mata berat. Kak Lio menyandarkan motornya dan membuka helm sembari menoleh sebisa mungkin.

"Turun dulu, yuk?" ajaknya.

Aku mengangguk dan turun dengan linglung. Untung saja Kak Lio memegang erat lenganku. Kak Lio ikut turun dan menatap wajahku tanpa mengatakan apa-apa. Tiba-tiba saja ibu jarinya memegang pipiku dan membuatku berpaling salah tingkah karena sentuhan fisik darinya. Ada air mata yang sudah mengering di sana. Dia tak mengatakan apa-apa dan memegang tanganku, lalu membawaku ke kursi minimarket yang buka 24 jam. Dia menyuruhku untuk menunggu sebentar. Aku hanya mengangguk, lalu dia memasuki minimarket dan pandanganku tak berhenti melihatnya lewat kaca tembus pandang.

Aku menahan senyum saat tanganku refleks memegang pipiku. Kualihkan pandangan ke sekitar dan tanpa sadar kedua kakiku di bawah meja bergerak dengan riang. Dari cahaya yang berasal dari lampu-lampu minimarket, terlihat air berjatuhan dari langit.

Hujan gerimis....

Aku tak peduli lagi persoalan pergi diam-diam dari rumah. Satu-satunya hal yang paling terasa menyenangkan sekarang adalah bersama Kak Lio.

Aku bertopang dagu saat kembali menatap ke dalam minimarket. Tidak ada banyak antrian pembeli. Tiba giliran Kak Lio membayar belanjaannya. Kak Lio lalu keluar dari sana dan aku segera berdiri.

"Kak Lio habis beli apa?" tanyaku setelah menatap kantong belanjaan Kak Lio. Padahal aku sudah tahu di dalam sana ada snack. Dari kantong putih, tergambar berbagai merk camilan yang biasa aku beli.

"Camilan. Buat stok kalau lagi gabut," kata Kak Lio sambil menaruh kentong belanjaannya dan duduk di kursi yang berhadapan denganku. Aku kembali duduk sambil memainkan jemariku di atas meja dan jadi terdiam seribu bahasa saat Kak Lio menatapku tanpa mengatakan apa-apa lagi.

Kuberanikan diri untuk menatap Kak Lio. Bibirku semakin terkatup rapat saat melihat betapa tampannya Kak Lio dengan kaos hitam di balik jaket hitam yang digunakannya. Rambut tebalnya yang mulai panjang semoga saja tidak jadi sasaran empuk guru BK. Aku menunduk, lalu bertopang dagu dan mencari aktivitas lain. Kualihkan pandanganku ke jalanan saat merasakan Kak Lio masih terus memandangku tanpa mengatakan apa-apa.

Dia kembali seperti waktu itu. Menatap dengan serius seolah-olah ada yang ingin dia katakan, tetapi satu kata pun tak kunjung keluar dari bibirnya.

Ngomong-ngomong, bibir Kak Lio itu cantik. Bibir atasnya tidak tipis maupun tebal. Sementara bagian bawah tebal dan terbelah. Itu menjadi ciri khas Kak Lio karena jarang yang memiliki bibir seperti itu.

Aku menatap langit saat hujan mulai menggila.

"Dara."

Kutolehkan kepalaku sambil tersenyum kecil. "Kenapa, Kak?"

"Sepertinya bakalan hujan deras. Sebelum terjadi," Kak Lio menatap ke jalanan selama beberapa detik, lalu kembali menatapku, "mau ke kosan gue dulu?"

*** 


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum