31.2

2.4K 337 7
                                    

"Kayaknya gue harus pergi duluan." Musa sedikit menunduk dan berbisik di dekat telingaku. "Nggak tahu kenapa perasaan gue nggak enak waktu ditatap sama dia."

Aku mengernyit, lalu tertawa karena mengartikan bahwa rasa takut Musa muncul karena rumor Kak Lio yang suka laki-laki.

"Dia dari tadi ngelihatin gue terus," kata Musa lagi.

"Sini." Aku melambaikan tanganku. Musa yang sempat menjauh kembali mendekat dan menunduk. Aku menghalangi bibirku dan telinga Musa dengan tanganku sebagai penghalangnya. "Jangan takut sama dia. Dia aslinya nggak seperti rumor yang beredar, kok."

"Masa, sih?" Musa menoleh, membuat wajah kami semakin dekat. Aku kaget, Musa juga kaget, membuat kami sama-sama menjauh. Aku tertawa cukup keras sementara Musa salah tingkah sambil terus-terusan meminta maaf.

"Gue percaya lo, kok." Musa masih memalingkan wajahnya, tak mau menatapku. "Seorang Dara nggak mungkin salah dalam menilai."

Aku tersenyum kecil.

"Gue pergi duluan, ya. Sampai ketemu besok!" Musa menatapku sambil menjauh. "Dadah!"

"Dadaaah!" Aku melambaikan tangan berkali-kali pada Musa sambil tersenyum. Anak itu memiliki atmosfer yang positif.

Segera kulangkahkan kaki dan tak mau menatap Kak Lio. Aku ingin melihat seperti apa responsnya. Apakah dia akan cemburu? Yah, jika Kak Lio juga mengingat semuanya seharusnya dia akan cemburu pada Musa.

Aku sudah hampir melewatinya dan dia tiba-tiba bicara.

"Dia siapa?"

Pertanyaan keponya membuatku tak jadi ingin menyuekinya. Aku akhirnya berhenti di dekatnya. "Teman kelas."

"Siapanya lo?"

"Ya, temen sekelas!" balasku sedikit berteriak. Aku menyipitkan mata. "Kenapa? Lo tertarik sama dia?"

Dia mengernyit. "Ngapain gue tertarik sama dia?"

"Oh, lo cemburu sama dia?" Pertanyaanku membuatnya terdiam, membuatku semakin semangat untuk bicara. "Katanya nggak tertarik sama gue? Kok cemburu sama orang yang deketin gue?"

"Deketin lo?"

"Iya." Aku memegang tali tasku. "Dia anaknya manis, lucu, dan imut."

Aku tidak asal bicara. Perbedaan umurku dengan Musa membuatku melihatnya memang seperti itu. Dia manis, tingkahnya lucu dan imut.

"Lebih imut dia atau gue?" tanya Kak Lio, membuatku hampir saja menyemburkan tawa. Dia terlihat malu setelah mengatakan itu.

"Dia lah. Secara umur juga lebih muda dia," balasku.

Kak Lio berdecak. Dia lalu menghela napas. Tak lama kemudian dia menatapku lamat-lamat. "Gue tiba-tiba ngerasa marah."

"Marah sama siapa?"

"Sama diri sendiri," katanya. "Gue nggak mau kehilangan penggemar."

"Hm, jadi lo nganggap gue fan, doang? Bukan cewek yang jatuh cinta sama lo, Kak?" tanyaku pada Kak Lio yang diam. "Kalau lo memang nggak mau sama gue dan terus menghindar, gue nggak apa-apa, sih. Pacaran dengan temen sekelas juga asyik juga."

"Apa? Pacaran?" Dia terlihat makin terkejut.

"Oh, gue belum bilang, ya?" Aku ingin iseng lagi. "Tadi gue habis ditembak sama temen gue yang imut itu. Namanya Musa."

Raut wajah Kak Lio berubah marah.

"Lo kenapa, Kak?" Aku bertanya, tetapi kulangkahkan kakiku untuk menjauh. "Lo udah mau pulang, ya? Dadah."

Ujung lengan kemeja sekolahku tiba-tiba ditarik. Hanya Kak Lio yang melakukan hal seperti ini.

"Ayo," katanya.

Kutatap Kak Lio dengan jantung yang tiba-tiba berdegup kencang. Ayo. Satu kata yang selalu membuatku gugup di kehidupan sebelumnya karena kata itu seperti sebuah kode untuk melakukan itu.

Iya, itu yang itu. Sesuatu yang tak seharusnya dilakukan oleh pasangan yang belum menikah.

Akan tetapi, Kak Lio yang selalu menghindar dan menahan diri di kehidupan kali ini tak mungkin tiba-tiba berpikir untuk melakukan hal itu lagi.

"Ke mana?" tanyaku hati-hati.

"Ke rumah gue."

*** 


thanks for reading🌺

love,

sirhayani

DaraWhere stories live. Discover now