1. Almost There

4.6K 370 18
                                    

Di usia segini, cita-citaku simpel:

Pertama, menikah dengan Patra.

Kedua, mengambil tema "intimate wedding" biar hemat.

Ketiga, child-free.

Cukup tiga itu saja. Makin dewasa, biasanya orang makin realistis soal cita-cita. Dan, ketiga hal itu merupakan cita-cita yang kuanggap paling realistis.

Selain itu, aku dan Patra juga sudah bolak-balik diskusi untuk memantapkan hati, menyatukan suara, sekaligus menyamakan visi. Tiga tahun dari delapan tahun pacaran, kami habiskan 80 persen membahas cita-cita tersebut.

Hasilnya, sepakat.

Itulah yang kusuka dari hubunganku dengan Patra. Selalu ada satu visi, pandangan, suara—you name it—yang bikin kami layak mendapat penghargaan sebagai partner sehidup-semati.

Aku yakin Patra partner sejatiku. Hal yang sama berlaku sebaliknya.

"Selamat datang. Mau cari model apa, Kak?" Mbak-mbak sebuah toko perhiasan terkenal di Jakarta menyapaku dan Patra.

Kali itu, bukan cuma perhiasan saja yang tampak shining-shimmering-splendid, mataku ikutan bling-bling. Sementara dipastikan wajahku ikutan berseri-seri, tanpa malu-malu menunjukkan betapa bahagianya diriku.

Setelah beberapa tahun menahan diri tidak masuk ke sana, akhirnya Patra mengajakku masuk ke tempat idaman semua kaum Hawa.

"Mau nyari cincin buat pernikahan," Patra memberi instruksi. "Ada model yang simpel tapi bagus gitu ada nggak, Mbak?"

Bibirku tak bisa menahan lagi. Aku langsung melempar senyum paling lebar dan manis kepada Patra.

Lelaki itu menyatukan elemen kami berdua. Aku suka yang simpel-simpel, sementara Patra perlu sesuatu yang bagus dan mampu mendongkrak pride-nya. Itulah kombinasi kami.

"Aku sayang kamu," bisikku di telinga Patra.

"Aku tau," cengir Patra.

Kemudian Patra membiarkanku melihat-lihat bentuk cincin. Napasku sampai sesak saking bahagianya. Tak kusangka, hal yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga.

Aku tahu Patra tidak suka emas dalam bentuk perhiasan. Tipikal lelaki pada umumnya, Patra demen yang bentuk logam mulia. Baginya, emas bentuk perhiasan sudah tidak ada lagi harganya meski di toko emas atau pegadaian masih menerima jual-beli emas perhiasan.

Tanpa pusing, aku langsung melihat-lihat pilihan cincin dari emas putih.

Detik berikutnya, aku galau karena pilihan: mau pakai berlian atau tidak.

"Kamu mau pakai berlian atau nggak?" Patra bertanya padaku.

Refleks, aku menggigit bibir.

Siapa yang mampu menolak ditawarin berlian? Tidak ada yang bisa menolak keindahan berlian. Meski hanya kecil di cincin, tapi sebagai perempuan, kuakui susah juga menolak kalau ada yang tawarin berlian.

Lantas, kupandangi Patra. "Kamu gimana?"

Patra balas terkekeh. "Kok, malah nanya balik?" Dia heran, lalu memandangi dua model cincin yang menjadi pilihan utamaku. "Kamu suka yang ini, ya?"

Jari Patra menunjuk cincin dengan dua berlian kecil di atas etalase kaca.

"Kok, kamu tau?" seruku spontan. Mataku membola.

"Hahahaha," Patra tergelak bangga. Kepalanya geleng-geleng. "Ya taulah! Ngapain pacaran sampai delapan tahun kalau nggak tau kebiasaan satu sama lain?"

Otomatis aku ikut tertawa.

The Emergency BoyfriendWhere stories live. Discover now