episode 01 [] a normal family she has

231 22 0
                                    

Jam kerjanya sudah selesai sejak beberapa waktu yang lalu. Tubuhnya sudah segar setelah mandi, dan sekarang sudah dibalut oleh kaus oversize berwarna abu serta celana setengah paha berwarna hitam yang hampir tidak terlihat karena kausnya. Ia sekarang sedang duduk di depan meja belajarnya dengan buku paket yang terbuka.

Meskipun demikian, pikirannya tidak ada pada materi yang tertampil pada lembaran buku itu. Di tangannya malah bertengger ponsel yang menampilkan laman sosial media. Keduanya—buku dan ponsel—sebenarnya sama membosankan, tetapi tidak ada hal lain yang bisa gadis itu lakukan untuk sekarang. Ya, itu sampai sebuah seruan yang memanggil namanya terdengar, disertai ketukan pintu.

"Na! Navea, makan malam sudah siap!" Suara khas keibuan itu masuk ke dalam pendengaran Navea. Detik berikutnya ia langsung bangkit untuk keluar kamar, tidak ingin membuat siapa pun menunggu lama.

Saat pintu terbuka, Sabia—sang mama—masih ada di sana dengan tangan yang bertengger di pinggang, jelas menunggu dirinya.

"Papa udah pulang?" Ia bertanya sambil melangkah di samping Sabia.

"Hm, hari ini katanya bisa pulang lebih awal. Papa udah nunggu di meja makan."

"Mama juga gak ada urusan buat pergi-pergi lagi, 'kan?"

Bukan tanpa alasan ia bertanya demikian, beberapa waktu lalu sang mama mengikuti diklat di luar kota selama hampir dua pekan. Sebelum itu pun sang papa yang pergi ke luar kota sebagai seorang dokter relawan di daerah yang terkena bencana. Hampir sebulan pria itu berada di sana. Sepi menjadi teman akrabnya belakangan ini.

"Sampai tahun depan gak ada, Mama cuma bakal sibuk lagi di firma. Emangnya kenapa? Kamu kangen sama Mama?"

"Iya, aku kangen Mama, sama Papa juga. Sepi tahu sendirian di rumah. Papa balik-balik langsung sibuk lagi di rumah sakit sampe malam." Navea membalas dengan lesu.

Sebenarnya Sabia bertanya dengan niat untuk bercanda—menggoda Navea, jarang-jarang putrinya itu mengungkapkan apa yang dirasakan. Akan tetapi, ia dibuat tidak menyangka jawaban jujur seperti itu yang akan diberikan putrinya. Hatinya mencelos, merasa bersalah.

"Maaf ya, Na, karena Mama dan Papa terlalu sibuk." Sabia berhenti dan menghadap putrinya.

Navea ikut menghentikan langkahnya, lalu menatap sang mama.

"Aku paham, Ma. Gak papa, kok." Ia memberikan senyuman manis agar tidak membuat sang mama kepikiran lagi. Dalam hati merutuki dirinya sendiri. "Mending kita cepetan ke ruang makan, nanti Papa nunggu makin lama."

"Na." Sabia menangkup pipi Navea dengan satu tangannya, mengelusnya lembut penuh sayang. "Makasih udah mau jadi anak Mama dan Papa." Ia memeluk Navea setelah itu, erat, tetapi tidak membuat gadis itu tidak nyaman.

"Aku yang harusnya bilang makasih buat Mama sama Papa karena udah milih aku di antara belasan anak panti waktu itu."

"Iya, sama-sama, Sayang." Sabia mengecup puncak kepala.

"Bagus ya, Papa nunggu lama kalian malah seneng peluk-pelukan di sini. Gak ngajak-ngajak lagi." Arandanu, sang kepala keluarga, muncul dan menatap kedua permatanya dengan pura-pura kesal. Dia melangkah untuk mendekat, kemudian membuat pelukan besar untuk menyelimuti Sabia dan Navea. "Lain kali kalau mau pelukan itu ngajak dong, masa Papa dilupain."

"Iya, Papa." Navea tertawa kecil dalam pelukan kedua orang tuanya.

Pelukan hangat itu akhirnya terurai. Waktu makan malam akan semakin terlewati jika mereka lebih lama di sana.

Menuju ruang makan bersama, Navea dirangkul oleh sang papa.

Tiba di sana masing-masing dari mereka pun mengambil tempat duduk seperti biasanya. Arandanu duduk di sisi ujung meja, sedangkan Sabia dan Navea duduk di sisi kiri dan kanan.

"Sekolah kamu gimana, Na? Ada kesulitan?" tanya Arandanu setelah minum.

"Nggak ada, semuanya baik-baik aja. Aku juga udah punya temen."

"Kalau ada kesulitan bilang, ya. Maaf kamu harus pindah sekolah."

"Aku gak keberatan, Pa. Keputusan Papa dan Mama pasti untuk kebaikan."

"Iya. Tetap aja ...."

"Aku bakal bilang kalau kesulitan, oke? Papa gak perlu khawatir."

Akhirnya Arandanu hanya bisa mengembuskan napas. Ia tidak ingin mendesak putrinya lagi.

"Makan yang banyak, Na. Kamu kurusan, pipi bulat kamu hilang itu."

"It's ideal weight, Pa. Bagian mana yang jurusan coba."

"Bukan berat badan ideal kalau pipi bulat kamu hilang, Na. Papa lebih suka kamu yang punya pipi bulat, kan, bisa diuyel-uyel."

"Itu, mah, emang maunya Papa."

"Ya emang, makanya Papa bilang gini. Masa pertumbuhan gini kamu harus banyak makan. Selama kamu sehat, gak papa punya berat badan lebih. Papa malah suka, itu artinya Papa berhasil rawat dan besarin kamu. Papa sama Mama kerja, kan, juga biar kamu bisa makan apa pun yang kamu mau."

"Iya, iyaa. Kalau pengen aku bakal makan banyak." Akhirnya Navea mengalah, tidak memberikan argumen lainnya untuk membalas sang papa lagi.

[✓] MemoriesTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon