episode 17 [] that familiar boy she met in library

29 10 0
                                    

Tarik pelan, embuskan dengan sedikit kasar. Begitu terus selama beberapa saat ia melangkahkan kaki di koridor.

Bosan melingkupi dirinya, tidak seperti biasanya, dikarenakan Aruna yang tidak hadir hari ini. Jika biasanya gadis berkacamata itu akan mengajaknya berbicara, entah untuk berdiskusi atau sekadar menanyakan perihal basa-basi, kali ini tidak ada yang mengajaknya berbicara. Siswa sekelasnya yang lain lebih memilih untuk sibuk sendiri atau bertukar kalimat dengan teman dekat masing-masing.

Aleta dan Meira pun tidak. Kedua gadis itu kali ini duduk di sisi kelas lainnya setelah kemarin mendapati tempat duduk di sana lebih sejuk.

Karena sudah sendirian sejak awal, Navea pun memilih untuk lanjut menyendiri di perpustakaan begitu waktu istirahat tiba.

Setelah membeli sebotol air mineral dan roti panggang dengan selai cokelat, langkah kaki Navea langsung membawa dirinya menuju perpustakaan. Tidak duduk di bangku depan perpustakaan seperti biasa, kali ini benar-benar menyendiri di dalam perpustakaan.

Pak Harto, penjaga perpustakaan yang bertugas hari ini, untungnya mengizinkannya untuk membawa serta minuman dan makanannya. Kalau yang bertugas adalah penjaga perpustakaan perempuan yang biasanya lebih sering menampilkan raut ketus, maka sudah pasti tidak akan ia mendapatkan izin. Jangan lupakan ceramah tambahan yang bisa membuat telinga dan hati panas.

Memilih tempat duduk di bagian terdalam perpustakaan, Navea mewujudkan tujuannya untuk menyendiri. Sebelum itu, ia menyempatkan diri untuk menghampiri rak fiksi yang berisi berbagai novel. Meraih salah satu yang tidak terlalu tebal, barulah setelahnya ia duduk dengan tenang.

Bungkus plastik roti ia buka, untuk memakan isinya sembari ditemani bacaan novel yang sudah terbuka di depannya. Navea tidak menyempatkan untuk membaca sinopsis di sampul belakang, malas, karena itulah ia langsung membacanya tanpa memusingkan alur ceritanya.

Rotinya telah termakan setengah ketika Navea mencapai bab tujuh, padahal ukuran roti itu tidak besar. Tenggelam dalam cerita novel itu membuatnya beberapa kali lupa untuk kembali menyuapkan roti ke dalam mulutnya.

Berhenti sejenak, mengalihkan pandangan dari lembaran buku novel itu dan meletakkan rotinya di atas meja setelah dimasukkan kembali ke dalam plastik. Navea meraih botol air mineral yang belum disentuhnya sama sekali dari tadi. Memutar tutupan botol dengan sekuat tenaganya, tetapi tidak menghasilkan apa-apa. Segel bulat dan tutup botolnya masih merekat. Mencoba lagi, tetapi hasil yang sama ia dapatkan.

"Haish!" rutuknya sambil menatap telapak tangannya yang sudah memerah.

Tidak, tidak. Bukannya sok lemah, tetapi seringnya Navea memang tidak berhasil membuka tutup botol. Aruna yang biasanya akan turun tangan membantunya tidak ada.

Ingin mencoba lagi setelah rasa perih di telapak tangannya mereda, tetapi tangan lainnya lebih cepat mengambil alih botol miliknya.

Krek!

Bunyi tutupan yang telah terbuka memasuki indra pendengarannya, kemudian disusul botol yang diletakkan di depannya.

"Makasih," ucap Navea ditujukan kepada lelaki di seberangnya, yang telah membantunya membuka tutup botol. Rambutnya acak-acakan, ada kacamata yang bersandar di hidung mancungnya. Tidak ada dasi yang bisa membantu Navea mengetahui apakah laki-laki itu senior atau seangkatan dengannya.

"Hm."

Setelahnya lelaki itu membaringkan kembali tubuhnya di atas tiga bangku yang telah berjejer rapat. Salah satu kakinya ditekuk dan bersandar pada punggung bangku.

Navea tidak tahu sejak kapan bangku-bangku itu tersusun, tidak tahu juga sejak kapan lelaki itu menempati tempat di seberangnya. Namun, rasanya rupa lelaki itu familiar dalam ingatannya.

"Gak usah peduliin gue. Lanjut aja yang sebelumnya lo lakuin."

Tubuh Navea tersentak. Apa lelaki itu punya indra ke-enam sehingga tahu kalau sedang dilihat?

"Asal lo tahu aja, gue udah lebih dulu nempatin meja ini jauh sebelum lo ada di sekolah ini. Biasanya gue tidur di bangku yang lo dudukin itu, tapi hari ini gue biarin."

Dari kalimat barusan, Navea akhirnya mengetahui bahwa lelaki itu adalah kakak kelasnya. Ia tidak memberi balasan, membiarkan hening mendominasi di antara mereka. Sementara itu, ia lanjut membaca novel setelah menenggak air.

"Kalau udah bel bangunin gue, ya."

Navea kembali mengangkat pandangannya, kali ini netranya berhasil bertatapan dengan milik lelaki itu. Namun, hanya sesaat karena ia kembali membaringkan diri di atas bangku.

"Oke."

Aidan Attarandi.

Sebaris nama itu sempat Navea lihat terukir di seragam bagian dada kanan lelaki itu.

Tidak melanjutkan kegiatan membacanya, Navea malah melanglang buana bersama pikirannya. Sosok lelaki bernama Aidan yang terlihat familiar ini mengganggu pikirannya, sehingga membuat ia berusaha keras menggali ingatan.

Ah, benar. Mereka pernah bertemu sebelumnya, dalam bentuk tabrakan kecil yang terjadi di perpustakaan ini juga. Kacamata milik lelaki itu yang paling membantu Navea dalam mengingat.

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now