episode 20 [] completing notes before exam week started

26 10 0
                                    

Kondisi kafe kembali sepi ketika jam makan siang telah berakhir. Hanya tersisa tiga orang yang menempati salah satu meja, terlihat sepertinya sedang mengerjakan tugas bersama sembari mengisi perut.

Hari ini Navea pulang lebih awal. Guru-guru yang mengadakan rapat menjelas ujian akhir semester menjadi penyebabnya. Gadis itu memilih untuk langsung datang ke kafe daripada pulang ke rumah. Baginya, terlalu sayang jika harus bolak-balik ke kafe nanti. Energinya akan terkuras lebih banyak.

Duduk di atas bangku tinggi belakang meja kasir, di depannya terbuka buku catatannya dan milik Aruna yang ia pinjam tadi. Navea tidak masuk ke sekolah kemarin karena keram perut yang begitu menyiksa di hari pertama tamu bulanannya, jadilah hari ini meminta Aruna untuk membawa buku catatan hari kemarin.

"Nugas, Na?" Seli yang baru datang setelah mengantarkan minuman pesanan seorang pengunjung melihat buku Navea yang terbuka.

"Bukan, Kak," jawab gadis itu dengan singkat. "Kalau liat gue lagi nulis pasti Kak Seli nanya ini lagi nugas apa nggak, deh."

"Ya, abisnya lo selalu keliatan serius. Gue aja kalau sekadar nyatet, mah, masih diselingin hal lain. Lah, lo fokus banget kayak dikejar deadline tugas."

"Kan, biar cepet selesai." Navea membalas. "Lagian kalau tiap hari sekolah dapet tugas, ya, jadi puyeng gue. Gak bakal sempat lagi kerja di kafe ini."

Seli tersenyum tipis. "Kenapa juga, sih, harus nyatet-nyatet segala. Sekarang udah zamannya serba instan, Na. Tinggal buat note di hape, gerakin dua jari doang. Kalau nyatet malah bikin pegel."

"Say that ke orang-orang yang emang gak bakal kena penyakit mata. Kalau gue natap hape mulu terus rabun jadinya rugi, lah, harus pake kacamata lagi. People are free to see the world, tapi gue bahkan bakalan harus bayar cuma buat bisa gunain salah satu indra punya gue sendiri. Jadi, no. Gue nolak gagasan itu."

"Iya, deh. Iya." Akhirnya Seli mengangkat kedua tangannya dengan rendah. Pertanda menyerah untuk meladeni gadis yang lebih muda 4 tahun darinya itu. "Kalau gitu lo lanjut di sana aja, biar gue yang di sini biar ngurus kalau ada yang datang."

"Oke. Makasih, Kak Sel. Kalau butuh bantuan bilang aja."

"Yoi."

Beranjak dari kursi tinggi di belakang kasir, Navea membawa buku-buku serta kotak pensilnya ke meja belakang bar table yang biasanya digunakan para pengunjung yang suka menyendiri. Meletakkan buku serta kotak pensilnya, kemudian ia menarik bangku tinggi lain untuk digunakan.

Melanjutkan kegiatannya menyalin catatan yang tersisa sedikit lagi, beberapa saat kemudian gadis itu selesai.

Jemarinya yang menekuk selama memegang pulpen ia bunyikan hingga terdengar bunyi 'klek' yang mungkin bisa mengundang perasaan ngilu pada beberapa orang. Kemudian menyimpan kembali pulpen serta correction tape ke dalam kotak pensil, buku-buku juga ia tutup lalu menumpuk semua benda itu menjadi satu.

"Kak Sel, gue ke belakang bentar buat nyimpen buku, ya," ujarnya pada sang rekan yang berada di belakang kasir.

Setelah mendapatkan balasan singkat, Navea langsung menuju ke ruang para pekerja di mana tasnya disimpan. Memasukkan semua benda miliknya ke dalam tas, setelah memastikan ingat menutup resleting tas, ia pun kembali ke depan.

Ketika kembali, ia mendapati wajah tidak asing yang sedang menempati salah satu tempat di bar table. Lelaki itu pun balik menatapnya kemudian memberikan senyuman. Navea membalasnya lalu menghampiri lelaki itu.

"Baru keliatan, Na," ujar si lelaki. "Lo sekarang jarang ke perpus lagi apa gimana? Biasanya duduk depan perpus sampe keliatan dari lapangan."

"Oh, belakangan emang lagi jarang ke sana aja. Lebih sering bareng temen di kelas abis jajan ke kantin." Navea membalas kakak kelasnya itu. "Gue juga sekarang hampir gak pernah ketemu sodara lo itu. Kak Januar makin sibuk, ya?"

Kaivan, lelaki itu, merotasikan bola matanya mendengar pertanyaan Navea. "Gue yang ada di sini malah itu satu yang lo tanyain. Kita juga udah gak ketemu lama, seenggaknya tanyain kabar gue, kek. Kalau misalnya sekarang lo ketemunya sama Januar, lo bakal nanyain gue ke dia?"

"Ya, tergantung, sih." Navea menjawab dengan asal.

"Ah, lo mah gitu banget, Na, sama gue. Ikut-ikutan jadi penggemarnya si Ketua OSIS Januar."

"Lho, emang Kak Januar punya penggemar? Gue baru tahu."

"Ya kan, lo tahu sendiri dia itu ketua OSIS. Kinerja dia bagus. Jadi banyak, deh, penggemar dia."

"Hoo, iya, iya."

"Lo sendiri kenapa gak mau ikut jadi anak OSIS, Kak? Biar punya banyak penggemar juga kayak Kak Januar."

"Males ribetin diri. Lagian walaupun gue sama Januar sodara, gak harus apa-apa bareng, kan." Kaivan membalas dengan nada tidak acuh. "Gini-gini gue juga punya penggemar walaupun bukan anak OSIS. Gue mah mau mewujudkan keseimbangan sekolah. Kalau gue nambah jadi anak OSIS nanti hampir semua anak sekolah jadi penggemar gue, kasian yang lain gak dapet penggemar. Jadinya gue ngalah aja."

"Dih, pede banget lo!"

"Ya harus, dong." Lelaki itu menyahut dengan tidak mau kalah.

Kemudian Seli datang membawakan pesanan milik Kaivan. Berupa lima potong kue black forest, dan tiga chocolate-caramel latte untuk di-take away.

"Kalau gitu gue balik, ya."

"Iya. Hati-hati di jalan, Kak."

"Hm. Lo juga jangan kecapekan kerjanya, bentar lagi udah mau ujian."

"Siap, Pak Bos."

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now