episode 14 [] present for those unexpected brothers' mom

33 11 0
                                    

Ulang tahun ibu sambungnya yang akan tiba besok membuat Kaivan sangat kebingungan dalam menentukan hadiah yang akan ia berikan pada wanita itu. Segala macam bentuk benda sudah terlintas di benaknya, tetapi di detik berikutnya ia tidak merasa benda-benda itu cocok untuk dihadiahkan pada sang mama.

Karena sudah putus asa memikirkan itu semua, pilihan terakhirnya jatuh pada bertanya Januar—anak kandung mamanya itu. Seperti kata pepatah, darah lebih kental daripada air, bukan?

Jadi, di sinilah Kaivan sekarang. Berada di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari sekolah mereka, untuk menunggu saudaranya itu yang masih mengadakan rapat bersama anggota OSIS lainnya. Saudaranya itu memang kelewat rajin, padahal tidak ada salahnya menghabiskan waktu masa sekolah dengan tenang sebagai siswa biasa.

"Tsk! Ini anak lama banget, sih, rapatnya. Lama-lama dompet gue kering nunggu di sini," gerutunya tanpa memalingkan pandangan dari layar ponsel. Kedua ibu jarinya bergerak dengan aktif untuk mengetikkan pesan beruntun pada Januar. Kalau saudaranya itu kesal, setidaknya dapat sedikit menghapus sedikit kekesalan seorang Kaivan ini. Menjahili Januar memang semenyenangkan itu bagi Kaivan.

Meraih cangkir kopi, saat akan membawanya ke depan bibir, Kaivan baru menyadari kalau cangkir itu sudah kosong. Kopi yang merupakan candunya, serta harus menunggu Januar yang entah kapan akan datang, membuat ia tidak sadar telah menghabiskan cangkir keduanya sejak mendudukkan di stool bar chair.

Tangan kirinya terangkat, dua jarinya hinggap di pangkal tulang hidung untuk memberikan pijatan ringan di sana. Ia harus berhenti minum kopi sekarang.

Mengangkat tangannya rendah pada seorang gadis yang berjaga di balik kasir, setelah itu dirinya langsung didatangi.

"Bagaimana, Kak? Perlu sesuatu lagi?"

"Gue mau satu botol air mineral, sama ...." Netra Kaivan berlarian pada etalase kue di samping meja bar. "Macaron-nya lima." Sebenarnya Kaivan bukan penyuka sesuatu yang manis, tetapi kali ini rasanya ia ingin, untuk mengurangi rasa pahit kopi yang tersisa di indra pengecapnya. Lagipula hanya sesekali.

"Permisi, Kak. Ini pesanannya."

Seorang gadis lainnya yang membawakan pesanan Kaivan, meletakkannya di depan laki-laki itu. Kaivan sendiri tidak begitu menghiraukannya, masih menatap layar ponselnya, menampilkan pesan yang akhirnya mendapatkan balasan.

"Makasih," ucapnya seraya menarik botol air mineral itu untuk membukanya. Saat mendongak untuk minum, ia baru melihat wajah tidak terduga di hadapannya saat ini. "Navea?"

Si gadis yang baru saja memberikan arahan menuju toilet pada seseorang langsung menoleh. Ia sama terkejutnya dengan Kaivan. Tidak menyangka.

"Lo kerja di sini?" Kaivan melontarkan tanya setelah meletakkan kembali botol air mineral. Ia memandang lurus Navea.

"Kak Kai ...." Navea berucap dengan sedikit ragu, mematung sesaat di tempatnya. "Iya, ... gue kerja di sini."

Belum membalas perkataan gadis itu, Kaivan merasakan tepukan di pundaknya, disusul seruan seseorang. "Woy! Maaf lama."

"Eh, Navea?" Orang yang baru datang itu juga melemparkan pandangan tidak menyangka kala mendapati sosok Navea. Netranya bergerak naik dan turun, memindai penampilan gadis itu. "Lo kerja di sini?" Januar, orang yang baru datang itu, bertanya dengan nada tidak santai.

"Hei, Na, ada masalah?"

Navea menoleh pada Seli yang menghampiri, raut penasaran tercetak jelas di wajah rekan kerjanya itu.

"Nggak ada apa-apa, Kak. Mereka kenalan gue."

"Oke ...." Seli menatap Januar dan Kaivan dengan curiga. Terlihat tidak percaya dengan jawaban yang diberikan Navea. "Gue balik ke sana, kalau ada apa-apa panggil aja," pesannya sebelum beranjak.

Navea memandangi punggung Seli yang menjauh untuk sesaat, kemudian kembali menaruh atensinya pada kedua lelaki 'kenalannya' itu.

"Jadi lo beneran kerja di sini, Na?" Januar kembali bertanya karena belum mendapatkan jawaban.

"Hm, gue kerja di sini."

"Kenapa kerja? Lo itu harusnya fokus belajar, masih anak baru juga."

"Gue gak sebodoh itu sampe gak bisa pahamin pelajaran. Lagian sekarang udah semester baru, materinya baru lagi." Navea memandang Januar dengan sinis. "Terus kalian berdua ngapain ke sini? Keliatan deket lagi."

"Ini tempat umum, terserah kita mau di sini atau di kafe lain." Kaivan bersuara, tidak ingin keberadaannya terlupakan oleh kedua orang ini.

"Karena gue gak ada urusan sama kalian, gue mau balik kerja."

"Bentar, di sini dulu bareng kita. Lagian ada temen lo juga di sana." Januar mencegahnya sebelum Navea sempat membalikkan tubuhnya.

"Mau ngapain lagi, sih?"

"Gue mau minta pendapat bentar, gak sampe sejam."

Akhirnya Navea mengalah. Ia kembali berdiri dengan tegak di depan kedua lelaki itu, masih dibatasi meja bar di antara mereka.

"Buruan! Gue masih harus kerja."

"Menurut lo, bagusnya ngasih apaan kalau nyokap ulang tahun?"

"Kue aja. Tuh, yang kayak gitu." Tidak memerlukan waktu untuk berpikir, Navea langsung menjawab sambil menunjuk salah satu kue di dalam etalase kue.

"Lo yakin?" Kaivan memandang kue itu dengan tidak yakin. "Kalau nyokap kita gak suka gimana?"

"Nyokap kalian? Kalian sodaraan?" Netranya yang membulat menatap Kaivan serta Januar secara bergantian.

"Biasa aja matanya. Lagian emangnya ada masalah kalau gue sama Januar sodaraan?"

"Ya.. gak kenapa-napa, sih. Gue cuma gak nyangka aja. Kalian gak pernah keliatan bareng."

"Emangnya kalau sodaraan harus bareng mulu? Nggak, lah. Gue juga ogah bareng terus sama ini anak."

"Heh, lo kira gue mau bareng sama lo? Nggak, ya!" sahut Januar tidak kalah sengit.

"Jangan ribut di sini!" sela Navea dengan nada yang ditinggikan agar dihiraukan kedua orang itu. "Jadi nggak ngurusin hadiah buat nyokap kalian?"

Mengingat kembali tujuan awal mereka, Januar mengembuskan napas pelan. "Lo yakin cuma kue doang?"

"Emangnya kenapa kalau kue. Kemarin gue bawain buat nyokap katanya enak, kok. Buatan Kak Tama emang pada enak-enak, kalian harus coba."

Januar dan Kaivan bertatapan untuk beberapa saat. Mereka tampak seperti sedang berdiskusi tanpa suara—melalui telepati.

"Oke, kita pesen yang kayak gitu. Besok abis pulang sekolah bakal kita ambil," ucap Kaivan akhirnya.

"Kalau gitu gue sampein ke Kak Tama dulu." Navea pun mengundurkan diri dari sana.

[✓] MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang