episode 18 [] officially knew each other after the third

27 10 0
                                    

Bel telah berbunyi. Koridor berubah menjadi ramai dan penuh sesak dalam sekejap begitu guru yang mengajar pelajaran terakhir telah meninggalkan setiap kelas. Waktu pulang sekolah yang telah ditunggu sejak tadi membuat para siswa rela berdempet-dempetan untuk segera sampai di lahan parkir, atau langsung menuju gerbang sekolah.

Navea sendiri masih berada di kelas untuk menjalankan tugasnya. Tidak ikut menjadi salah satu siswa yang berjuang dalam sesak di koridor luar kelas. Hari ini adalah jadwal piket Navea, menjadikannya pulang lebih lama dari yang lainnya.

Aruna sudah pulang lebih awal tadi, saat waktu istirahat, dikarenakan sebelumnya belum sembuh sepenuhnya. Wajah gadis itu yang pucat mengundang orang-orang untuk mendesaknya kembali beristirahat di rumah. Sambil menunggu jemputan gadis itu datang, Aruna disuruh untuk beristirahat di ruang kepsek, ditemani oleh Navea sebagai teman terdekatnya sekarang ini. Karena itu, tanpa adanya Aruna membuat Navea kembali sendiri di sekolah.

Setelah mengatur tata letak meja dan bangku, Navea mengambil tumpukan buku paket bahasa Indonesia untuk dikembalikan ke perpustakaan. Sebenarnya siswa sekelas yang mendapat jadwal piket di hari yang sama dengannya menawarkan untuk membawa tumpukan buku itu bersama, tetapi Navea menolak dan merasa tidak apa-apa untuk melakukannya sendiri.

Tiba di perpustakaan, seperti biasanya buku-buku itu akan dilaporkan terlebih dulu pada penjaga, setelahnya baru bisa Navea bawa kembali untuk dikembalikan ke tempat semula.

Navea melakukan itu dengan cepat, karena 15 menit lagi adalah waktu kerjanya di kafe. Ia harus bergerak cepat jika tidak ingin terlambat.

"Siang, Pak! Saya duluan," pamit Navea seraya melangkah keluar perpustakaan.

Kedua tungkainya langsung membawa Navea berbelok dengan cepat ke lobi. Hal itu membuatnya terlibat tabrakan kecil dengan seseorang yang datang dengan cepat dari arah belakang.

"Duh! Maaf, maaf, gak sengaja."

"Gue juga minta maaf." Balasan itu terdengar, kemudian Navea merasakan sebuah tangan di lengannya yang membantu mencegah agar ia tidak kehilangan keseimbangan. "... ini tabrakan kedua kita, cuma bedanya sekarang bukan di dalam perpus."

Oh, ternyata Aidan. Entah mengapa pertemuannya dengan lelaki yang merupakan seniornya ini diisi oleh tabrakan, walaupun tidak selalu. Tempo hari mereka bertemu tanpa tabrakan.

"Lo keliatan buru-buru juga, mau bareng?" tawar Aidan.

"E-eh ... gak usah, Kak. Gue bisa sendiri."

"Gue maksa, daripada kita berdua telat ke tujuan masing-masing." Lelaki itu tidak menunggu balasan Navea dan langsung menarik tangan gadis itu menuju parkiran, tempat motornya berada. "Lo mau ke mana?" Ia bertanya seraya memundurkan Vespa LX 125 i-Get miliknya yang berwarna krem.

"Ke kafe baru yang ada di sana." Navea menjawab setelah terdiam sejenak, tangannya terangkat untuk menunjukkan arah secara langsung.

"Oh, gue tahu. Yuk, langsung naik. Sori gak ada helm lain, kalau ada lain kali gue bakal sediain helm."

Navea tidak begitu menghiraukan ucapan lelaki itu, karena sedang menyamankan diri di atas jok belakang. Sedikit menunduk setelah memasang tudung hoodie di kepala, Navea melihat tangannya yang hampir tertutupi seluruhnya oleh lengan hoodie yang panjang. Untung ia selalu memakai hoodie, jadi kulitnya terhindar dari sengatan sinar matahari.

"Udah?" Aidan menoleh ke belakang dan menatap Navea. Pertanyaannya itu dijawab oleh sebuah anggukan kecil.

Vespa krem itu akhirnya meninggalkan parkiran sekolah berikut keluar dari gerbang dan memasuki jalanan, bergabung bersama kendaraan lainnya.

Selama perjalanan singkat itu tidak ada percakapan lainnya yang terjadi di antara mereka berdua. Aidan fokus dengan jalanan sedangkan Navea sibuk melihat bangunan-bangunan di sepanjang jalan, ya, walaupun sudah ia lihat hampir setiap hari.

Ketika Vespa akhirnya berhenti di depan kafe, Navea menegakkan punggungnya untuk kemudian langsung turun dari sana setelah Aidan benar-benar memberhentikan motor itu.

"Makasih buat tumpangannya, Kak."

"Iya, bukan apa-apa, kok." Tangannya terangkat untuk memperbaiki posisi kacamata sembari membalas. "Oh, ya, ini dihitung sebagai pertemuan ketiga kita. Rasanya kurang kalau kita belum kenalan. Gue Aidan."

Sudah.

Navea sudah mengetahui namanya sejak pertemuan kedua mereka waktu itu di perpustakaan. Meskipun ia tidak bermaksud mendahului.

"Ya, gue Navea."

Aidan mengangguk kecil. "Kalau gitu gue langsung jalan, ya."

"Iya. Sekali lagi makasih buat tumpangannya."

Masih berdiri sejenak di tempatnya, setelah Aidan berserta Vespa kremnya cukup jauh dari pandangan, ia segera masuk ke dalam kafe.

[✓] MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang