episode 12 [] being honest is not always that bad

42 12 0
                                    

Satu pekan telah berlalu, berada di Kafe Tenara. Setelah melayani pelanggan terakhir, Navea dan Seli dipanggil oleh Tama ke dapur. Pertanyaan memenuhi benak keduanya sembari menuruti panggilan itu. Tiba di sana, ternyata mereka malah disodori dua kotak dengan logo kafe, berisi berbagai kue pastri.

"Dalam rangka apa, nih? Kak Tama abis nyoba buat kue baru lagi?" Seli bersuara sambil menatap kotak di tangannya.

"Gak usah banyak tanya, ambil aja. Kalian juga bisa langsung pulang." Tama membalas dengan tidak acuh.

"Lho, tapi kita belum ngosongin mesin kasir."

Kekehan kecil menyela. "Udah, kalian pulang aja. Nikmatin kuenya. Si Tama lagi kerasukan jin baik, makanya gitu." Sakti menjelaskan sesingkat mungkin.

Akhirnya kedua gadis itu mengangguk kecil dengan kompak, lalu mereka pamit dan menuju ruangan khusus pekerja untuk menyimpan kembali apron. Setelahnya mengambil tas milik masing-masing. Sebelum keluar, mereka pamit sekali lagi pada kedua lelaki yang masih menetap di dapur itu.

"Mau bareng, Na? Udah sore banget, nih," tawar Seli setelah menancapkan kunci motor.

"Nggak, Kak, makasih. Lagian rumah gue depan sana aja, kok."

Seli mengangguk kecil, kemudian memakai helm. "Gue duluan, Na. Hati-hati di jalan, ya!"

"Kak Seli juga hati-hati!" Navea melambaikan tangannya singkat mengantarkan kepergian Seli. Setelah motor gadis itu cukup jauh, Navea melangkah ke tepi jalan, melihat sekitar sejenak sebelum menyebrangi jalan dengan cepat.

Hanya perlu berjalan selama beberapa saat, Navea akhirnya tiba di rumah. Mobil dan motor kedua orang tuanya telah terparkir di balik pagar. Kebingungan melanda gadis itu, tetapi juga senang karena kedua orang tuanya pulang lebih awal.

Memasuki rumah dengan cepat, Navea menuju dapur untuk menyimpan kue pemberian Tama. Sosok sang mama didapatinya di sana.

"Kok, baru pulang, Na?" Sabia bertanya tanpa mengalihkan pandangan dari masakannya.

Tiba-tiba Navea diserang gugup. Dalam hati, ia menyadari kalau menyembunyikan sesuatu dari kedua orang tuanya itu tidak baik. Hanya saja ia belum menemukan waktu yang tepat untuk mengatakannya.

"Dapat kue dari mana, Na?" Pertanyaan kembali dilontarkan Sabia walaupun yang sebelumnya belum mendapatkan jawaban. Kali ini pandangannya tertuju pada sang putri. Kompor pun telah dimatikan. "Tadi Mama liat kamu di kafe depan kompleks. Ngapain di sana? Kenapa gak langsung pulang aja?"

Tubuh Navea membatu di tempatnya berdiri sekarang. Dingin merambati tengkuknya.

"Jawab, Na!" Sabia menatap putrinya dengan nanar. Dalam hati berharap jika apa yang dilihatnya dalam perjalanan pulang tadi bukanlah putrinya. Namun, keterdiaman Navea mendatangkan takut. Takut jika apa yang dilihatnya itu memang benar.

"Aku ... kerja di sana, Ma."

Seketika tatapan nanar itu berubah menjadi tatapan kekecewaan. Lapisan kaca bening menyelimuti maniknya.

"Kamu dengar itu, Mas."

Tubuhnya berjengit seketika. Dengan kaku dan takut, Navea mengikuti arah pandangan mamanya. Kembali dibuat merasa bersalah, ia mendapati sang papa yang berdiri tidak jauh darinya.

"Maaf ...," cicitnya. Kepala Navea tertunduk, tidak berani menatap salah satunya.

"Kenapa, Na? Uang jajan kamu kurang? Mama sama Papa masih bisa biayain semuanya buat kamu, Na! Kamu gak perlu kerja. Yang perlu kamu pikirin itu cuma sekolah. Belum waktunya kamu capek-capek kerja!"

"Bukan gitu, Ma ...."

"Terus kenapa, Na? Kasih tahu Mama kenapa kamu kerja?"

"Awalnya cuma iseng aja, aku juga bosen di rumah aja abis pulang sekolah. Mama sama Papa, kan, selalu pulang malam. Gak banyak yang bisa aku lakuin selama sendirian di rumah."

"Tapi kenapa harus kerja? Kamu boleh main ke rumah temen, atau jalan-jalan ke mall. Gimana kalau kamu sakit karena kecapekan? Mama gak bisa liat kamu sakit, Na!"

"Maaf, Ma ...." Navea mengagumkan kata maaf lagi pada akhirnya, tidak bisa memberikan pembelaan lain. Kepalanya semakin tertunduk dalam. Hingga ia merasakan kehangatan melingkari pundaknya. Arandanu yang melakukan itu.

"Kita udah cukup mendengar penjelasan Navea, mungkin dengan memberikan kesempatan buat eksplor dunia lebih baik daripada cuma tiduran aja di kamar. Apalagi selama ini Navea berada di asrama, masih ada banyak tempat yang belum dieksplor. Lagian ini cuma kafe di depan kompleks, kita masih bisa ngawasin Navea."

"Mas! Sekarang kamu ngebela Navea? Gimana kalau Navea sakit karena kecapekan?"

"Aku bukan ngebelain, tapi aku cuma mencoba ngertiin Navea."

"Jadi maksud kamu aku gak bisa ngertiin Navea? Aku ibunya, aku tahu apa yang baik buat putriku!"

"Navea juga putriku, Sa."

"Pa, ... Ma." Navea akhirnya bersuara untuk melerai kedua orang tuanya. "Aku gak papa, oke? Aku gak akan sakit karena kecapekan, nilai aku di sekolah juga gak akan terganggu. Jadi aku minta sama Papa dan Mama buat izinin aku, ya."

"Walaupun kamu telat minta izinnya, Papa izinin kamu." Arandanu mengusap puncak kepala Navea dengan sayang.

Kini gantian Navea menatap pada mamanya. "Ma?"

Sabia memijit pelan pelipisnya. "Lagian Mama udah kalah suara juga, kan. Tapi ingat, Na, sekali kamu sakit berarti harus langsung resign. Mama gak terima alasan lain."

"Makasih, Mama!" Navea melempar tubuhnya pada Sabia dan memeluk mamanya itu dengan erat. Selang beberapa detik, pelukannya itu langsung mendapat balasan. Arandanu pun ikut membawa keduanya ke dalam dekapan lebarnya.

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now