episode 27 [] like to keeping herself to be busy

46 11 2
                                    

Kelas sedang berlangsung. Seorang guru perempuan berusia setengah baya berada di depan kelas untuk menjelaskan materi, terdapat banyak angka dan garis yang memenuhi papan yang sebelumnya bersih dari noda tinta.

Matematika menjadi pelajaran yang terkesan santai. Bukan dalam hal materinya, tetapi karena para siswa diperbolehkan membuka ponsel selama pelajaran berlangsung. Tentu untuk menggunakan kalkulator, hanya saja kesempatan itu digunakan sebaik mungkin untuk menjauh dari keruwetan pelajaran yang membuat pening. Media sosial menjadi jalan keluar alternatif.

Bukan seorang siswa yang lurus-lurus amat, Navea juga melipir ke aplikasi berkirim pesan saat kesempatan datang. Satu nomor soal yang diberikan telah selesai ia kerjakan. Jadi, daripada menatap bosan dan menunggu siswa sekelasnya yang lain selesai, ia membuka aplikasi dengan logo warna hijau itu kala angka notifikasi muncul di atasnya.

Pesan dari Tama, sang pemilik Kafe Tenara.

Navea segera membuka ruang obrolannya dengan sang bos. Tumben sekali lelaki yang lebih tua delapan tahun darinya itu menghubungi lewat aplikasi seperti ini.

Membaca runtutan kalimat yang dikirim oleh Tama, Navea mendesah kecewa saat pesan itu berisi informasi bahwa kafe akan ditutup sampai akhir pekan nanti. Sang pemilik kafe memiliki alasan personal yang membuatnya tidak bisa berada di kafe sampai akhirnya pekan.

Jarinya bergerak cepat di atas layar ponsel untuk memberikan balasan singkat. Begitu selesai, ponselnya yang dibalut casing berwarna merah muda diletakkan ke atas meja.

Sekarang adalah hari Kamis, berarti ia akan terjebak dalam kebosanan selama empat hari karena kafe yang tidak beroperasi sementara waktu. Membayangkan hari-hari penuh kemonotonan di kepalanya, Navea mengembuskan napasnya dengan kasar.

"Na, jawabannya empat-puluh-enam koma tiga-dua bukan?"

Suara Aruna di sampingnya membuat ia menoleh. Gadis yang sudah menjadi temannya selama satu semester itu menatap dirinya lurus, menunggu jawaban.

Menurunkan pandangan untuk melihat hasil pekerjaannya sendiri, kemudian Navea kembali menoleh pada Aruna. "Iya, sama."

"Oke. Makasih, Na."

"Sama-sama."

Tidak lama setelahnya, sang guru menanyakan hasil kerja mereka. Karena sebagian besar menjawab telah selesai mengerjakannya, Bu Laeli–guru itu–meminta satu siswa untuk menuliskan jawabannya di papan tulis.

Beberapa siswa sekelasnya terlihat berebutan, Aleta dan Meira terlihat menjadi salah satunya, sedangkan dirinya terlalu malas untuk terlibat dalam drama rebutan itu. Pada akhirnya, Yohan yang berhasil memenangkan perebutan itu karena berhasil lebih dulu maju ke depan kelas dan mengambil spidol yang tersimpan di tepi papan tulis.

Navea memperhatikan siswa sekelasnya itu sambil bertopang dagu. Jika tidak ada hal yang harus dilakukan, bawaannya ia akan mengantuk. Untungnya Yohan menyelesaikan tulisannya dengan cepat sehingga langsung dilanjutkan dengan pemeriksaan oleh Bu Laeli.

Selesainya pemeriksaan itu bersamaan dengan berbunyi bel sekolah, pertanda berakhirnya waktu pembelajaran. Seruan lolos dari bibir beberapa siswa sekelasnya.

Dengan cepat, setelahnya mereka membereskan barang milik masing-masing dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Pelajaran hari ini ditutup dengan pesan singkat dari sang guru mata pelajaran matematika.

"Langsung keluar sekarang, Na?" Aruna yang telah siap dengan tali tas di pundaknya, berdiri di samping meja Navea.

"Iya. Bentar, ini tinggal masukin kotak pensil."

Setelah menutup resleting tasnya, Navea langsung beranjak dari bangkunya. Tali tasnya disampirkan ke pundak seraya ia berjalan keluar kelas bersama Aruna.

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now