episode 10 [] happy shopping day with class star

40 12 0
                                    

Penampilannya sudah rapi, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Tubuhnya berbalut blus berlengan balon yang mencapai pergelangan tangannya, berwarna baby blue, dan rok selutut berwarna putih. Di pundaknya tergantung sling bag berwarna hitam yang sewarna dengan wedges miliknya.

Sudah rapi begitu, Aruna kini sedang berdiri di depan sebuah pintu rumah. Ia sedang menunggu pintu di depannya terbuka setelah menekan bel. Tidak lama, karena setelah terdengar bunyi langkah kaki yang cepat dari dalam, Navea muncul dari balik pintu.

"Hai, Ru. Masuk dulu, yuk!" ajak gadis itu seraya membuka pintu lebih lebar. Kemudian ia menuntun Aruna ke ruang tamu minimalis rumahnya. "Tunggu sebentar ya, Ru. Gue tinggal sisiran dan ngikat rambut." Setelah Aruna mengangguk, ia menghilang menuju dapur.

"Jadi beneran udah punya temen, ya," celetuk Sabia yang sedang sibuk menonton acara memasak.

"Terus Mama pikir aku bohong kalau udah punya temen?"

"Ya siapa tahu kamu bilang ada temen biar Papa sama Mama gak nanya-nanya tentang keseharian kamu di sekolah."

"Ish, ish, ish.. tak boleh macam itu." Navea menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengucapkan satu kalimat yang diingatnya dari serial bocah botak kembar. Kemudian, tidak lagi menghiraukan sang mama, ia membuka kulkas dan meraih kotak jus jeruk untuk dituang ke gelas yang diambilnya setelah itu.

Gadis itu kembali ke ruang tamu untuk menyuguhkan segelas jus jeruk itu pada Aruna.

"Gak usah sungkan-sungkan, ya. Diminum dulu sambil nunggu gue bentar, oke."

"Seharusnya lo gak perlu repot-repot gini."

"Repot apaan, sih, itu jus kemasan. Gak ada repot-repotnya. Pokoknya harus lo minum, ya, kalau nggak kita gak bakal jalan sampai lo habisin."

Kembali ke kamarnya setelah melangkah dengan cepat, Navea segera meraih sisir dan kunciran berpitanya yang berwarna coklat. Rambut sepunggungnya diikat menjadi sebuah cepolan biasa saja agar cepat. Selesai dengan urusan rambut, yang mana persiapan terakhirnya, Navea mengambil sling bag hitamnya yang tergantung di belakang pintu. Sling bag itu ia isi dengan dompet, ponsel, tisu, serta hand sanitizer.

Untuk agendanya hari ini bersama Aruna, Navea memilih outfit sederhana. Kaus putih berlengan pendek yang telah ia sisipkan ke dalam celana jeans-nya, juga kardigan lengan panjang dengan motif batik yang melapisi atas kausnya.

"Gue udah selesai," ucap Navea begitu tiba di ruang tamu.

"Kalau gitu gue pesen ByCar dulu."

Navea mengangguk, kemudian mendudukkan diri di sofa tunggal tidak jauh dari tempatnya berdiri sebelumnya. Sambil menunggu, diam-diam ia memperhatikan Aruna.

Sejak awal melihat Aruna, ia sadar jika gadis itu memiliki aura yang dapat menarik siapa pun di sekitarnya. Bukan aura mistis, tetapi Aruna terlihat lebih dari mampu untuk membuat orang-orang berada di sisinya. Hanya saja, gadis itu terlalu tertutup dan penyendiri sehingga orang-orang segan untuk mendekatinya, itulah yang berada dalam pandangan Navea mengenai hubungan Aruna dengan teman sekelas mereka.

"Na!"

Panggilan itu membuat Navea mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali dengan cepat. "Iya?"

"Udah nyampe. Yuk, jalan!"

"Oh, oke. Gue pamit sama Mama dulu."

Aruna mengikuti langkah Navea menuju dapur untuk menghampiri Sabia. Kedua gadis muda itu pamit secara singkat sebelum keluar rumah.

Agenda kedua gadis itu hari ini adalah berbelanja perlengkapan ujian. Aruna, pada hari Jumat kemarin, merekomendasikan stationary store langganannya kepada Navea yang langsung disetujui oleh gadis itu. Perjalanan dengan mobil itu memakan waktu sekitar 15 menit karena sempat terjebak di antrean lampu merah yang cukup panjang.

Tiba di stationary store yang dimaksud oleh Aruna, Navea merasa seperti masuk ke kerajaan stationary. Ia yang sebelumnya tinggal di asrama sekolah sejak sekolah dasar baru mengetahui ada stationary store selengkap itu yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumahnya.

"Kita nyari gantungan identitas dulu, yuk!" ajak Aruna seraya menarik lembut tangan Navea.

Mereka melewati rak-rak setinggi 2 meter, berputar-putar sebentar sebelum akhirnya menemukan apa yang mereka cari. Navea mendengar gerutuan kecil Aruna yang mengeluhkan letak barang-barang yang telah dipindahkan dari yang terakhir diingatnya.

Setelah mendapatkan kalung gantungan identitas itu, mereka beralih mencari papan untuk ujian lalu peralatan tulis seperti: pulpen, pensil, dan penghapus.

"Gue mau nambah stok peralatan tulis. Lo keberatan gak kalau nunggu?"

Navea menggeleng kecil. "Nggak. Gue gak papa."

Alhasil Navea mengikuti langkah Aruna yang rasanya memutari hampir seluruh bagian di lantai dasar stationary store itu. Banyak yang Aruna masukkan ke dalam keranjangnya, dari berbagai jenis pulpen dengan warna tinta yang berbeda, lalu spidol yang bentuknya seperti kuas–Navea tidak tahu apa sebutannya, satu set spidol dengan dua belas warna, sticky note, dan label penanda.

Navea tidak bisa menebak berapa banyak yang akan Aruna habiskan untuk itu semua. Ia hanya bisa memandangi keranjang milik Aruna yang sudah terisi setengah itu.

"Na, lo udah capek belum?"

"Mau jawaban jujur apa bohong?"

Dengan senyuman usil yang mengembang Aruna langsung menjawab, "Bohong."

"Oke. Gue belum capek. Masih ada yang lo perluin?"

"Well, gue mau liat-liat bentar di lantai dua. Lo gak ikut juga gak papa. Seingat gue di dekat tangga ada bangku, lo bisa duduk dulu di sana."

"Emang mau liat-liat apa?"

"Cuma mau liat aksesoris sama mainannya doang."

"Kalau gitu gue mau ikut lagi. Mau cuci mata sama barang-barang gemes."

"Beneran? Kalau lo mau duduk dulu sambil nunggu gue gak papa, kok. Gue bisa sendiri."

"Gue gak papa. Lagian gue beneran mau ikut liat-liat, kok."

"Oke. Kalau capek lo bisa turun duluan."

Akhirnya mereka menapaki anak tangga demi anak tangga bersama. Hanya ada dua puluhan anak tangga sehingga mereka lekas tiba di lantai dua.

Baru langkah pertama berada di sana, perhatian Navea langsung diambil oleh gantungan kunci yang berjejer rapi di display gantungan. Tanpa menunggu Aruna, ia langsung melangkah cepat ke sana.

"Gemes banget astaga!" Navea berseru pelan seraya memegang salah satu gantungan kunci boneka berbentuk beruang kutub dalam kartun animasi yang pernah ditontonnya.

"Kalau pengen, ya, masukin keranjang, Na."

Suara yang terdengar dari belakangnya sontak membuat Navea menoleh.

"Lo udah selesai liat-liat?"

"Hm. Gue udah selesai nambah karet rambut, nanti tinggal diambil di kasir bawah," jawab Aruna sembari menunjukkan kertas customer.

"Beli sebanyak itu buat apa?" tanya Navea saat melihat tulisan '25 gr' untuk masing-masing warna.

"Warnanya pada lucu-lucu. Selain itu, ibu gue ngajarin kalau karet rambut itu sekali pake doang. Jadinya butuh banyak buat ganti-ganti."

"Oh, gitu. Emang orang bercuan beda, ya." Navea mengangguk kecil. "By the way, gue baru tahu kalau lo manggil ibu Lo dengan sebutan 'ibu'. Awalnya gue pikir bakal yang kayak di cerita-cerita anak holkay, mom gitu."

Aruna mendengkus geli. "Gue perlu ingetin kalau gue bukan anak holkay kalau menurut perkataan lo itu, dan sebenarnya sebutan ibu gue gunain kalau buat cerita doang. Gue manggil ibu gue dengan sebutan 'bunda'. I know what you thinking right now, that's why gue lebih milih ngomong sebutan ibu. Perlu ditekanin kalau gue bukan anak manja."

"Santai aja, Ru. Lo gak keliatan kayak anak mami, kok."

Aruna mengembuskan napas pelan. "Kalau gitu udahan, yuk. Kita masih perlu belajar buat ujian."

"Iya. Yuk!"

[✓] Memoriesحيث تعيش القصص. اكتشف الآن