episode 26 [] another way of their meeting

23 7 0
                                    

Langkah yang diambilnya kecil kala memasuki lobi sekolah. Bel masih lama akan berbunyi, karena jarum jam baru akan menunjukkan pukul setengah tujuh. Karena itu pula, lahan parkir sekolah masihlah sepi. Motor-motor yang berbaris rapi di sana tidak sebanyak ketika hampir mendekati waktu masuk. Maklum, kebanyakan siswa suka yang meningkatkan adrenalin, para jiwa muda memang.

Berbelok melewati perpustakaan untuk menuju kelasnya, tubuh seseorang yang melangkah cepat dari arah berlawanan menabraknya. Tidak cukup keras, tetapi membuat hidung Navea terasa sakit dan membuatnya kehilangan keseimbangan.

Sebuah tangan dengan cepat menarik milik Navea untuk membantu gadis itu mendapatkan kembali keseimbangannya, mencegahnya untuk jatuh ke atas kerasnya lantai koridor.

"Gue minta maaf. Sama sekali gak sengaja."

Navea mengangkat pandangannya untuk melihat sosok yang menabrak dirinya. Ternyata si kakak kelas berkacamata.

"Selain sering ketemu di perpustakaan, kita beberapa kali ketemuannya pas tabrakan gini, ya." Ia berujar sembari mengusap-usap hidung dengan lembut untuk menghilangkan sakit tidak seberapa yang dirasakannya.

"Maaf, Na. Gue bener-bener gak sengaja. Sebagai tambahan bentuk permintaan, gue traktir di kantin, deh."

Tanpa menunggu jawaban dari gadis itu, Aidan langsung menarik tangan Navea ke arah sebaliknya. Menuju kantin kecil dekat ruang guru yang jarang didatangi para siswa.

Pihak yang ditarik tanpa persetujuan pun akhirnya pasrah saja. Lagipula bel belum akan berbunyi.

Tiba di kantin, Aidan mendatangi stan penjual nasi kuning yang terlihat baru selesai dibereskan. Lelaki itu memesan satu porsi saja setelah tawaran traktirannya ditolak secara harus oleh Navea. Kemudian ia membawa Navea duduk di meja terdekat yang kosong.

"Gak mau jajan gitu? Tenang aja, traktirannya masih berlaku," ucap Aidan.

"Nggak. Makasih tawarannya, Kak, gue beneran udah sarapan dan masih kenyang."

Pagi ini sang mama memasakkan nasi goreng yang dicampur dengan sayur kol dan suwiran daging ayam, ditambah adanya nugget berbentuk huruf, Navea sarapan dengan kenyang tadi. Perutnya benar-benar masih penuh sekarang.

Pesanan milik Aidan akhirnya datang. Lelaki itu sarapan dengan khidmat sehingga menghabiskannya dengan cepat.

Navea menatap kakak kelasnya dengan kening yang mengkerut saat es teh itu diminumnya dengan cepat. Apa lelaki itu tidak merasa ngilu atau dingin? Apalagi ini masih pagi.

"Karena lo udah selesai, gue ke kelas duluan, ya."

"Bentar!" Aidan menahan tangan Navea sebelum gadis itu beranjak dari duduknya. Hal itu mengundang tatapan penuh tanya dari Navea. "Di sini bentar, lagian bel belum bunyi. Nanti gue anterin ke kelas, deh."

"Dih! Gue bukan anak kecil yang masih perlu dianterin ke kelas."

"Kalau gitu temenin gue di sini dulu. Males banget kalau langsung ke kelas, anak kelas gue berisiknya gak ada yang ngalahin."

Sebenarnya tidak berisik-berisik amat, tetapi Aidan sengaja mengatakannya demikian.

"Oke."

Kembali duduk lurus menghadap Aidan, kemudian Navea mengeluarkan ponselnya dari tas. Mobile data ia nyalakan dan beberapa saat kemudian bunyi notifikasi masuk membuatnya fokus pada layar ponsel. Pesan dari Aruna yang menanyakan kehadiran dirinya di sekolah hari ini. Ia membalas dengan cepat bahwa sedang berada di kantin.

"Liburan kemarin lo kemana?"

"Jalan-jalan sama orang tua gue." Navea menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel.

"Cuma lo doang yang dapet liburan di kafe? Kemarin-kemarin waktu ke sana temen cewek lo itu masih kerja."

"Nggak, kok, itu Kak Seli-nya aja yang gak pengen. Dia bilang lagi gak pengen balik, jadi lanjut kerja aja. Lagian waktu liburan kemarin cuma buka tiga hari per minggu."

"Oh."

"Kalau boleh tahu lo kerja di sana dari kapan?"

Sebelum menjawab pertanyaan itu, Navea meletakkan ponselnya dan menaruh pandangan pada Aidan. Ia sudah selesai berbalas pesan dengan Aruna. Jadi, sekarang waktunya berlaku sopan pada orang yang berbicara padanya.

"Gue belum lama kerja di sana, baru tiga atau empat bulanan. Gak lama setelah gue pindah ke sini. Buat ngisi waktu luang, doang."

"Lo anak pindahan?"

"Udah gak bisa kehitung anak pindahan, sih, tapi iya gue pindah ke SMA ini waktu udah jalan masuk bulan kedua setelah tahun ajaran baru dimulai."

"Gue baru tahu. Apa gegara anak baru, lo yang belum punya temen jadi lebih sering sendirian di perpus?"

Navea merotasikan bola matanya. "Lo orang kedua yang bilang gue gak punya temen gegara sering di perpus," ucapnya dengan nada kesal. "Gue punya temen dari awal masuk sini. Anak sekelas gue pada asik juga, cuman gue emang suka suasana adem perpus makanya lebih sering di sana walaupun sendirian." Ia menjelaskannya dengan nada yang menggebu-gebu.

"Oke, oke, santai aja. Gue percaya, kok."

"Udah, yuk. Kita ke kelas sekarang. Bentar lagi bel." Aidan berimbuh setelah melirik jam tangannya sekilas.

Navea mengangguk dan ikut beranjak dari duduknya. Ia mengikuti langkah Aidan, yang entah mengapa sama dengan arah tujuannya ke kelas. Apalagi lelaki itu juga ikut menapaki anak tangga.

"Kelas lo di lantai tiga, Kak?" Navea akhirnya bertanya.

"Nggak." Aidan menjawab singkat. "Gue mau nganterin lo ke kelas, kan, udah bilang tadi."

"Astaga, Kak! Gue juga udah bilang kalau gue bisa sendiri!"

"Gue orang yang pegang omongan. So, you can't stop me."

"Terserah, deh."

Akhirnya mereka tiba di depan kelas Navea. Dapat dilihat bahwa sebagian besar siswa sekelasnya telah berada di dalam.

"Udah, kan. Sekarang lo bisa langsung balik ke kelas lo sendiri."

"Oke. See you soon, Navea!" Aidan melambai singkat sembari tersenyum, sebelum berbalik untuk kembali ke kelasnya yang berada di lantai dasar.

Navea pun memasuki kelasnya dan langsung menghampiri bangkunya untuk duduk. Setelah itu barulah ia menyadari tatapan Aruna padanya.

"Kenapa?"

"Pacar lo yang itu?"

"Ruu! Kenapa semua temen cowok gue lo katain pacar?"

"Ya abisnya."

"Cuma temen, oke! Pertemanan antara cowok sama cewek bisa terjadi. Nanti ketemu sama temen cowok gue yang satu lagi malah lo katain pacar gue pasti."

"Lo punya temen cowok yang lain lagi?"

"Iya. Sodaranya Kak Januar, namanya Kak Kaivan."

"Oh, oke. Bakal gue inget buat gak salah sangka lagi."

"Good."

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now