episode 28 [] a book for a little conversation

19 7 0
                                    

Koridor sepi, hanya ada dirinya yang mengambil hampir puluhan langkah dari kelas menuju perpustakaan. Kelas-kelas yang dilaluinya masih terisi penuh, bersama seorang guru di depan kelas yang sedang melaksanakan pekerjaannya.

Kelasnya sendiri yang mendapat jam kosong karena guru yang berhalangan hadir, membuat Navea bosan untuk terus mendudukkan dirinya di antara siswa sekelas yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia tidak bisa terdiam begitu saja di tempat tanpa melakukan apa pun dalam waktu lama.

Aruna yang sudah mengambil langkah ke pulau mimpi membuatnya semakin sendirian. Alhasil Navea memutuskan untuk mengunjungi perpustakaan seorang diri.

Tiba di sana, Navea beruntung mendapati Pak Agung yang menjaga di balik meja. Jadi, ia tidak ditanya banyak hal. Hanya perlu mengatakan bahwa dirinya ingin mengisi waktu di jam kosong, kemudian langsung diperbolehkan menghilang di antara rak-rak buku.

Menuju ke bagian fiksi, Navea mengamati tiap judul yang terukir pula di punggung novel.

Melihat dari rak yang paling atas, kemudian beralih ke rak berikut di bawahnya. Berlanjut terus seperti itu hingga jemarinya mendarat di atas sebuah novel yang tidak terlalu tebal. Menariknya keluar dari jejeran dengan hati-hati, takut yang lainnya malah jatuh.

Membaca sinopsis singkat yang ada di sampul belakang, akhirnya ia memutuskan untuk membawa novel itu ke arah meja dekat jendela.

Setelahnya, Navea menenggelamkan diri dalam arus cerita yang sebenarnya cukup sering ditemuinya itu.

Fake relationship. Fall in love. Denial phase. Confessing after having argument. Live happily ever after.

Alur cerita itu sudah tertebak di dalam kepalanya. Saking seringnya mendapati konsep serupa di platform membaca online, Navea sampai hafal poin-poin inti dari alur dengan tipe demikian.

"A girly read."

Suara itu membuat Navea tersentak dari kefokusannya. Mendapati kakak kelasnya menatap lurus dengan tangan yang menopang dagu.

"Ngagetin aja lo, Kak."

"Sorry, gak bermaksud."

Navea hanya tersenyum tipis untuk menanggapi permintaan maaf lelaki itu. Kemudian ia kembali menaruh pandangan pada halaman novel di tangannya.

Waktu terus berjalan untuk beberapa saat, akhirnya novel di tangan ia letakkan ke atas meja. Dibiarkan terbuka di halaman terakhir yang dibacanya.

"Could you stop staring at me like that?"

"Like what?"

"Ish, nyebelin banget, sih."

"Nyebelin dari mananya? Gue dari tadi cuma diem doang, gak ada gangguin lo."

Gadis itu merotasikan bola matanya dengan terang-terangan, menunjukkan kejengahannya terhadap lelaki di hadapannya ini. "Udahlah."

"Udah apanya? Kita bahkan mulai apa-apa, Na."

"Berhenti gangguin gue, deh."

"Udah dibilangin gue gak ada gangguin lo."

"Lo ngajak gue debat, itu berarti lo gangguin gue."

"I'm not arguing with you. Gue cuma ngangkat topik tentang kita. Is it wrong?"

"Lo ngomongin apa, sih? Ngelantur mulu dari tadi."

"Siapa yang ngelantur?"

"Lo." Aidan benar-benar menguji kesabarannya walaupun tampaknya lelaki itu menanggapinya dengan santai–sangat santai. "Lagian lo ngapain ada di sini? Sekarang masih jam pelajaran."

"Pertanyaan yang sama buat lo."

"Gue yang nanya duluan. Tinggal jawab aja apa susahnya, sih!"

"Oke, oke. Calm yourself down." Aidan sebenarnya menikmati ekspresi kesal Navea, tetapi bukan berarti ia ingin membuat gadis itu meledak. Bisa-bisa mereka diusir dari perpustakaan. "Gue lagi males ngikutin pelajaran. Udah mulai jadwal bimbel persiapan ujian. Kepala gue pening liat soal pilihan ganda mulu dari tadi."

"Gue baru tahu lo kelas 12."

"Oh, berarti gue keliatan setahun lebih muda, ya?" tanya lelaki itu dengan menggoda.

"Dih, pede gila lo."

"Harus, dong. Gue emang cakep gini, kok. Kalau ngikut kata-kata di novel, sih, berarti gue cogan."

"Anjir, ini mah bukan pede lagi. Lo narsis banget."

"Sstt.. no swearing, Na. Lo itu masih kecil, dan anak kecil itu harusnya ngomong yang baik-baik aja."

"Gue udah enam belas tahun! Enak aja lo katain gue bocah."

"Gak ada yang bilang bocah, lo sendiri itu. Gue nyebutnya anak kecil. Child."

"Sama aja sama bocah. Gak usah sok-sokan ngeles, deh."

"Gue gak ngeles."

Terlalu kesal. Akhirnya Navea mendiamkan lelaki berkacamata di depannya itu. Ia berusaha untuk kembali fokus pada novel yang tadi ditinggalkan hanya demi perdebatan sia-sia dan tidak bernilai dengan Aidan.

"Gue kemarin ke kafe, tapi malah tutup."

"Hm, Senin baru buka lagi." Navea tanpa sadar membalas, tentu jiwa part-timer-nya bangkit. Tidak boleh menyiakan calon customer di depan mata.

"Jadi, lo free sampe Minggu, dong."

"Hm."

"Besok sore mau gak jalan sama gue? Jalan-jalan biasa biar gak suntuk."

"Dalam rangka?"

"Gak ada apa-apa. Gue cuma mau refreshing bentar sebelum ngadepin keseharian gue sebagai siswa tahun terakhir. Lo juga kosong, jadi gue ajak aja biar bisa refreshing bareng."

"Gimana, mau gak?"

Navea terdiam sebentar, memikirkan beberapa hal. Tidak ada tunggakan tugas rumah yang perlu ia selesaikan karena sudah selesai sejak semalam. Papa dan mamanya mungkin akan menggunakan akhir pekan untuk bersantai dan beristirahat dari penatnya pekerjaan mereka.

"Oke," jawab gadis itu akhirnya.

"Besok gue jemput di rumah lo. Kalau gitu kasih gue nomor lo dulu," ujar Aidan sembari menyodorkan ponselnya pada Navea.

Mengambil benda pipih itu, lalu mengetikkan nomornya dengan cepat. Navea mengembalikan ponsel itu pada si empunya dengan hati-hati. Tanpa casing sebagai pelindung, ia jadi merasa ngeri sendiri jika ponsel milik Aidan tergelincir dari tangannya.

"Kasih gue clue biar besok gak salah kostum."

"Jangan pake rok, atau celana jeans. Pake aja yang nyaman buat lo."

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now