episode 02 [] the guy she met and sat with

142 24 0
                                    

Guru sudah keluar dari kelas beberapa saat yang lalu, lebih awal sebelum bel berbunyi. Itu tidak membuat para siswa di kelas 10 Bahasa bebas untuk keluar. Mereka harus menunggu bel, jika nekat keluar maka harus bersiap menerima poin dari guru piket yang berpatroli di lingkungan sekolah.

"Eh, Ta. Kemarin gue ketemu sama doi, anjim banget cuma bisa ngeliat!" Meira berseru dengan gemas sambil menggerakkan tangan Aleta tidak karuan.

"Si doi yang temennya Kaivan itu?" Aleta menaruh perhatian pada cerita temannya itu.

"Iya! Gila, kemarin gaya dia cool abis. Gue sampe gak pengen liat ke arah lain!"

"Ketemu di mana?"

"Pas mau beli seblak di depan minimarket seberang gang rumah gue itu. Lo tahu, 'kan?"

"Oh, iya, iya. Gue ingat." Aleta mengangguk kecil. "Eh, tapi kenapa dia bisa sampe daerah rumah lo? Rumah dia, kan, jauh sana. Dekat toko buku itu."

"Ya, gak tahu juga gue. Dia juga gak bareng temen-temennya kemarin."

"Terus-terus? Dia sempat liat lo gak?"

"Nggak, lah! Gue gak mau diliat doi dalam keadaan burik. Pas itu gue cuma pake baju tidur sama sweater."

Navea memperhatikan kedua temannya itu dalam diam, sambil menyimak cerita Meira dengan sedikit kebingungan. Saat ingin menanyakan hal yang membuat gadis berambut sepunggung itu kebingungan, bel berbunyi hingga mengundang sorakan gembira dari siswa-siswa sekelasnya, pun di kelas lain.

Ajakan demi ajakan mengudara, tidak lama setelah itu banyak siswa yang sudah keluar kelas.

"Na, yuk ke kantin!" ajak Meira seraya bangkit dari duduknya. Tangannya pun bergerak memasukkan ponsel ke saku seragamnya.

Anggukan kecil diberikan Navea, lalu dia mengikuti langkah kedua temannya itu keluar kelas.

Sepanjang koridor yang mereka lewati penuh oleh siswa-siswa yang mengistirahatkan pikiran mereka dari pelajaran yang memusingkan. Di kantin pun juga sama ketika mereka tiba. Harus mengantre beberapa saat sebelum mendapatkan makanan dan minuman masing-masing.

Berbeda dengan Aleta dan Meira yang membeli mie ayam, Navea hanya membeli jajanan yang tidak membuatnya kesulitan untuk dibawa serta. Berupa wafer dan biskuit cokelat, juga minuman dingin rasa jambu.

"Eh, ada meja di pojok, tuh! Kita ke sana aja." Aleta menunjuk sudut kantin dengan sedikit kesulitan karena sambil memegang gelas minumannya.

"Eum ... gue balik ke kelas aja, ya," ujar Navea dengan ragu.

"Gak papa balik sendiri?" tanya Meira untuk memastikan.

"Iya, gak papa."

"Oke kalau gitu."

Navea mengangguk kecil kemudian membalik tubuhnya untuk keluar dari kantin yang penuh sesak itu. Begitu berhasil keluar, ia bisa menghirup udara sebanyak-banyaknya. Mengisi kembali paru-parunya dengan lebih leluasa.

Tidak mengambil jalur kanan agar lebih cepat sampai ke kelasnya yang berada di lantai dua, Navea malah berbelok ke kiri dengan tangan yang masih membawa jajanannya. Perpustakaan yang berada di samping ruang kesehatan menarik perhatiannya. Berada di dekat lobi membuatnya sepi, kelihatannya tidak ada yang berani mendekati pintu keluar selama masih jam sekolah. Guru piket yang biasanya berjaga di sana pun menjadi alasannya.

Ia duduk di bangku kayu panjang yang sengaja diletakkan di depan perpustakaan. Gelas plastik minumannya dia taruh di samping, kemudian mulai membuka kemasan biskuit untuk segera disantap. Karena rambutnya mengganggu saat makan, Navea menyisirnya dengan jemari kemudian mengikatnya di belakang kepala menggunakan ikat rambut berpita yang sebelumnya melingkari pergelangan tangan.

Asik menikmati jajanannya, sosok yang keluar dari perpustakaan membuat Navea refleks menoleh. Seorang lelaki berperawakan tinggi dengan potongan rambut yang rapi. Kulitnya yang putih terlihat terang oleh cahaya yang memadai di hari yang cerah ini. Di tangannya terdapat tumpukan buku.

Tidak diduga, lelaki itu mengambil duduk di bangku yang sama dengan Navea lalu meletakkan tumpukan buku di sampingnya. Karena kehadirannya, Navea bergerak pelan untuk menarik gelas minumannya guna memberi lebih banyak ruang. Meskipun tanpa melakukan itu masih ada banyak ruang tersisa yang cukup untuk lelaki itu.

"Kenapa sendirian di sini, Dek? Gak punya temen?"

"E-eh ... ngomong sama saya?" Navea menunjuk dirinya sendiri dengan kaku.

"Iya, emangnya ada orang lain lagi di sini?" Lelaki itu tersenyum geli sambil menatap Navea, membuat gadis itu semakin canggung.

"Saya punya temen, kok. Emang pengen nyantai di sini aja." Navea membalas pertanyaan sebelumnya. "Tapi gimana bisa tahu kalau saya kelas 10? Perasaan di sekolah ini gak ada dikasih logo kelas."

"Dasi kamu itu." Ia menunjuk dasi abu-abu yang menggantung di kerah seragam Navea. "Satu garis berarti kelas 10."

Navea memperhatikan dasinya sendiri dengan tatapan entah menunjukkan apa. "Gitu, ya. Kalau naik kelas berarti harus beli lagi, dong. Boros banget," ucapnya dengan suara pelan.

"Kalau mau, nanti beli aja yang Tut Wuri Handayani biar gak perlu ganti tiap naik kelas."

"Oke, oke. Makasih, Kak."

"By the way, lo bisa panggil gue Januar," ucapnya seraya mengulurkan tangan.

Navea menyambut uluran tangan itu. "Saya Navea, Kak."

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now