episode 21 [] coincidental is how people called it

28 9 0
                                    

Menyerahkan sejumlah uang dengan nominal yang pas untuk membayar apa yang ia beli, kemudian Navea segera membuat dirinya keluar dari kerumunan para siswa SMA Nawasena di kantin. Dengan buku catatan dalam dekapan, lalu roti cokelat serta botol air mineral di tangan kiri, Navea menuju ke depan perpustakaan.

Lagi-lagi lapangan sedang digunakan oleh para siswa yang entah bagaimana tidak terlihat terganggu oleh sengatan matahari sehingga bermain basket dengan semangat. Meskipun masih ada gumpalan-gumpalan awan kelabu yang sesekali menutupi matahari, tetap saja rasanya masih mengundang pertanyaan di benak. Hanya bertiga, mereka terlihat berebut bola jingga itu. Tampaknya hanya beradu siapa yang paling banyak mendapatkan poin.

Mendudukkan diri di bangku panjang depan perpustakaan yang biasa ia tempat. Navea merasakan angin sepoi-sepoi yang menyegarkan area lehernya yang berkeringat. Musim penghujan memang akan datang sebentar lagi, beberapa hari lalu bahkan kota itu diguyur gerimis sebentar.

Membuka tutup botol air mineral kemudian meminumnya dalam beberapa teguk, kemudian Navea beralih membuka bungkusan rotinya. Sambil memakan roti, ia mulai membuka buku catatannya untuk membaca kembali materi. Setelah waktu istirahat ini, kelasnya akan menghadapi ulangan harian pendidikan Pancasila sesuai yang telah diberitahukan di pertemuan sebelumnya.

Tentu mendekati ujian seperti ini para guru akan berlomba-lomba untuk mengadakan ulangan harian. Dan pekan ini kelasnya sudah menghadapi tiga ulangan harian jika dijumlah dengan yang nanti akan mereka hadapi.

Sibuk membaca buku catatannya, tiba-tiba Navea menghentikan kegiatannya itu ketika merasakan presensi orang lain di sisinya. Lalu, saat mengangkat wajahnya, ia menemukan seorang lelaki berkacamata yang sangat tidak asing baginya.

Rasa-rasanya perpustakaan selalu menjadi latar tempat atas pertemuannya dengan Aidan. Navea tidak percaya pada yang namanya kebetulan–seperti yang sering dikatakan orang-orang. Ia lebih percaya bahwa singgungan takdir benar adanya, dan saat ini adalah saat di mana ia bersinggungan dengan milik Aiden, si kakak kelas berkacamata.

"Halo, Kak!" sapanya dengan ramah.

Aidan hanya berdeham singkat untuk membalas sapaan itu. "Ngapain sendiri di sini?"

"Lagi baca-baca materi buat ulangan harian nanti."

Aruna yang tidak hadir hari ini membuat Navea kembali sendiri. Tadi saat di tengah-tengah berlangsungnya pembelajaran di kelas, gadis itu mengabari Navea bahwa dirinya tidak bisa hadir karena urusan keluarga. Untung Navea selalu ingat memasang mode tenang sebelum kelas dimulai, kalau tidak dirinya akan mendapatkan seluruh perhatian karena bunyi notifikasi.

"Oh. Mapel apa?"

"Pendidikan Pancasila." Aidan mengangguk kecil kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lapangan sebentar, sebelum kembali menjatuhkannya pada Navea. "Pekan sebelum ujian emang sering hectic sama ulangan harian," ujar lelaki itu dengan suara pelan.

"Hm. Gitu, deh."

Setelah itu keduanya membiarkan keheningan menguasai atmosfer, lalu perlahan tenggelam di dalamnya. Mereka asik dengan kegiatan masing-masing. Aidan memandangi ketiga siswa yang tadi bermain basket kini berselonjoran di bawah ring, dan Navea lanjut membaca buku catatannya dan menghafal beberapa hal yang diperlukan.

"Don't you think we always meet in library, or maybe by library?" Tiba-tiba Aidan bersuara. Pertanyaannya memecah gelembung hening yang melingkupi mereka.

Navea mengalihkan pandangannya dari buku lalu menjawab, "Iya. Gue pernah kepikiran gitu."

"Kebetulannya cakep juga."

Gadis itu menggeleng kecil. "Gue gak percaya sama kebetulan."

"Then, how would you called this?"

"Ada yang namanya takdir kalau lo lupa, Kak."

"Ah, right." Aidan terdiam sejenak. "Ngomong soal takdir, lo sendiri percaya sama benang merah?"

Awalnya Navea mengerutkan keningnya, tetapi beberapa detik setelahnya ia paham maksud lelaki itu. "Iya dan nggak."

"Kenapa?"

"Kalau bener benang merah sebagai benang takdir jodoh orang itu ada, yang namanya kekacauan karena memilih pasangan gak akan terjadi. Divorces everywhere. Emang, sih, mungkin manusia gak bisa ngeliat, tapi ketika akhirnya malah end up sama yang bukan ujung benangnya, sama aja berarti benang merah itu useless."

"Bener juga lo." Aidan mengetukkan jari telunjuknya ke dagu.

"Kalau gitu, kira-kira kita punya satu benang gak? We both standing in each end."

"Ngaco lo, Kak." Navea terkekeh geli.

"Kan, katanya lo percaya takdir. Takdir bisa semengejutkan itu, kan?"

"Ya emang, sih. Tapi perumpamaan lo lucu aja," balas gadis itu. "Kenapa nggak contohin bisa aja ujung benang merah gue cowok itu." Navea menunjuk salah satu siswa yang duduk di bawah ring basket. "Atau mungkin, bisa aja ujung benang merah gue gak keliatan saking jauhnya dia. Kalau ngikut halu cewek sekarang, bisa jadi ujung benang merah gue itu Jaehyun, tahu."

"Lo kejauhan ngambil contoh itu. Kan, gampangnya sekarang di sini cuma ada kita berdua. Buat apa nyari perumpamaan sampe ke cowok Korea sana."

"Lah, lo tahu Jaehyun, Kak?"

"Tahu, lah. Adek gue tiap hari ngomongin mulu karena ngebiasin dia."

[✓] MemoriesWhere stories live. Discover now