Bab 59 Pergi Ke Afrika

31 4 1
                                    

Aira terjaga, dia melihat sekeliling. Tak ada Ryu terlelap di sebelahnya. Ada sepi yang tiba-tiba menyusup dalam hatinya. Aira meraih ponselnya yang ditaruh di atas nakas. Matanya menyisir setiap notifikasi yang masuk di sana. Tak ada satu pun kabar dari suaminya, resah kembali menyusup. Prasangka juga ikut meramaikan pikirannya.

Ryu meminta izin tetap di o. rumah sakit untuk mengecek kondisi Aika dan Arbie. Namun, sampai detik ini, tak ada kabar darinya. Aira  penasaran, apa benar Aika baik-baik saja seperti kata Ryu? Kalau ya, mengapa sampai sekarang tak pulang ke rumah?

Aira membuka pintu kamarnya, dia berjalan gontai dengan hanya menggunakan setelan panjang piama satin menuju dapur. Dia harus segera menyiapkan makanan untuk ayah ibunya. Dia tak mau menerima bantuan siapa-siapa, kehadiran suster bernama Hana kemarin siang membuatnya trauma.

Dia takut, wanita itu kembali lagi. Bagaimana bila wanita itu memiliki niat jahat? Dia tak bisa membiarkan orang lain mengurus orang tuanya. Hilangnya Aika, kehadiran Hana, juga Mario membuatnya over-thinking.

Ari melihat kakaknya berdiri sambil melamun di depan kompor yang menyala. Air di dalam panci hampir habis, panci susu berwarna pink itu mulai menghitam sisinya. Ari langsung mematikan kompor.

"Kak! Bahaya!"

Aira kaget dengan suara teriakan adiknya. Aira mundur selangkah, dia membiarkan Ari mengamankan panci. Adiknya itu berdiri di depan kakaknya, dia sudah siap dengan seragamnya.

"Hampir aja! Untung ada Ari!" ucapnya memuji dirinya sendiri.

Aira menutup hidungnya kuat-kuat. Bau cologne Ari menusuk hidungnya.

"Kakak kenapa, sih?" tanya Ari dengan dahi berkerut. Aira berlari ke kamar mandi yang ada di dekat dapur. Ari menggelengkan kepalanya. Dia melihat meja makan masih kosong. Tak ada makanan untuknya. Hanya bungkusan makanan sisa tadi malam yang belum sempat dibersihkan.

Rumah Aira berantakan, tidak seperti biasanya yang selalu rapi dan terjaga. Berbau wangi, berlantai keset dan semua debu hilang. Namun, kali ini, seperti korban bencana alam.

"Apa ada gempa tadi malam?" tanya Ari. Dia menemukan apel di dalam lemari pendingin.

"Tak ada," jawab Aira yang baru saja menyelesaikan muntahnya. Dia melap mulutnya dengan tisu. "Mau berangkat sekarang, Dek?"

Ari menghela napasnya lemah. Dia menuangkan air putih dan menenggaknya sampai tandas. Sudah hampir pukul enam. Dia harus bergegas pergi sebelum dikepung kemacetan. Ini tahun terakhirnya di SMA, ada banyak tugas dan ujian yang dilaluinya. Aika selalu mengingatkannya agar lebih rajin belajar, agar bisa menghadapi ujian akhir nanti. Tak dinyana, ujian di dalam keluarganya lebih dahsyat.

Ari mengintip ayah dan ibunya yang masih di kamar. Abah sudah terjaga, dia menyeka tubuh istrinya dengan lembut. Ari tersenyum kecil melihat kemesraan kedua orang tuanya itu. Atiqah menyadari kehadiran Ari, dia memaksakan senyumannya. Setengah tubuhnya lumpuh, dia tak bisa menggerakkan kaki dan tangannya dengan leluasa.

"Umii, Ari mau berangkat dulu."

"I-i-ya," jawab Atiqah sambil merentangkan sebelah tangannya.

Ari berhambur ke pelukan ibunya. Dia mencium pipi ibunya, "Umi mau Ari beliin apa nanti?"

Atiqah menggelengkan kepalanya lemah. Dia mengelus kepala anak laki-lakinya itu dengan penuh cinta. Ari tersenyum kecil, dia membenarkan selang oksigen yang menempel di wajah ibunya.

"Abah mau Ari buatkan sesuatu?"

"Kak Aika belum pulang, ya?"

"Sepertinya mau nginap di rumah mertuanya, Bah." Ari membeberkan rencana itu dari Edward yang mengiriminya pesan tadi malam.

"Di kondisi Abah dan uminya lagi sakit gini, malah pilih mertuanya? Gimana, sih!" Ahmad mendengkus kesal. Dia kecewa mendengar kabar itu dari anaknya.

Ari mengendikkan bahunya. Dia tak berbohong kali ini, tetapi tetap saja tak mungkin dia berkata kalau kakaknya itu, sedang dirawat di rumah sakit karena habis ditikam orang. Ari sengaja tak menghidupkan TV sejak ayah ibunya di rumah.  Dia tak ingin, tiba-tiba ayahnya melihat berita tentang kakaknya. Dia bahkan sengaja memutuskan antena TV demi kewarasan semua orang yang ada di rumah ini.

Dia palang terakhir di rumah ini, kedua kakaknya sudah memiliki keluarga sendiri. Hanya tersisa dia yang bisa melindungi orang tuanya.

Pintu rumah diketuk pelan. Aira segera berlari ke pintu, dia berharap suaminya yang ada di balik pintu. Aira membuka knop pintu dengan semangat. Orang yang ada di hadapannya terdiam melihat wajah Aira, kecantikannya yang sesungguhnya terpancar di wajahnya.

Dia tersenyum kecil.

"Jantungku hampir copot melihat wajah cantikmu, sayang," sapanya lembut. "Kau cantik sekali pagi ini." Dia menyeringai.

"M-mario?" Aira menegang, dia mundur selangkah. Tangannya sibuk memegangi bajunya yang terbuka.

"Oh, Kak Mario udah datang ya?" Ari segera menghampirinya.

Mario menarik selimut yang ada di sofa dan menutupkan ke kepala Aira. Dia langsung masuk saja tanpa memedulikan Aira yang gemetaran memegangi selimut. Mario menuangkan air putih ke gelas dan menyerahkan pada Ari yang datang menyongsong kehadirannya.

"Beri pada kakakmu, Dek," ucapnya sambil lalu. Dia langsung memasuki kamar ayah dan ibu Aira. Ari menyerahkan gelas berisi air itu dan segera pergi ke sekolah.

"Assalammu'alaikum, Bah. Umi," sapanya sambil menyalami tangan keduanya.

"Loh, katanya Arbie nginep di rumah ibumu? Kenapa kamu datang ke sini?"

Mario hanya tersenyum kecil. Dia duduk di hadapan Atiqah dan Ahmad.

"Maafkan kebodohan adikku ya, Bah. Dia sedang sibuk-sibuknya sekarang, 'kan baru buka cafe. Eh, papa malah memintanya untuk ke Afrika. Mungkin papa ingin Arbie sedikit hitam supaya terlihat lebih keren dan lakik banget, Bah. Abah tahu sendiri kulit Arbie yang pucat itu 'kan?" Mario mulai mengarang cerita sambil menahan tawa.

Ahmad terkekeh dengan penuturan Mario. Dia tentu saja tak langsung percaya dengan ucapan laki-laki yang selalu berpenampilan rapi itu.

"Buat nemenin Abah dan Umi nanti Mario suruh pembantu di rumah untuk handle kerjaan di sini ya, Bah."

"MasyaAllah kamu baik banget, Nak. Kemarin ada suster datang, tapi dimarah-marahin Aira. Kata Aira dia salah ganti cairan infus umi, eh sama Aika malah disuruh pergi. Magrib baru Aira datang lagi, Aika pergi. Abah itu, pengennya kalian semua ada di rumah ini dan akur. Gak main kucing-kucingan gitu."

Mario mengangguk pelan, dia mematut senyumannya. Edward datang, dia sudah muak menjadi kacung untuk Mario dua hari ini. Namun, dia lebih muak mendengar rengekan Hans yang makin hari makin tak masuk akal. Setelah Hans dibanned sementara dari agensi milik Mario, setelah serangkaian kasus yang menimpanya, Edward sebagai ajudan sekaligus manajer Hans memilih kembali melayani Mario.

"Aku lelah, Bro!" rengeknya pada Mario.

Mario menoleh, dia tersenyum miring, sudut matanya menyipit. Edward meletakkan barang bawaannya di atas meja. Ada beberapa kue dan biskuit juga buah-buahan untuk Ahmad dan istrinya.

"Kau susun sana di dapur, jangan penuhi kamar ini dengan berbagai macam makanan, banyak semut nanti," katanya penuh perhatian.

"Baik, Bos!"

Edward memindahkan barang-barang itu ke atas meja dapur. Dia melirik kamar Aira yang sedikit terbuka. Ada suara gaduh dari dalamnya yang membuat Edward penasaran.

"Kau mau ke mana?" tanya Mario.

"Ada suara berisik dari dalam sana."

Mario dengan gontai memasuki kamar Aira, ada suara berisik dari dalam kamar mandi. Suara itu terdengar sangat intens, mau tak mau Mario dan Edward masuk ke kamar itu. Suara.

"Aira?" panggilnya pelan.

Keran kamar mandi terbuka, suaranya meredam suara benda ditabrakkan ke dinding kamar mandi. Tanpa berpikir lagi, Mario mendobrak pintu kamar mandi.

"Aaaaaaaaaaa!"

Sebuah haid dryer melayang ke wajah Mario.
.
.
.

Proposal Cinta (Revisi)Where stories live. Discover now