Part 29: Kantor Polisi

33 7 0
                                    

Puluhan wartawan berkerumun di depan kantor polisi. Mereka menanti informasi terbaru dari kasus pemukulan yang baru saja terjadi. Kamera dari awak media sudah tersusun rapi di depan kantor polisi yang sengaja ditutup rapat.

Beberapa di antaranya siap dengan kamera dan micnya, menyiarkan berita tersebut secara langsung. Kasus Hans dan Ryu yang menjadi trending topic bulan lalu, kini kembali mengambil perhatian publik. Ramai sudah berbagai artikel muncul di portal berita on-line.

Ponsel Edward tak berhenti berdering. Dia sudah muak menjawab semua telepon yang masuk. Sebagai manajer, merangkap body guard, dia bertanggung jawab atas semua kelakuan dan kekacauan yang diakibatkan oleh tingkah laku ajaib sang pesohor, Hans.

"I'm done, doing this anymore, Hans. Plis, deh. Muak aku liat mukamu nampang terus di portal berita. Belum lagi setelah ini, aku harus menjelaskan ini itu ke semua orang," omelnya pada Hans.

Ponselnya kembali berdering, dia berdiri, telepon itu dari Mario. Dia menjawab dengan ya, dan ya, mengangguk bahkan hanya bisa menundukkan kepala sepanjang durasi telepon itu. Mario habis-habisan memarahinya. Edward mematikan sambungan telepon itu, mulutnya sempat mengumpat bosnya sendiri. Dengan sigap dia mengetuk layar ponselnya dan mulai menelepon banyak orang.

Agensi tempat Hans bernaung dipastikan akan kewalahan dengan berita kali ini. Agensi itu milik Mario, Hans adalah top model di sana. Dan, Amelia, seorang designer untuk produk eksklusif yang hanya dikeluarkan oleh salah satu anak perusahaan milik Mario.

Mario tak datang ke kantor polisi, dia memilih melanjutkan perjalanan bisnisnya. Ada banyak agenda yang harus dia kerjakan minggu ini. Namun, pemberitaan media yang sangat merugikan itu membuatnya kesal dan juga senang. Pasalnya, dia berhasil memukul telak Ryu dalam satu tepukan saja.

Dia tersenyum kecil, impiannya memiliki Aira sepertinya sudah hampir nyata di depan mata. "Sebentar lagi, Aira pasti akan berpikir ulang untuk tetap berada di samping lelaki lemah itu," gumamnya kecil.

Sementara itu, di dalam kantor kepala polisi, Aira sedang duduk di depan Om Tito, salah satu kolega Om Vino, pamannya. Om Tito berbincang ringan dengan Aira. Ryu dan Hans sedang dibuatkan BAP.

"Aira, apa gak sebaiknya kita telepon abah?" tanya Om Tito.

"Saya takut, Om. Nanti berita ini, bakalan terdengar di telinga umi dan abah. Mana umi juga punya darah tinggi. Saya gak mau malah bikin mereka kepikiran, Om."

"Ya, gak baik juga kalau diam-diam aja, Nak."

"Om, bisa gak, laporan penculikan saya dicabut?"

"Kalau itu, harus abahmu yang melakukannya."

"Hm...." Aira berpikir sejenak. Dia berdiri, berjalan ke arah pintu, mengintip Ryu dan Hans.

"Apa benar kamu dilarikan dia?" selidik Om Tito.

"Aira lari karena keinginan Aira sendiri, bukan karena dirinya. Aku hanya menumpang di rumahnya."

"Tetep kena, Ra."

Aira berpaling, menatap Om Tito yang sedang menyeruput kopi hitam. Matanya kini tertarik pada jendela ruangan Om Tito. Dia melirik para wartawan yang berkerumun di depan kantor polisi.

"Mereka akan meliris berita, kami akan dituduh nggak becus kalau ada kasus yang tiba-tiba lenyap begitu saja. Telepon saja Om Vino atau abah."

Aira membuka ponselnya, dia memberanikan diri menelepon ayahnya. Jantung Aira berdetak tak karuan. Dia takut ayahnya itu marah lagi. Nada sambung ponselnya sudah berbunyi berkali-kali, tak jua ada suara dari ujung telepon. Aira frustrasi, dia mematikan sambungan itu dan mengalihkan panggilan ke Om Vino.

Proposal Cinta (Revisi)Where stories live. Discover now