Bab 40 Sop Buntut

29 6 0
                                    

Aira mengusap air matanya, sepanjang perjalanan dia hanya bisa terisak pelan. Ryu fokus ke jalan, dia tak menoleh ke arah Aira. Dia tahu, wanitanya itu tak suka dilihati saat sedang menangis. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Ryu meremas jemari Aira lembut. Wanita cantik itu menoleh, dia mengusap air matanya lagi. Kini, memaksakan senyumannya ke arah Ryu.

"Sabar ya, cantik."

Mobil sedan itu meluncur mulus, kembali ke kosan Ryu. Jalanan sedikit tersendat menuju Dago. Seperti biasanya, sore hari di jalan Lembang menuju Setia Budi macet parah. Mobil-mobil berpelat B berjajar rapi. Mengerem di jalanan menurun.

Jalan Setia Budi yang begitu lebar pun, tak mampu menapung begitu banyak orang yang ingin menuju ke Lembang maupun sebaliknya. Semua mobil melaju pelan seperti siput. Tak ada yang membunyikan klakson, semuanya damai dan tenang. Hanya angkot berwarna krem saja yang menyerobot barisan. Muncul bak ninja dari gerbang perumahan yang ada di punggung perbukitan yang melingkupi kota Lembang.

"Mau jajan dulu?"

Aira menggeleng lemah.

"Kita harus segera berangkat ke Surabaya sekarang."

Aira melongo, dia tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kita harus pulang ke sana sekarang?"

"Yuu bilang, ada kasus yang tak biasa yang harus kita lihat di sana."

"Umi gimana? Umi aku sakit, Ryu," ucap Aira memelas.

Ryu menggaruk leher belakangnya, dia juga bingung harus berkata apa pada istrinya. Ibunya ingin meminta penjelasan atas anarkisme yang dia lakukan di Jakarta kemarin. Dia harus menjelaskan apa pada Aira sekarang.

"Apa aku tak boleh menjaga umi saja sekarang?"

Ryu menepikan mobilnya. Dia tak tega melihat Aira tersakiti oleh perkataan adik kembarnya. Namun, dia juga tak tega melihat ibu mertuanya malah dibiarkan begitu saja. Telepon dari Sato masuk ke ponselnya.

"Tuan, apa yang terjadi?"

"Sepertinya kita harus kembali ke sana lagi."

"Tidak bisa, Tuan. Kita harus segera berangkat ke Surabaya sekarang. Saya tak ingin Tuan Yuu menyalahkan saya karena tak berhasil membawa kalian ke sana."

Ryu menatap ke arah Aira yang kembali banjir dengan air mata. Dia memutuskan sambungan telepon itu dan menelepon Yuu. Dia masih berharap, abangnya itu mau mendengarkan keluh kesahnya lagi.

Nada sambung itu berhenti, tetapi Yuu tak menjawabnya.

"Kita pulang lagi, atau ke kos aja dulu?"

"Macet gini, setidaknya kita bakalan sampai ke Dago jam tujuh nanti."

Ryu melirik ke jam tangannya. Benar saja, setidaknya butuh waktu dua jam untuk sampai ke kosan. Dia harus mencari jalur alternatif untuk sampai lebih cepat. Ryu putus asa, terlebih perutnya mulai keroncongan.

"Kita jajan dulu, mau?"

"Laper ya?"

"Iya, tadi benar-benar gak bisa nelen. Jantungku hampir copot dipelototi ayahmu, Ra."

"Setakut itu, ama abah? Padahal, lebih serem kakek daripada abah."

Ryu terkekeh-kekeh mendengarnya. Pasalnya, abah Aira jauh lebih menyeramkan ketimbang kakeknya. Lebih baik dipukul pedang kayu daripada harus dihadapkan dengan Ahmad dalam satu meja.

"Kita cari makan aja, dulu ya?"

Ryu ingin menghibur hati Aira yang baru saja diomeli habis-habisan oleh adiknya. Dia bisa memahami kekesalan Aika, tetapi agaknya terlalu berlebihan jika harus sampai membentak kakaknya. Aika bahkan hampir saja menonjok wajahnya. Tangannya sudah terkokang dan hampir saja melesatkan sebuah pukulan.

Ryu memarkir mobilnya di sebuah pusat perbelanjaan yang memiliki food court. Dia memilih salah satu restoran pujasera yang ada di sana. Dia teringat sop buntut buatan Arbie yang sebenarnya sangat enak dengan kuah yang light. Dia ingin mengicipinya lagi.

"Mau makan apa, sayang?" tanya Ryu lembut.

"Hm, kenapa kita ke sini?" tanya Aira heran dengan kelakuan Ryu yang tak biasa. Dia paling anti dengan makanan ala food court yang rasanya biasa saja. Ryu kerap kali mengajaknya ke restoran mewah yang tak pernah bisa dijangkau oleh rakyat jelata seperti dirinya. Namun, kali ini Ryu ada di restoran pujasera? Ha?

"Hm, aku mau makan sop buntut."

"Lagi?"

"Iya, he-he-he."

Ryu mencari tempat duduk yang nyaman di sana. Namun, mana bisa mendapatkan tempat duduk yang nyaman di tempat seperti ini. Dia melihat dua ajudannya sudah duduk di salah satu meja. Mereka tak memakai jas dan dasi seperti saat menjemput tuannya. Mereka berdua memakai kemeja bermotif bunga sepatu yang cukup besar.

Sato bahkan memakai sebuah topi. Dia tersenyum ke arah Ryu, matanya menghilang begitu dia tersenyum. Sam duduk di depannya sambil membaca buku menu. Tangannya menunjuk beberapa makanan yang ingin disantapnya.

"Ah, dasar mereka ini!"

"Sudahlah, mereka juga pasti kelaparan, toh mereka makannya tak begitu banyak 'kan?"

"Tak banyak bagaimana, lihat saja itu!"

Dalam sekejap, mangkuk makanan memenuhi meja bulat berukuran enam puluh centi itu. Ryu mencebik, dia mendekati keduanya dan duduk di dekatnya.

"Kami sudah memesankan untuk Anda, Tuan."

"Oh ya, benarkah?"

Sam menunjuk semangkuk sop buntut untuk Ryu. Segelas jus mangga untuk Aira dan Sate, nasi goreng, spageti dan juga berbagai macam jus.

"Mungkin mereka pengen mukbang," bisik Aira. Dia tergoda untuk menyeruput jus mangga yang ada di depannya.

"Sudahlah, Tuan muda, kita makan saja dulu. Kita butuh tenaga untuk menghadapi singa."

"Kau pikir keluargaku itu kumpulan singa?"

"Hm, sebenarnya, sih. Bukan. Hanya saja, ketegangan yang ada di sana, terlihat seperti ada di kandang singa," kata Sato santai.

"What?"

Ryu bergeming, dia tak tertarik dengan perkelahian mereka. Dia memilih menyantap sop buntut di depannya. Dia seperti singa yang kelaparan. Semua makanan yang ada di meja habis dimakannya seorang diri. Sam dan Sato hanya kebagian beberapa sendok saja. Mereka tak menyangka, tuan mudanya yang begitu kurus dan langsing ini, bisa memakan semuanya sekaligus.

Aira tersenyum nanggung. Dia menyeka bibir Ryu dengan tisu. Lelaki tamvan itu merebahkan punggungnya ke sandaran kursi. Dia sudah tak sanggup lagi berdiri. Nafsu makannya mendadak meningkat saat mencium bau masakan.

"Apa kau sudah kenyang, Tuan?"

Ryu tersenyum.

Bukannya menjawab, Ryu malah bersendawa di depan Aira.

"Astaga, hilang sudah keanggunan tuan muda kita, Sam. Ah!" Sato menepuk jidatnya.

Ponsel Aira berdering. Dia segera membukanya, rupanya ada nama adiknya di sana. Jantung Aira seakan ingin loncat dari rongganya. Rasa kalut menyelimutinya.

"Ya?"

"Umi, Kak! Umi," kata Ari dengan nada yang membuat Aira semakin kalut.

Aira berdiri, dia memunguti barang-barangnya, dan berlari ke parkiran.

"Umi nyariin Kakak."

Sontak, Aira berlari ke arah jalanan. Dia ingin segera kembali ke rumahnya dengan ojek online yang mangkal di bawah pohon mangga di seberang jalan.

Sato mengejarnya, hampir saja Aira disambar angkot krem yang terkenal bar bar itu.

"Nona, kita pakai mobil saja. Jangan lari sembarangan gitu!""

"Tidak, Sato. Kita tidak akan datang tepat waktu jika naik mobil. Ini lagi macet-macetnya."

Ryu kesusahan mengejar Aira. Dia berpegangan pada bahu Sato.

"Ne, Sato. Bisa tolong antarkan dulu Nona Aira ke rumahnya? Aku dan Sam akan menyusul nanti."

Sato menurut, dia segera berlari ke arah mobilnya.
.
..

Proposal Cinta (Revisi)Where stories live. Discover now