Bab 45 Hasutan Mario

34 5 0
                                    

Ponsel Arbie tiba-tiba berdering. Suara deringnya membuat konsentrasi keduanya yang ingin melestarikan umat manusia menjadi terganggu. Arbie ingin melemparkan ponselnya sanking kesalnya. Namun, saat melihat nama Mario, dia tak jadi membantingnya.

Aika mencoba untuk duduk dan merapikan pakaiannya yang sudah tak karuan posisinya. Dia meraih pashminanya yang terjatuh di lantai. Matanya mencari pin jilbab yang sudah tak kelihatan lagi wujudnya.

Arbie menempelkan ponselnya ke cuping telinganya. Tangan kirinya menarik tangan Aika yang masih sibuk dengan pakaiannya. "Jangan pergi dulu," bisiknya lirih.

"Bentar ya," balas Aika lembut.

Arbie menariknya sampai jatuh di pangkuannya.

"Kenapa, sih, nelpon-nelpon, kek gak ada kerjaan aja, mana masih pagi ini. Emang gak bisa nanti aja nelponnya?"

"Nggak bisa, gue dah di depan rumah ne, lihat motor lu ditinggal gitu aja ama kuncinya."

Arbie langsung berdiri, dia merapikan kemejanya yang sudah tak beraturan. Mario masih berdiri di depan rumah, dia tak ingin memasuki rumah dan kepo dengan kegiatan pelestarian umat manusia itu.

"Gila, lu! Ngapain, lu nyamper sampek sini! Balik sana!"

Mario mengendikan bahunya, dia menaikkan sebelah alisnya melihat penampilan adiknya yang acak-acakan di pagi hari yang cerah ceria ini. "Kau sedang sibuk rupanya, kupikir kau tak berselera dengan wanita cadangan itu."

"Kau mau aku tendang? Pergi dari sini!"

"Hm, dasar bucin!" Mario mendorong Arbie, dia ingin menerobos masuk. Arbie menahannya kuat. Lelaki parlente itu mundur selangkah. "Baiklah, aku beri waktu lima menit untuk merapikan pakaianmu, aku akan mengantarkan Aika ke stadium sekarang. Gimana?"

"Ah! Sampai kapan, sih, aku harus menghadapi orang macam lu, merepotkan sekali."

"Eh, harusnya, aku yang bilang itu ke kamu. Kau tahu sibuknya aku, kek apa 'kan? Sebuah kehormatan ini Porche-ku mengantarkan kalian sekarang. Mau tidak? Jawab segera!"

"Iya, sebentar aku mau cuci muka." Arbie meninggalkan abangnya itu di depan rumahnya.

"Apa Aira sudah kembali?" tanya Mario ragu-ragu.

Arbie menoleh, "buat apa kamu tanya-tanya dia?"

"Aku hanya bertanya, kau tak usah bereaksi berlebihan begitu. Dia terlibat perkelahian dengan salah satu model di agensiku. Aku masih memandangnya sebagai adik iparku, itu mengapa aku tak melanjutkan permasalahan ini di jalur hukum."

Arbie menunduk, dia berdiri di ambang pintu. Tangannya mengepal, sampai buku-buku jarinya berwarna putih. "Buat apa kau bertanya tentang dia lagi padaku?"

"Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, dan sampai di rumah ini dengan selamat. Itu saja. Lagi pula, aku juga sudah menghapus semua pemberitaan tentang Aira dan laki-laki itu sesuai dengan permintaanmu. Apa semua itu belum cukup untukmu?"

Rahang Arbie kaku, mukanya mulai merah, setiap mengingat Aira dia ingin sekali meluapkan amarahnya. Kekesalannya kepada Aira masih belum terobati, walau dia menemukan fakta bahwa, selama ini, wanita yang ada dan mendukungnya sampai menjadi seperti sekarang adalah Aika.

"Oh, ya, apa kau tak curiga dengan laki-laki itu? Apa benar dia dan Aira saling cinta sampai tega meninggalkan kamu begitu saja?" Mario menunggu reaksi adiknya. Dia menaikkan sebelah alisnya. "Aku bertemu dengannya di Kyoto saat perjalanan bisnisku, dia terlihat tertekan saat bersama laki-laki itu. Apa kau tak penasaran dengan semua itu, Bie?"

Aika melihat Arbie berdiri di ambang pintu dengan penuh amarah. Dia mendekatinya dan memeluk pinggang suaminya itu dengan lembut. Dia mendaratkan sebuah kecupan lembut di pipi Arbie. "Mas di sini, aku cariin dari tadi," bisiknya.

Mario berdehem, "hello, adikku, aku masih di sini, tolong jangan bermesraan di depanku begitu."

"Eh, ada Kak Mario, sorry nggak kelihatan," kata Aika pura-pura salah tingkah. "Jadi 'kan, anterin Aika?"

"Tentu saja, cantik. Aku sudah menunggumu di sini sejak tadi."

Aika mengelus dada suaminya, "nanti kita lanjutin ya, sayang. Jangan ngambek gitu. Sekarang anterin aku yuk?"

Arbie mengalihkan pandangannya ke arah Aika yang mematut senyumnya. Dia masih bergelayut pada Arbie, mencoba meredakan amarah suaminya itu.

"Ok, kita berangkat sekarang."

Mario dengan suka rela mengemudikan porchenya untuk mengantarkan adiknya. Sesekali dia melirik ke arah Arbie yang berubah murung setelah pertanyaannya tadi. Dia sengaja meniupkan keraguan di hati Arbie. Dia ingin, adiknya membuka mata dan mencari tahu siapa sebenarnya Ryu. Kenapa sampai Aira yang sudah berpacaran sangat lama dengannya memilih pergi.

Ryu, lelaki biasa, hanya seorang pria biasa yang kebetulan berprofesi sebagai dokter. Masih ada sisa kesal di dalam hati Arbie karena tak bisa memberikan apa yang Ryu berikan sekarang. Posisinya sebagai menantu idaman, tiba-tiba saja direbut begitu saja.

....

Suasana kamar Ahmad dan Atiqah begitu tenang dan hening, hanya ada suara ketukan tuts keyboard dari laptop milik Ahmad. Laki-laki paruh baya itu memaksakan dirinya untuk tetap memenuhi tugasnya sebagai seorang dosen.

Aira hanya bisa mengelus dada melihat ayahnya yang tak bisa diminta istirahat. Dia meletakkan segelas air dingin di meja Ahmad. Laki-laki yang sudah hampir putih semua rambutnya melirik sekilas ke arahnya. Wajah keriputnya sedikit kuyu.

"Bah, tidur aja dulu, jangan gini. Nanti malah makin sakit, kerjaan kan bisa nunggu, badan Abah kalau dipaksa terus nanti sakit lagi. Jangan bikin Rara sedih, dong. Patah hati Rara lihat Abah sakit gini." Aira menggenggam jemari ayahnya.

"Sebentar aja, daripada diem, malah bikin abah kepikiran lihat umik seperti itu."

"Ada Rara di sini, jangan khawatir."

"Abah merasa sangat bersalah lihat umiku gitu, Ra."

"Rara minta maaf, Bah. Abah mau maafin Rara 'kan?"

"Semua sudah terjadi, Abah bisa apa?"

Aira memeluk ayahnya itu, "makasih, Abah."

"Lain kali, jujurlah dengan perasaan kamu sendiri, Nduk. Jangan merasa gak enakan. Liat sekarang jadi susah semuanya. Bahkan, adikmu yang gak ngerti apa-apa malah ikutan susah."

Pintu kamar dibuka lebar, Ren masuk bersama beberapa orang dokter yang mengikutinya. Dia menyisir ruangan naratama itu. Ahmad sedang duduk tercenung melihat kehadiran besannya itu.

"Di sini rupanya bocah tengik ini, dari tadi aku mencarinya ke mana-mana. Tolong bangunkan dia!"

"Baik, Dok!"

Ryu menggeliatkan tubuhnya, dia memicingkan mata. Mulutnya masih menguap lebar.

"Aku mendengar suara bapakku, luar biasa, bahkan dalam mimpi pun aku harus bertemu dengannya."

"Sampai ke alam kubur pun, Papa akan mengejarmu! Apa yang kau lakukan di sini! Ayo ikut Papa sekarang!"

Ryu terkejut melihat sosok ayahnya berdiri di depannya sambil berkacak pinggang. Ren langsung menjewer telinga anak laki-lakinya itu, dia menyeretnya keluar dari kamar naratama. Aira hanya bisa terpana melihat kejadian itu. Dia berlari mengejar mertuanya.

"Maaf, Prof, Ryu tadi terlihat ngantuk banget, makanya saya suruh dia tidur dulu." Aira sedikit takut dengan tatapan nyalang Ren. Sedari dulu, dia memang sangat menghindar bertemu dengannya. Malang tak bisa ditolak, kini dosen paling killer itu, malah menjadi mertuanya.

"Pelan-pelan saja, Ren."

"Ahmad! Kau tolong didik anakku jadi lebih baik. Kumpulkan dirimu, temui aku segera!" titahnya.

Ren dan rombongannya pergi meninggalkan kamar perawatan Ahmad.

"Ryu, apa kau baik-baik saja?"

"Sukurlah, kupingku masih menempel dengan baik." Ryu menyeringai, dia terlihat senang. Dia berdiri memeluk Aira erat-erat. "Aku kangen kamu, Ra."

"Eh? Masa cuma dijewer jadi geje, sih?"

....

Proposal Cinta (Revisi)Where stories live. Discover now