Bab 30: Kilas Balik

31 6 0
                                    

Aira berlari sepanjang koridor kampusnya. Setelah dua tahun penuh belajar, agar bisa menembus kampus impiannya, dia akhirnya bisa menginjakkan kakinya di sini. Dia mencari Ryu di setiap sudut kampus. Laki-laki populer itu, pasti ada di salah satu sisi kampus ini, pikir Aira. Dia menunjukkan foto Ryu saat masih SMA ke semua orang yang dia ketemui. Tak ada satu pun orang yang mengenal wajah tamvannya. Aira kesal, dia memilih menyingkir dari kerumunan, menuju lapangan basket yang letaknya ada di belakang gedung. 

Bunyi pantulan bola basket terdengar sayup-sayup. Seseorang sedang diam di pinggir lapangan sambil memantulkan bola basket. Di tangannya ada buku catatan kecil. Mulutnya bergerak konstan dan berulang seperti merapalkan mantra. Rambut panjang yang ikal dan menutupi wajah, kaca mata tebal dan juga kemeja fleece kumal menutupi pundaknya. 

Aira penasaran dengan laki-laki penyendiri itu. Dia menatap ke arahnya dari lantai dua gedung yang berseberangan dengan lapangan itu. Dia lelah mencari Ryu ke mana-mana. Rasanya, mustahil menemukannya di sini. 

Aira mengalihkan padangan matanya ke arah lain. Awan putih berarak pelan berbingkai langit biru. Angin meniupkan hawa dingin. Matahari yang bersinar pagi itu, meniupkan kehangatan yang sangat Aira rindukan akhir-akhir ini. Setelah hujan dan awan kelam menemaninya. 

Seseorang melambaikan tangan ke arah Aira. Dia tersenyum manis sekali. Pakaiannya begitu rapi, dengan rambut yang tersisir dan bau harum yang menguar dari tubuhnya. Dia sangat bersinar di antara semua orang yang ada di sini. 

"Aira, 'kan?"

Aira tersenyum kecil, dia mengikuti langkah kakinya, "Vin, Ryu-senpai wa?"

"Si bodoh itu lagi sibuk belajar di gedung sebelah. Kau pasti capek mencarinya ke sana- ke mari 'kan? Aku gak tahu apa yang buat kamu segitu gabutnya pengen ketemu dia di sini. Padahal, tak ada yang menarik dari hidup laki-laki penyendiri itu."

"Dia tetap keren menurutku, Vin."

"Apa dia juga terlihat keren sekarang?" tanya Kevin menunjuk laki-laki berbaju kumal itu. 

Aira menyipitkan matanya untuk memastikan laki-laki itu adalah orang yang paling ingin dia temui sekarang. Kevin memanggil nama itu, dia menoleh dan melambaikan tangannya. Dia mengikat rambutnya yang menjuntai panjang ke belakang. Tampilan wajahnya menjadi sangat sempurna. Seperti sebuah keajaiban dunia yang tiba-tiba muncul di depan mata. Karena kesan kumal dan kumuh itu, mendadak hilang begitu saja. 

"Ryu, ada yang cari kamu, ne."

Aira keluar dari balik tubuh Kevin. Ryu berdiri tegak menatap wajah Aira dengan seutas senyuman. "Aira, omedetto! Selamat datang, selamat berjuang di sini. Jangan khawatir, aku akan membantumu."

Aira terkesima, dia tak bisa mengatupkan bibirnya, wajah tampan yang dulu polos dan rapi, menjadi sangat kumal di sini. Dia kecewa, tetapi anehnya juga lega. Lega, karena pada akhirnya, Ryu ingat akan dirinya. 

"Emang, segitu gantengnya ya, sampek mulutnya gak bisa mengatup begitu?" ejek Ryu pada Aira. Aira buang muka. Dia menutupi wajahnya dengan bantal. Malu. Malau melihat ke arah Ryu yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan selembar handuk putih saja.

"Emang gak bisa apa, pake baju di kamar mandi?" 

"Aku lupa bawa bajuku," jawab Ryu. Dia membuka kopernya. Dengan tenang, dia memakai kaus pendek berwarna putih di dekat Aira.

Aira pura-pura memainkan ponselnya. 

"Besok kita jalan  ke rumah abah, mau?" tawar Ryu.

Aira tak menjawabnya. Dia masih ingin duduk di kamar Ryu tanpa diganggu. Setelah kejadian berantem Ryu tempo hari, dia sedikit malas keluar rumah. Dia tak siap dengan semua persepsi dan pandangan semua orang yang melihat ke arahnya. 

Sama saat mereka masih di Kyoto. Semua memandang aneh ke arah Aira dan Ryu. Pasalnya, setiap keluar rumah, mereka akan diantar oleh pengamanan super dan bodyguard yang banyak sekali. Membuat kesan, kalau Ryu Yamada seorang anggota Yakuza.

Walau begitu, tetap saja, Ryu tak akan betah jika tak berulah. Dia nekat lari dari kuil dan menariknya ke hutan bambu dengan memakai kimono indah. Berjalan di antara rimbunan pohon bambu yang menjulang. Semua orang tentu kewalahan dengan tingkah absurdnya. Sampai membuat Tuan Yamada kesal.

Dia beralasan, dengan ilmu kendo yang dia miliki, dia akan selamat jika ada orang yang berusaha menyakitinya. Itu mengapa, Tuan Yamada menantang duel Ryu berulang-ulang. Pagi hari, dia gunakan untuk berlari dan melatih pukulannya dengan pedang kayu. Bahkan, saat itu, Ryu tak bisa mengangkat sinai hitam yang dipajang di kotak kaca.

Pelarian mereka di sana dimanfaatkan Ryu untuk belajar bela diri. Sampai dia bisa sekuat ini sekarang. Tak ada hari yang dia lewatkan kecuali berlari beberapa km sebelum sarapan pagi. 

"Kamu mau ketemu Om Vino hari ini 'kan?" tanya Ryu. Aira diam saja, pura-pura tidak mendengar. Ryu menarik bantal yang ada di atas kepalanya. "Kenapa gak jawab, sih?"

"Ng-ng... Apa, Beb?" tanya Aira.

Ryu mengedipkan matanya beberapa kali. "Beb?" Dia menegakkan badannya, tersenyum kecil salah tingkah.

"Kenapa, sih, aneh banget!"

Ekspresi senang itu, sama saat dia dengan bangga bisa mengajak Aira pergi ke Kiyozumi-dera. "Aku bisa mengalahkan kakekku, Aira. Kau ingin pergi jalan-jalan, bukan? Bagaimana, jika kita pergi sekarang?" ajaknya dengan wajah semringah

Aira tertawa kecil. Perasaan yang timbul di hatinya campur aduk. Dia senang, juga cemas, karena sebentar lagi, mungkin saja akan terpisah dari Ryu. Kasus yang mereka hadapi kali ini, cukup sulit. Bisa-bisa, Ryu masuk penjara karena pemukulan yang dia lakukan kemarin. Syukurlah, Om Vino segera datang membantu mereka di sana. Kalau tidak, mungkin mereka akan menginap di kantor polisi 2 malam.

"Kenapa, sih, seperti orang banyak pikiran? Apa kamu mau ketemu ama abah sekarang?"

Aira meloncat dari tempat tidur Ryu. Mereka ada di salah satu kosan di salah satu pojok kota Bandung. Kosan yang cukup kecil untuk berdua. Hanya ada satu tempat tidur single saja, yang hanya muat untuk satu orang.

Aira membuka jendela lebar, menyesap aroma kota yang sudah lama dia rindukan. Matanya menyisir sekeliling, pohon yang berdaun hijau, yang dibelai angin. Bunyi ketukan tukang somai dan chuanki yang seperti bersahutan. Belum lagi suara abang tukang sepatu yang berjalan cepat menuruni bukit.

"Indah sekali, apa keindahan ini, akan berakhir di sini saja?"

"Jangan pesimis gitu."

Ryu berjalan ke arah Aira. Dia berdiri di samping Aira. Sebuah kecupan ringan mendarat ke pipi Aira. Aira diam saja, dia mulai terbiasa dengan perlakuan itu. Dia bahkan tak mempermasalahkan sikap manja Ryu yang kadang bisa muncul tiba-tiba. Seperti bergelayut padanya sambil memeluknya dari belakang, seperti pria yang penuh nafsu. Ryu kembali memeluknya dari belakang, dia mencium pundak Aira lembut. Pandangan matanya tertuju pada pipi Aira. Dia melihat ada luka lebam di pipi Aira.

"Astaga, kenapa wajahmu begini, Cantik?"

"Hm, aku tak sempat mengelak kemarin. Aku tak siap."

Ryu menarik Aira sampai menghadap ke arahnya. Dia memegang dagu Aira dan memeriksa pipi Aira.

"Aku kompres ya?"

"Tak apa, aku sudah beli salepnya." Aira menunjuk krim yang baru saja dibuka di atas meja.

"Maafkan aku, Cantik."

"Gak apa, Ganteng!"

"Kita jajan eskrim mau?"

"Seblak aja, deh, boleh?"

"Yah! Di mana cari seblak di sini, Cantik? Kita harus turun dulu ke arah sana, untuk cari seblak. Mau?"

"Nggak, ah, males."

Aira menekuk wajahnya.
"Nona ikan badut kalau ngambek makin lucu, ih. Gemeeeeez." Ryu menepuk-nepuk pipi Aira pelan.

"Hentikan, tuan Anemon, sakiiiit!"

"Baiklah, Nona ikan badut!"

Proposal Cinta (Revisi)Where stories live. Discover now