Bab 25: Pertarungan Pertama

58 8 0
                                    

Aira tak berselera dengan sarapan yang ada di depannya. Dia hanya diam sambil mengaduk tehnya. Wajahnya kelihatan murung, riasannya kali ini sedikit acak-acakan. Dia tak punya waktu untuk sekedar membenarkannya, karena kini, di depannya ada Tuan Yamada yang baru saja datang untuk menyapa. Dia bosan dengan hidangan di kuil Ryun-ji. Sesekali, dia ingin menikmati makanan mewah di hotel tempat mereka menginap.

Aksi cabul Ryu berhasil digagalkan Yuu. Ketukan pintu yang kuat berhasil menyadarkan mereka berdua untuk mematuhi klausa yang sudah mereka buat. Ryu segera menyembunyikan barang bukti itu di bawah selimut. Dia tak mau kalau kakeknya mengetahui perjanjian rahasia yang dia buat bersama Aira.

"Apa yang membuatmu murung, cantik?" tanya Tuan Yamada pada Aira. "Apa tidurmu, nyenyak?"

"Alhamdulillah, tidurku begitu nyenyak, Tuan. Sampai aku tak tahu, kalau Anda meminta kami segera datang." Aira melirik ke arah Ryu yang duduk di sebelahnya. Aira menepuk pundak Ryu kuat.

"Ah, ya, nyenyak sekali, Kek."

"Aku tak mempercayai anak nakal sepertimu, kalau sampai kau buat dia menangis, kau berurusan denganku!"

"Kek, yang cucu kakek itu aku, bukan Aira. Masa Kakek lupa?" kata Ryu menunjuk hidungnya sendiri.

"Diam kau!"

Aira tersenyum kecil, dia mencubit lengan Ryu kuat. "Aduh, duh duh!" Ryu mengusap-usap tangannya. Bekas cubitan Aira terasa nyeri. "Iya apa, sih, Ay! Sakit tau!"

"Kenapa kau tak bawa dia sarapan di bawah? Apa kau pikir kalian akan bertahan jika hanya makan cinta? kalian butuh tenaga untuk meneruskan garis keturunan kita!" hardik Tuan Yamada.

Ryu yang sedang minum teh milik Aira, memuntahkan teh dan mengenai Aira. Dia panik, Ryu segera bangkit dari duduknya dan membersihkan wajah Aira dengan tisu. Aira membuka matanya, dia menarik tisu dari tangan Ryu dan segera pergi ke kamar mandi. Tuan Yamada memukul kepala Ryu dengan tangannya. 

"Dasar bodoh!"

"Maaf, Kek."

"Bukan padaku, tapi minta maaf dengan istrimu. Siang ini, segera pulang ke Indonesia." Tuan Yamada memberikan sebuah kartu kepada Ryu. "Ini, pergunakan kartu ini dengan baik dan benar, awas saja kau buat untuk main wanita, aku akan mengirimmu ke alam baka. Kau harus jaga dia dengan baik. Jaga calon cicitku dengan baik."

Tuan Yamada langsung berdiri dan meninggalkan kamar Ryu. Yuu dan Sato juga ikut pergi meninggalkannya sendirian di kamar bersama Aira. Ryu menahan tangan Yuu. Lelaki itu menoleh dengan malas. 

"Aniki, mau ke mana?"

"Ya, ikut kakek."

"Aku harus ikut juga?"

"Ya, tentu saja. Tapi, sebelumnya, bersihkan saja dulu bibirmu yang berlepotan itu."

Ryu berjalan ke arah cermin besar yang menempel di dinding. Dia meraba bibirnya, ada bekas lipstik yang menempel di sama. Aira yang baru saja keluar dari kamar mandi terheran-heran melihat Ryu yang sibuk dengan bibirnya. Dia menyodorkan tisu, "berlepotan itu," bisiknya pelan.

Aira berjalan menuju meja nakas, dia meraih tasnya, dan menyapukannya bedak di wajahnya. Juga sedikit lip tint agar bibirnya terlihat segar.

"Gak bisa ilang," rengek Ryu. Dia memajukan bibirnya. Aira berdiri mendekatinya, jemarinya mengusap bibir Ryu lembut sekali. Ryu terpaku, matanya fokus pada wajah Aira.

"Sudah, sekarang kita makan. Jangan aneh-aneh, deh."'

"Aneh, apanya? Perasaan aku diem aja, deh."

Aira mengangkat pandangannya, dia menatap ke dalam mata Ryu. "Klausa ke dua. Tolong diingat baik-baik."

"Emang yang barusan apa?" tanya Ryu usil.

"Itu, emosi sesaat, sebaiknya, karena kita sudah sama-sama dewasa, sebaiknya kita kurangi emosi sesaat seperti itu lagi. Aku tak mau kegep kakekmu saat sedang asyik masyuk denganmu," terang Aira.

"Berarti kalau gak ketahuan kakek, boleh?" goda Ryu. Lelaki yang baru semalam resmi menyandang status suami Aira itu, kini mulai berani menggoda Aira terang-terangan.

Aira menghela napasnya kuat, dia menggelengkan kepalanya. Tak tahu lagi, harus berkata apa kepada Ryu. Laki-laki di depannya itu kini tersenyum manis. Seperti anak kecil yang ingin dibelikan mainan baru.

"Apa kau sudah selesai, Ryu-sama?"

"Hm, belum, perjalanan kita, baru saja dimulai, Nona Aira."

Aira memilih pergi dari hadapan Ryu, tak ada lagi yang harus dia katakan pada lelaki yang mulai menunjukkan gejala geje itu. Ryu meraih mantel dan syalnya, dia mengikuti derap langkah Aira yang semakin cepat menuju lift.

Ryu berhasil mengejarnya, dia menarik lembut tangan Aira dan menggandengnya. Aira tak berdaya, dia membiarkan Ryu melakukannya. Sesuatu yang mendadak belakangan ini menjadi sesuatu yang dirindukan Aira. Ada rasa hangat yang dialirkan Ryu. Terlebih setelah ciuman penuh nafsu yang sangat menggebu tadi.

Mereka berjalan beriringan ke restoran, Ryu mendadak menjadi sosok yang sangat ceria. Dia menyapa semua orang yang dia temui. Wajahnya sangat semringah. Sampai tingkah lakunya menjadi sedikit aneh dan geje. Sesekali dia menatap ke arah Aira yang hanya tersenyum manis.

Aira menahan rasa malunya saat Ryu dengan sengaja mengambil ponsel seseorang dan berswafoto dengannya. Wajah manis Ryu membuat semua orang tersenyum bahagia.  
...
Perjalanan pulang

Ryu menempelkan kepalanya di pundak Aira, dia menggulir ponselnya, sesuatu yang sangat jarang dilakukannya saat bekerja. Ryu membuka laman SnS milik Amelia. Tak ada yang istimewa di sana. Sns-nya hanya berisi semua karya yang dibuatnya tanpa foto dirinya. Ryu menarik senyumnya sedikit.

"Bagus-bagus ya, baju buatan Amel?" tanya Ryu.

"Ya, tentu saja, sebuah karya dari lulusan terbaik yang pernah ada," jawab Aira.

"Bagaimana jika kita memintanya membuatkan baju untuk pernikahan kita?"

"Masih banyak designer lain di muka bumi ini yang bisa kita mintai tolong."

"Cemburu ya?"

Aira tak menjawabnya, dia menatap keluar jendela, menikmati perjalanannya yang ke dua dengan kereta peluru menuju Tokyo. Pikirannya masih melayang ke rumahnya. Setelah dua hari pelariannya, akhirnya dia pun menyerah dan pulang.

Dia penasaran, apa yang terjadi pada Aika dan Arbie, benarkah mereka berdua mengalami masa-masa sulit seperti yang Ibunya katakan. Dia juga ingin mencarikan alasan terbaik untuk ayah dan ibunya tentang Ryu dan pelarian mereka. Belum lagi berita viral yang mungkin saja memenuhi semua portal berita.

Ryu mencium pipi Aira, dia kesal, sedari tadi berbicara sendiri tanpa direspons. Aira berdiri dan meninggalkannya sendirian di kursi penumpang. Aira ingin mencari udara segar. Pikirannya menjadi buntu saat duduk di dekat Ryu. Namun, lagi-lagi Ryu menahannya. Dia tak akan mengizinkan Aira pergi jauh darinya.

"Mau ke mana, sih?"

Aira diam, dia kembali duduk di kursinya, enggan menjawab pertanyaan Ryu. Dia lebih memilih menatap ke luar jendela daripada mendengarkan ocehan Ryu tentang Amelia, gadis pujaan hatinya itu.

"Marah karena aku sebut-sebut Amelia?" tanya Ryu dengan nada sedikit kesal.

"Kalau aku sebut-sebut Arbie dan semua kebaikannya di mukamu, apa kau akan diam saja, Ryu-sama?" balas Aira.

"Bukannya aku sudah menuliskannya di perjanjian kita, kalau, kita berdua boleh membahas apa pun tentang orang yang kita cintai. Apa aku salah jika membahas Amel di depanmu?"

"Aku tahu, selamanya, aku tak akan bisa masuk ke dalam hatimu. Mungkin saja, yang kita lakukan tadi hanya sebatas nafsu tanpa perasaan. Baiklah, tak apa. Toh, ini baru pemanasan."

"Kenapa marah, sih? Aku nggak ngerti dengan wanita yang tak bisa jujur dengan dirinya sendiri."

"Kalau boleh jujur, aku memang tak suka melakukan ini."

"Kita sudah resmi menikah, Ra. Masa baru sehari udah bubar?"

"Kalau tahu begitu, tolong, jangan sebut Amel di mukaku, bisa?"

Proposal Cinta (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang