Ablaze 23 - The Glimpse

Mulai dari awal
                                    

"Aku hanya memberi kalian satu perintah, temukan anak dan istriku! Tapi dengan kepala kecil kalian yang bodoh itu, tugas sesepele itu tidak berhasil kalian lakukan!"

"...."

"Benar-benar tidak berguna! Sampah!" raung Alarick. "Pertama si jalang sialan yang tidak tahu terima kasih itu, sekarang anak dan istriku. Sampai kapan kalian akan terus mengecewakanku, hah?"

"...."

"Ingat, kalau sampai terjadi sesuatu ke anak dan istriku, maka kalian dan keluarga kalian di rumah yang akan mendapat ganjarannya!"

Ketiga pria yang berdiri dengan wajah babak belur itu tampak gemetar setelah mendengar ancaman dari tuan mereka. Mereka tahu di mana anak dan istri tuannya ini disembunyikan, namun tidak memiliki cukup nyali untuk melakukan aksi penyelamatan. Terlebih, Alarick telah kehilangan banyak orang-orangnya—satu per satu pergi semenjak dia diisukan akan bangkrut. Mereka tidak akan berhasil sampai akhir.

Ini semua karena kesombongan Alarick dan egonya yang begitu tinggi.

"Tuan, apakah Anda sudah mempertimbangkan usulan dari Denovan?"

Sebuah pecut serta merta diayunkan ke wajah pria yang menanyakan pertanyaan itu. Dia mengerang kesakitan, jatuh ke lantai, lalu tidak sadarkan diri—entah dalam keadaan masih bernapas atau tidak. Dua pria lainnya hanya melirik dengan takut.

"Kalian sepertinya sudah mulai memandang rendah padaku," kata Alarick dengan tajam, tatapannya menunjukkan keinginan membunuh.

"Tuan—"

"Diam!"

"...."

"Ini kesempatan terakhir kalian. Lakukan persis seperti yang aku perintahkan!"

***

"Apakah kau seorang hantu?"

Seorang bocah laki-laki dengan mata sebening kristal bertanya pada Lucius.

"Ssst! Adrian, jangan bicara!" desis ibunya dengan ketakutan. Dia memeluk bocah lelaki itu, tangannya gemetar dan pandangannya liar. Sangat berbanding terbalik dengan si bocah laki-laki yang tampak tenang dan terkontrol.

Lucius tengah duduk di kursi ruang kerjanya yang diterangi cahaya temaram. Dia menatap bocah laki-laki itu dan ibunya secara bergantian.

"To-tolong, lepaskan ... lepaskan kami, Tuan Denovan! Kami tidak ada maksud apa pun! Kami hanya ingin pergi berlibur, itu saja. Aku dan anakku yang malang ini tidak tahu menahu tentang apa pun," ucap Marie Lucero dengan terbata-bata.

Mata merah milik Lucius kemudian beralih ke arah Adrian Lucero. "Apakah kau juga ingin berlibur, Adrian?" dia bertanya.

Bocah laki-laki terdiam untuk beberapa saat, menunduk, lalu menggelengkan kepalanya dengan pelan.

Marie tampak terkejut. Dia mengguncang tubuh anaknya dan berkata lagi, "Apa maksudmu, Adrian! Kita akan pergi berlibur! Jangan mengada-ngada!"

"Tidak, Mommy. Tidak ada gunanya juga untuk berbohong," sahut Adrian.

Mendengar itu, sebuah senyum tipis terbit di bibir Lucius. "Sepertinya putra Anda lebih pintar dari Anda, Maam," ucapnya. Dia bangkit dari duduknya dan memutari meja, berdiri di hadapan ibu dan anak itu.

Sosoknya yang tinggi dengan aura yang gelap membuatnya tampak mengintimidasi.

"Pertanyaanmu tadi," kata Lucius, menatap Adrian dingin. "Aku bukan hantu."

Adrian menelengkan kepalanya. Dia memperhatikan bekas luka di wajah Lucius, lalu menatap lurus ke arah mata merah itu. "Tapi Alicia bilang kau sudah mati. Ayahku membunuhmu," ucapnya.

Ketenangan yang tidak biasa dari bocah laki-laki ini entah kenapa membuat Lucius tertarik, apalagi setelah nama wanita itu disebut olehnya. Dia kemudian berlutut, sebuah senyum tanpa ekspresi tampak di wajahnya.

"Dan karena itulah kau seharusnya merasa takut, Nak. Persis seperti ayahmu."

"Aku tidak sama dengan ayahku!" seru Adrian tiba-tiba, kemarahan mengerling di matanya yang menatap tajam dan berani pada Lucius. "Aku dengannya berbeda! Aku tidak akan membunuh. Aku hanya ingin membawa ibuku, Alicia, dan bayinya pergi jauh dari sini!"

"Hmmm," gumam Lucius. Hantaman rasa sakit kepala tiba-tiba menyerangnya. Dia mengernyit dna mencoba menahan rasa sakit itu dengan sekuat tenaga, tidak ingin dua orang di hadapannya ini melihat atau menyadari apa yang dia derita.

"Aku jadi semakin penasaran dengan hal-hal yang tidak seharusnya kuingat," Lucius berkata, yang diikuti helaan napas berat. Kilasan bekas luka mengerikan di punggung Alicia dan ketakutan yang tampak di mata wanita itu, menyulut api amarah Lucius sehingga dia kesulitan untuk berpikir jernih. Dia ingin mendatangi Alarick saat ini juga dan merobek pria itu sampai potongan-potongan kecil.

Lucius bangkit dan berbalik, menenggak habis anggur di gelasnya untuk membantunya meredakan sakit kepala yang dia derita.

"Apa kau tahu di mana Alicia? Dia pasti akan sangat senang saat melihatmu." Adrian kembali bersuara.

"Argh!" Lucius mengerang, memegangi kepalanya saat tiba-tiba saja sebuah bayangan, yang terasa seperti potongan sebuah film, berputar di kepalanya.

Dia melihat Alicia di sebuah taman, berdiri di hadapan Lucero dengan tubuh gemetar.

"Papa. Mama." Alicia memanggil sepasang suami istri itu dengan pancaran di matanya jelas menyatakan apa yang saat itu dia rasakan; sakit dari pengkhianatan dan rasa sedih kerinduan.

Kemudian mereka berada di dalam mobil, Alicia menangis tersedu-sedu sampai tidak sadarkan diri.

Lucius tidak mengatakan apa pun untuk menenangkannya, dia ingat bahwa pada saat itu dia hanya berpura-pura untuk tidak mendengar suara tangis wanita itu dan mengeraskan hatinya. Tapi saat malam datang, Lucius melihat dirinya sendiri duduk di tepi ranjang, mengusap dengan lembut sisa air mata di wajah cantik Alicia dan berharap bahwa dia bisa menghapus semua kesedihan yang ada di sana.

Lalu semua bayangan itu pun buyar dan menjadi gelap kembali. Setelahnya, bumi seolah berputar di sekitar Lucius, sehingga dia harus berpegangan pada meja. Benjamin yang berdiri tidak jauh dari sana dengan sigap memegangi tuannya saat dia hampir terjatuh.

"Telepon Gabrielle!"

Benjamin langsung melakukan seperti yang tuannya itu perintahkan, namun tidak ada jawaban yang dia terima dari telepon tersebut.

"Tuan, aku akan mengambilkan obat Anda. Tunggu se—"

"Aku tidak butuh obat!" seru Lucius.

Benjamin telah berhasil membawanya ke sofa dan mendudukkannya di sana. Lucius duduk bersandar dengan kepala yang terdongak ke atas dan ekspresi kesakitan di wajahnya. "Alicia. Di mana wanita itu? Alice. Di mana?!" raungnya lagi.

Tapi tidak ada yang bisa dilakukan, karena satu-satunya hal yang paling dia butuhkan saat ini telah dia tinggalkan setelah dia sakiti tanpa janji untuk kembali.

"Aku harap bisa menghapus semua kesedihanmu, Alice."

Itu yang Lucius katakan dulu, dan sadar bahwa saat ini dia tengah melakukan sebaliknya.

Alicia akan terus menunggunya dan menunggu. Wanita itu pernah berkata, bahwa mereka akan terus bersama, untuk menciptakan memori-memori baru yang lebih indah.

Tapi Lucius tidak menjawab. Baginya, tidak ada keindahan dari rasa sakit dan berdiri di tengah kegelapan tanpa mengingat apa pun tentang wanita itu.

-To Be Continued

Nah, mulai dah nih si babang~ 😳

LIVING WITH THE DEVILTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang