"Alicia Lucero," ucap suara yang lebih berat, yang lantas membuat Alicia mengernyit.

Kenapa dia merasa tidak asing dengan suara tersebut?

"Ya, Tuan Alexander," sahut Alicia. Mendongak untuk menatap wajah si pria yang tersembunyi dalam bayang-bayang topinya.

Saat akhirnya pria itu mendongak, mata birunya yang cerah dengan rambut pirang yang pucat membuat Alicia membelalakkan mata, tertegun.

"L—"

Belum sempat Alicia selesai menyebut nama yang langsung tercetus di dalam benaknya, pria itu memotongnya dengan gelengan. "Jangan," peringatnya.

Alicia pun menutup mulutnya kembali, menggigit bibirnya dengan kuat untuk menahan diri melakukan hal-hal yang tidak dia inginkan, seperti langsung memberondong pria itu dengan berbagai pertanyaan yang mendadak muncul di kepalanya.

Pria itu hadapannya tersenyum lembut. "Apa kabar, Alicia?" tanyanya.

"...." Alicia bergeming. Bagaimana dia bisa menjawab? Suaranya pasti akan terbata-bata, bahkan sekarang tangannya gemetar, dan sebentar lagi air matanya akan mengalir tanpa bisa dia kontrol lagi.

"Kau tampak ... lebih kurus dari terakhir aku melihatmu."

Alicia ingin menjawab, bahwa ada banyak hal yang telah terjadi selama lima bulan ini. Tapi tidak satu pun kata yang berhasil dia ucapkan.

"Tapi aku lega mengetahui bahwa kau baik-baik saja." Mata biru yang indah itu menatap Alicia dengan kelembutan yang hangat.

Sampai detik ini, Alicia yakin bahwa anak buah ayahnya tidak mungkin ikut campur sampai menguntit apa yang Alicia bicarakan dengan pria di kencan butanya.

Dan karena itu, Alicia tidak lagi menahan diri.

"London," ucapnya.

"...."

"Bagaimana ... Lucius?" Bibir Alicia gemetar saat mengucapkan nama itu. Dia tidak bisa melihat London tepat di mata. Sesuatu dalam diri London Denovan, mengingatkannya dengan pria yang begitu dia cintai, yang kini dia telah kehilangannya.

"Alicia ...."

Alicia menggeleng. Menunduk menutupi matanya yang berkaca-kaca. "Tidak, katakan saja," ucapnya lirih.

"...."

"Apakah pria itu ... apakah dia ...." Alicia merasakan napasnya tercekat di tenggorokan. Tangannya tergenggam erat di paha sampai buku-buku jarinya memutih. "Apakah dia benar-benar sudah tidak ada?" ucapnya kemudian, dalam satu tarikan napas.

London Denovan, yang telah bersumpah pada sepupunya bahwa dia akan menjaga wanita ini, mengembuskan napas berat.

"Maafkan aku, Alicia."

"...!"

"Ma-maaf?" Air mata sudah tidak dapat Alicia bendungkan. "Tidak. Dia ... Lucius—hiks!"

"Lucius sudah tidak ada. Dia sudah pergi."

Alicia tahu fakta itu. Dan dia pikir bahwa dia sudah bisa menerima takdir ini dengan baik. Tapi tidak dia sangka bahwa rasa sakitnya masih terasa sesakit ini. Dan penyangkalan itu masih tetap ada.

Mengesampingkan perasaannya, Alicia bertanya lagi, "Lantas ... kenapa kau menemuiku?"

London menatap Alicia lama. Wanita yang tengah menghindari tatapannya itu tampak sangat berbeda, dengan rambut pendek sebahu yang terlihat lebih tipis. Wajahnya masih semenawan itu, tapi kesedihan seolah menutupi parasnya.

"Aku tidak punya waktu untuk ini," kata Alicia, tiba-tiba bangkit dari duduknya.

Mendengar itu London dengan segera mencegahnya. "Alicia, dengarkan aku dulu!"

LIVING WITH THE DEVILМесто, где живут истории. Откройте их для себя