Gempa Susulan

8K 920 34
                                    


Siapa yang bisa tidur lagi setelah peristiwa gempa semalam? 

Pukul setengah tujuh pagi, dengan bibir yang berkali-kali menguap lebar karena tidak nyenyak tidur, Bhiru menjawab semua panggilan telepon yang menghubunginya bergantian. Papa Mamanya di Bandung, hingga Kumala bergantian menanyakan kabarnya di Surabaya karena berita tentang gempa semalam telah disiarkan di semua program berita pagi stasiun televisi.

"Kenapa nggak langsung pulang ke Jakarta? Nggak kapok kena gempa?" Kumala bertanya dengan heran memandang wajah Bhiru di layar gawai yang tampak tenang-tenang saja meski dengan raut wajah tampak masih mengantuk dan beberapa kali menguap lebar seperti mulut kudanil. 

"Kalau berani coba gih kamu tanya langsung ke pak Ranu. " Bhiru menjawab sambil mengusap kedua pelupuk matanya secara bergantian. 

"Kenapa bukan kamu sendiri yang tanya?"

Mulut Bhiru menguap kembali sebelum menjawab dengan kesal.

"Aku sudah tanya, Kum. Katanya sampai tutup tahun sekali pun kalau beliau belum perintahkan aku pulang ya aku nggak bakal boleh pulang. Begitu titahnya." 

"Pak Ranu bilang begitu?" Kumala tampak terkejut. 

"Iya. Karena aku males debat sama bos yang ujung-ujungnya bonus bulan ini beresiko nggak aman, ya sudah aku nurut aja."

"Ck...ck...ck...Arogan banget."

"Udah dari dulu kan?" Bhiru memandang ke arah connecting door yang masih dibiarkan terbuka sejak semalam. Baru ingat kalau pak Ranu bisa saja sedang mendengar percakapannya dengan Kumala. 

Penasaran, Bhiru bangkit menuju connecting door namun sebelum itu ia memberi isyarat agar Kumala diam dengan jarinya. Bhiru ingin memastikan sesuatu.

Masih memegang gawainya, Bhiru mengendap-endap dan perlahan-lahan menjulurkan kepalanya melongok ke kamar pak Ranu dan...

Untuk beberapa saat tatap matanya seolah terkunci dengan pemandangan indah nan seksi di depan matanya. Bahkan tanpa ia sadari mulutnya pun sampai terperangah lebar menatap pemandangan Pak Ranu yang tengah berdiri di depan cermin, bertelanjang dada dan sedang mengoleskan deodorant di masing-masing ketiaknya yang berbulu. 

Dan bosnya itu belum menyadari Bhiru sedang mengamatinya diam-diam hingga tiba-tiba dari gawainya terdengar suara Kumala, "Bhi, aku udah boleh bersuara?"

Yang tentu saja membuat pak Ranu sontak melihat ke arah connecting door.

Meski pun tidak melihat siapa pun di sana karena Bhiru dengan secepat kilat telah kabur, pak Ranu tentu saja tidak bodoh. Lelaki itu langsung menyadarinya dan menarik senyum geli sambil mengenakan pakaiannya dengan santai.

Sementara itu di dalam kamar mandi. Bhiru yang sedang menyandarkan tubuhnya di pintu berulang kali mengusap dadanya yang tengah berdebar hebat.

"Aduuuh...Bhiru kenapa tadi kamu bego banget! Bego banget!" Berulang kali Bhiru memarahi dirinya sendiri. "Malu-maluin banget!"

"Bhi? Kamu kenapa? Kok tadi kamu lari-lari nggak karuan?" suara Kumala kembali terdengar dari gawai Bhiru yang ternyata belum sempat dimatikan. "Ada gempa susulan lagi?" 

"Iya Kum, habis ada gempa susulan," Bhiru menjawab dengan nafas terengah-engah sambil terus menyentuh dadanya. Beruntung ia bisa membuat alasan dengan cepat. Masa iya, ia harus ceritakan yang sebenarnya?

Andai saja Kumala tahu bahwa gempa susulan itu justru malah terjadi di dalam dada Bhiru saat ini. 

"Tapi kamu nggak apa-apa kan?" suara Kumala berganti cemas.

LOVE WITH [ OUT ] LOGICWhere stories live. Discover now