Menuju Bangkok

5.4K 636 6
                                    

"Kenapa kamu harus ikut ke Bangkok?" Langit kembali menanyakan alasannya saat mobil mereka baru saja diparkir di area parkir bandara. Padahal semalam Bhiru telah menjelaskan kepergiannya besok menuju Bangkok.

"Karena ini bagian dari tanggung jawab pekerjaanku, Lang. Aku bukannya mau traveling."

"Tapi kenapa harus kamu yang pergi dengan orang itu?" Langit berkata sambil membuang wajahnya memandang keluar jendela mobilnya.

"Lang, kami pergi nggak berdua saja. Tapi bertiga dengan Jono juga." Bhiru berusaha menjelaskan dan berharap Langit dapat mengerti posisinya.

"Kenapa harus kamu? Kayak nggak ada orang lain lagi." Langit tampak sangat kecewa. Bhiru tahu karena esok lusa Langit akan berulangtahun tetapi ia malah memilih pergi ke Bangkok. Tapi ia punya tanggung jawab yang tidak mungkin ia abaikan. Jadi ia tetap bersikukuh ke Bangkok dan berharap kekesalan Langit akan reda setelah ia kembali nanti.

"Pergi saja kalau itu mau kamu. Aku nggak akan melarang lagi. Terserah kamu," ucap Langit dengan nada dongkol sambil keluar dari mobil untuk menurunkan koper Bhiru dari bagasi.

"Aku pergi, ya." Bhiru memeluk Langit yang begitu kaku menyambut pelukannya. Padahal Bhiru berusaha meluluhkan hatinya, tapi lelaki itu masih saja kesal di detik-detik Bhiru hendak melakukan check-in. "Udah ah ngambeknya. Doain perjalananku lancar ya." Dengan kaki berjinjit, Bhiru mencium pipi Langit sebelum ia menyeret kopernya pergi meninggalkan Langit.

Melangkah memasuki area boarding pass, Bhiru melihat Jono yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Sementara Pak Ranu duduk sambil menyilang kedua tangannya di dada, melayangkan tatapan sekilas pada sosok Bhiru sebelum kembali memejamkan matanya.

Bahkan hingga masuk ke dalam pesawat, Pak Ranu belum mengatakan sepatah kata pun padanya. Entah kenapa, Bhiru ingin lelaki itu menegurnya atau sekedar bertanya sesuatu padanya. Tapi percuma saja berharap pada lelaki yang bukan hanya irit senyum tapi juga irit bicara itu.

Memperhatikan pak Ranu yang duduk di samping Jono sambil memejamkan matanya usai pesawat lepas landas, Bhiru tidak menyangka bahwa bosnya itu lebih memilih duduk di kelas ekonomi bersama ia dan Jono ketimbang di first class apalagi kelas bisnis. Padahal dengan postur jangkungnya, Bhiru yakin pak Ranu sebenarnya tersiksa.

Saat ia sedang memperhatikan bosnya itu, tak disangka-sangka mata lelaki itu tiba-tiba terbuka dan menoleh ke arah Bhiru yang duduk di kursi sebelah yang dipisahkan oleh lorong. Membuat Bhiru sontak berpura-pura menunjuk ke arah jendela di samping Jono duduk sambil tidur dengan bibir menganga.

"Awannya lucu, Pak. Mirip kepala Jono," ujar Bhiru sambil nyengir malu.

Masih salah tingkah karena tertangkap basah sedang mengamati bosnya, Bhiru malah lanjut bertanya, "kaki bapak nyaman, nggak?"

Pak Ranu memandang kedua kakinya yang lututnya mentok menyentuh sandaran kursi di depannya. "Sebenarnya nggak," jawabnya sambil memandang lurus ke depan.

"Siapa suruh kemarin bapak ngeyel pilih kelas ekonomi." Bhiru bergumam sambil mengenakan headphone untuk menonton film di layar sentuh pada kursi pesawat.

Tak ingin membalas gumaman nyelekit Bhiru, Pak Ranu pun memilih melakukan hal yang sama, seperti yang sedang dilakukan Bhiru. Mengenakan headphone dan menonton film yang sama.

Setelah kurang lebih empat jam penerbangan, ketiganyanya akhirnya tiba di Bangkok. Menuju ke hotel yang sebelumnya dipesan oleh Bhiru dengan taksi.

Duduk di kursi belakang taksi bersama Pak Ranu, Bhiru berusaha menghubungi Langit untuk mengabari bahwa ia telah tiba di Bangkok dan sekarang hendak menuju hotel. Namun Langit tak kunjung menjawab panggilannya yang telah ia lakukan sebanyak tujuh kali.

Bhiru menghela nafas, berusaha memaklumi. Langit bukannya masih kesal padanya hingga mengabaikan panggilannya. Tetapi lelaki itu pasti sedang sibuk dengan urusannya di kantor. Alih-alih melanjutkan usahanya terus menghubungi gawai Langit, Bhiru akhirnya memutuskan mengirimkan pesan singkat pada Langit tentang keadaannya di Bangkok.

"Dokumen yang kemarin saya minta kamu siapkan nggak lupa dibawa, kan?" suara Pak Ranu mengalihkan manik mata Bhiru dari layar gawainya.

"Aman, Pak. Semua ada di sini." Bhiru menepuk dengan yakin ranselnya yang menyimpan beberapa dokumen dan laptop 12 inch.

"Good." Pak Ranu memujinya singkat lalu menatap keluar jendela taksi yang membawa mereka bertiga menuju hotel.

"Ebetewe, Bhi, kamu bawa kecap manis nggak?" Pertanyaan tiba-tiba Jono yang duduk di samping supir taksi membuat Bhiru nyaris tergelak.

"Ngapain kamu nanyain aku bawa kecap, Jonooo?"

"Ini pertama kalinya aku ke Bangkok, aku nggak yakin cita rasa makanan orang Thailand cocok di lidah Jawaku."

"Nggak bawa."

"Yaaaah..." Jono begitu kecewa dengan jawaban Bhiru.

"Lagian kenapa kamu nggak bawa sendiri?" timpal Bhiru dengan geli.

"Lupa. Lagian kamu sebagai cewek biasanya suka bawa segala-galanya kalau bepergian." Jono menuduh Bhiru menyamakannya dengan beberapa wanita yang ia kenal seperti itu.

"Astaga, emang iya sih. Tapi aku nggak pernah bawa kecap kemana pun, Jono. Lidahku kebetulan mudah menerima segala rasa makanan." Bhiru membalasnya dengan bangga. Ia sudah beberapa kali pergi ke beberapa negara dan lidahnya tidak pernah rewel soal urusan makanan seperti Jono.

Tiba di hotel, check-in dan beristirahat sebentar, pak Ranu mengajak Bhiru dan Jono keluar hotel.

"Kita mau kemana, Pak?" Bhiru bertanya sambil menyamai langkah Pak Ranu yang telah berganti pakaian dan Bhiru bisa mencium aroma segar parfumnya.

"Saya ingin cari makan di luar." Pak Ranu menjawab sambil terus melangkah menuju pintu keluar hotel.

"Kirain mau cari ladyboy." Bhiru mendengar Jono bergumam di belakang pak Ranu. Meski hanya bercanda, entah kenapa Bhiru tetap merasa kesal. Bosnya itu memang aneh tapi seleranya tidak sebercanda itu.

"Kita naik tuk-tuk saja." Pak Ranu tiba-tiba melambaikan tangannya memanggil tuk-tuk yang hanya muat untuk berdua saja. Itu berarti mereka harus memanggil dua tuk-tuk.

Benar saja, pak Ranu memang memanggil dua tuk-tuk. Bhiru bergegas naik ke dalam tuk-tuk diikuti Jono yang tiba-tiba ditarik keluar lagi oleh pak Ranu.

"Kamu pindah ke tuk-tuk yang di belakang," perintah Pak Ranu dengan nada yang tidak ingin dibantah pada Jono.

Tapi Jono malah melakukannya. "Kenapa saya harus pindah, Pak? Bapak nggak takut saya hilang diculik supir tuk-tuk?"

"Nggak," sahut pak Ranu bikin Jono dongkol sambil duduk di samping Bhiru yang sialnya menjadi sangat dekat satu sama lain karena bangku tuk-tuk tidak lebih lebar dari bangku becak di Indonesia.

Dan sumpah demi apa pun, Bhiru benar-benar tidak bisa berkutik. Geser salah, bergerak salah, nyenggol dikit salah, eh paha pak Ranu malah dengan sopan menempel di paha Bhiru yang mendadak kaku. Bhiru mati gaya sudah.

Setelah lima belas menit menaiki tuk-tuk yang melaju dengan cukup ugal-ugalan dan membuat Bhiru dan pak Ranu mau tidak mau semakin kerap bersinggungan, mereka akhirnya sampai di pasar Chatuchak, pasar terbesar di Bangkok yang menampung sekitar lima belas ribu lapak pedagang. Membuat bola mata Bhiru jadi jelalatan dan naluri wanitanya sontak bangkit ingin segera berbelanja.

Namun ia terpaksa harus menahan diri karena tujuan mereka ke pasar Chatuchak adalah untuk makan malam, bukannya berburu oleh-oleh. Bhiru tidak ingin membuat bosnya kesal karena ulahnya.

Lagi pula mereka masih punya waktu hingga dua hari ke depan di Bangkok. Bhiru berniat setelah acara penting besok berakhir, ia akan kembali ke pasar ini atau pusat perbelanjaan lain. 

'

'

21/11/2021 

LOVE WITH [ OUT ] LOGICМесто, где живут истории. Откройте их для себя