Sejak Kapan?

8.2K 924 29
                                    

Tiga hari sebenarnya belum cukup bagi Bhiru untuk menuntaskan rasa sakit hatinya. Mungkin ia butuh waktu berbulan-bulan bahkan hingga bertahun-tahun.

Dan realitanya setelah tiga hari cuti sakit berlalu, ia tetap harus pergi bekerja dan melanjutkan hidupnya yang porak-poranda. Roda kehidupan masih berputar dan ia masih harus melaluinya, hari demi hari.

Langit masih kerap menerornya dengan permintaan ampun dan di saat yang sama Pak Ranu menerornya dengan tagihan file yang belum ia penuhi dan beberapa pekerjaan yang telah antri menunggunya ketika ia masuk kantor nanti. 

Jadi karena ia lebih takut ditagih Pak Ranu hingga ke liang kubur, di hari ketiga Bhiru akhirnya memutuskan keluar dari persembunyiannya. Ia akan pergi ke kediaman Langit untuk mengambil barang-barangnya sebelum ia pulang ke apartemen.

Bhiru yakin di jam kerja begini, Langit tentu saja ada di kantornya, sehingga Bhiru tidak perlu bertemu dengannya. 

Mengenakan setelan training hitam yang lagi-lagi ia pinjam dari Kumala, Bhiru pergi menuju kediaman Langit. Tekadnya sudah bulat untuk menyelinap mengambil barang-barangnya.

Tiba di kediaman Langit, Bhiru bergegas mencari kunci rumah yang biasa Langit sembunyikan di dalam pot tanaman hias yang digantung di teras. Sedikit menyusahkan bagi Bhiru saat meraihnya, hingga ia harus menaiki kursi teras untuk menggapainya.

“Aha!” Bhiru cukup senang bisa menemukan kuncinya. Tetapi belum sempat ia turun dari atas kursi, tiba-tiba ia merasakan dua lengan kokoh melingkari pinggangnya dari belakang bersamaan dengan terdengarnya suara Langit.

“Bhi, aku senang kamu datang.”
 
Jelas Bhiru terkejut karena sebelumnya mengira ia tidak akan bertemu Langit di jam kerja begini.

“Hiyaaaaaa! Lepasin nggak?!” Bhiru meronta-ronta. Biasanya dia senang saja diperlakukan oleh Langit semanis ini. Tapi kali ini, tidak. Ia justru merasa jijik, apalagi merasakan wajah Langit yang bersandar manja di punggungnya. “Dasar mesum! Lepasin nggak?! Kalau nggak aku teriak nih.” 

Kaget dengan reaksi frontal Bhiru yang tak biasanya, Langit akhirnya melepaskan tangannya. Mundur selangkah dari Bhiru, tatap matanya yang sayu karena kurang tidur beradu tatap dengan mata sembab Bhiru yang menatapnya dengan kebencian. 

Masih berdiri di atas bangku, Bhiru malah bersikap menantangnya dengan berkacak pinggang menghadapinya.

Menghadapi sikap Bhiru, Langit malah membuka pintu dan menunggu Bhiru turun dari bangku untuk mengikutinya masuk ke dalam.

“Bhi, ayo kita bicara di dalam.” 

“Nggak mau. Aku ke sini cuma mau ambil barang-barangku!”

“Ayolah, Bhi. Sebentar saja.” Wajah Langit tampak merana saat memohon. Ia lelah mencari Bhiru kemana-mana hingga kurang tidur selama tiga hari ini dan ia lega saat melihatnya muncul di teras rumahnya diam-diam. 

Bukan karena iba dengan wajah merana Langit, Bhiru akhirnya setuju mengikuti Langit masuk ke dalam sambil mengedarkan pandangannya ke segala ruangan yang tampak berantakan dan sungguh mengherankan bagi Bhiru karena Langit biasanya suka akan kerapian. Tidak seperti biasanya Langit membiarkan isi rumahnya berantakan seperti kapal pecah begini. Kecuali lelaki itu sedang depresi.

Apakah ini karenanya? Bhiru tidak peduli meski pun dugaannya seribu persen benar.

Ketika matanya akhirnya tertumbuk pada sofa berwarna hijau zambrud, Bhiru menyentuh dada kirinya yang tiba-tiba nyeri bersamaan dengan munculnya kembali bayangan pergumulan Langit dan Jenar di sana. Membuatnya tidak sanggup membendung airmatanya. Bola matanya langsung basah namun cepat-cepat menghapusnya dengan punggung tangan sebelum Langit berbalik untuk bertanya, “Kamu mau minum apa? Aku bikinin teh mint dingin kesukaan kamu ya.”

LOVE WITH [ OUT ] LOGICWhere stories live. Discover now