Sebuah Anting

5.7K 716 18
                                    


Sorenya Langit datang ke kantor untuk menjemput Bhiru pulang kantor.

Langsung jongkok di dekat Bhiru duduk, Langit memeriksa kaki Bhiru yang kini tampak semakin bengkak dan memar dari sebelumnya.

"Kenapa bisa sampai keseleo?" tanyanya dengan nada cemas. Lelaki itu tampak lelah karena baru saja kembali dari Surabaya.

"Terpeleset di pabrik gara-gara injak tumpahan oli." Bhiru bercerita dengan nada merana.

"Tumben banget kamu ke pabrik? Ngapain?" Langit menatap Bhiru dengan heran. Meninjau ke pabrik bukanlah keharusan dari pekerjaan Bhiru, meski salah satu jobdesc-nya adalah mengurus segala hal tentang eksport import di perusahaan.

Bhiru tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Jujur saja ia benci berbohong apalagi pada Langit. Tapi Bhiru belum pernah menceritakan perihal ia telah menggantikan posisi Jenar sebagai sekretaris pak Ranu.

Tapi di kala ia sedang memikirkan alasan yang tepat, malah Kumala yang tiba-tiba buka suara dan Bhiru tak sanggup mencegahnya.

"Ya iyalah lah, Lang. Pekerjaan Bhiru sekarang sudah merangkap jadi sekretaris pak Ranu makanya kemana pun pak Ranu pergi, Bhiru harus ikut. Meski pun pergi meninjau ke pabrik." Kumala menjelaskan sambil menyentuh bahu Bhiru yang mendadak tegang.

"Sekretaris pak Ranu?" Kening Langit langsung berkerut lalu menatap Bhiru dengan tatapan tak mengerti. "Sejak kapan?"

Bhiru nyengir dengan wajah kaku.

"Kenapa kamu nggak pernah cerita?"

"Aku bisa jelaskan." Bhiru balas menatap Langit dengan tatapan bersalah.

"Lho? Kamu belum kasih tahu Langit, Bhi?" Kumala juga mendadak merasa bersalah. Kumala tidak tahu kalau Bhiru belum memberi tahu Langit soal posisi barunya di kantor. "Sorry, aku kira kamu sudah kasih tahu Langit." Kumala berganti menatap Langit yang mood-nya mulai memburuk. "Sorry ya Bhi..." Kumala benar-benar menyesal dan memilih meninggalkan keduanya.

Alih-alih meluapkan kekesalannya karena Bhiru menutupi hal itu darinya, Langit malah menghela nafas samar menahan untuk tidak kesal meski sebenarnya telah terpancar rasa kecewa dari sorot matanya.

"Ayo pulang, kita bicara di mobil saja." Langit membantu Bhiru berdiri dari tempat duduknya lalu merangkul bahunya, memapahnya berjalan.

Ketika berpapasan dengan pak Ranu menuju tempat parkir, Langit melihat atasan Bhiru itu tampak melihat ke arah mereka dengan acuh tak acuh. Namun tetap saja Langit tidak suka dan tiba-tiba saja langsung membopong Bhiru. Hanya untuk menunjukan pada lelaki itu bahwa Bhiru miliknya.

"Aku kan bisa jalan, Lang." Bhiru protes karena malu dilihat oleh orang-orang kantor dan juga pak Ranu.

"Kelamaan kalau nunggu kamu jalan sampai mobil." Langit beralasan sambil terus melangkah, tidak memperdulikan tatapan heran dari orang-orang di kantor Bhiru.

"Ya udah kalau sampai sakit pinggang jangan salahkan aku." Bhiru mengalungkan lengannya di leher Langit.

"Kaki kamu sudah diurut?" Langit bertanya ketika mereka berdua telah masuk ke dalam mobil.

"Sudah." Bhiru menjawab singkat sambil mengenakan sabuk pengaman. Andai Langit tahu siapa yang sudah mengurut engkel kaki tunangannya, lelaki itu pasti akan semakin mencemburui bosnya. Oleh karena itu Bhiru tidak berani menceritakan lebih detail apalagi Langit tidak bertanya siapa yang telah mengurut kakinya.

"Lalu jas siapa yang kamu ikat di pinggang?" tanya Langit lagi sambil menjalankan mobil. Pertanyaan yang langsung membuat Bhiru nyaris kehabisan alasan.

LOVE WITH [ OUT ] LOGICWo Geschichten leben. Entdecke jetzt