tarte aux citron.

1K 112 37
                                    

Tarte aux citron is a classic french lemon tart. A crisp buttery crust with a smooth tangy lemon custard.

Always remember, if you have been diagnosed with PTSD , it is not a sign of weakness; rather, it is proof of your strength because you have survived! 

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Always remember, if you have been diagnosed with PTSD , it is not a sign of weakness; rather, it is proof of your strength because you have survived! 

-HealthyPlace-

Air POV

Deretan rumah berdinding batu bata merah, khas pemandangan kota London. Aku duduk di balkon kamar yang menghadap ke taman belakang rumah. Dari balkon di lantai dua yang menghadap ke salah satu hutan pinggir kota, dapat terlihat hamparan pohon yang cukup luas. Juga belasan manusia berjalan santai menyusuri jalan setapak yang mengular.

Lamunanku terhenti ketika melihat satu per satu payung terbuka, menampakkan warna-warni dengan bulatan sempurna. Aku menengadah, melihat rintik air mulai turun dari langit, dan satu tirai basah timbul mengaburkan pemandangan di hadapan.

Kembali menatap kosong pada ribuan butiran air, aku menangkap suara konstan di telinga berupa deru hujan yang semakin nyaring. Suara hujan berupa bising, yang entah mengapa tidak lagi membuatku panik. Berbeda dengan enam bulan lalu ketika sampai di Inggris, bahkan suara hening dapat membuatku ketakutan apalagi bising yang mengganggu.

Keluargaku meninggalkan semuanya di Indonesia, Kak Awan izin kuliah beberapa saat dan menemaniku di sini—walaupun akhirnya dia kembali dua bulan kemudian. Ayah memindahkan kantor pusatnya ke London dan memimpin seluruh perusahaannya dari sini. Sementara Ibu berhenti bekerja sebagai dokter dan hanya mengurusku.

Mereka semua mengorbankan diri untukku, tetapi apakah aku pantas mendapatkan semua itu?

Sekali lagi aku hanya anak perempuan yang rusak, aku bahkan tidak yakin ingin melanjutkan hidup lagi. Aku merasa semuanya sia-sia. Aku tidak peduli dengan sekolah, aku tidak peduli dengan teman-teman. Aku tidak peduli dengan keluarga, aku bahkan tidak peduli dengan diriku sendiri. Aku tidak peduli dengan apa pun, toh hidupku sudah hancur.

Beberapa kali aku ingin meninggalkan semuanya, pergi dari semua hiruk kehidupan yang nampaknya tidak akan pernah membaik. Aku pernah meminum banyak sekali obat tidur yang diresepkan psikiater, entah sengaja atau tidak tapi aku lupa akan intensiku sebenarnya. Malam itu aku hanya merasa penat, aku hanya ingin menghilangkan suara tawa yang bergema di pikiran, aku hanya ingin ketenangan.

Aku ingin tidur, maka aku meminum obat tidur. Satu ternyata tidak cukup—aku masih belum bisa tertidur—maka aku meminum satu butir lagi. Namun aku tetap terjaga, mataku belum mau menyerah, maka saat itu aku mengambil beberapa butir pil tidur lagi dan menenggaknya sekaligus. Semakin banyak aku meminumnya, semakin cepat mengantuk aku dibuatnya.

Logikaku benar kan? Aku bukan orang bodoh, mungkin hancur tetapi tidak bodoh.

Terakhir kali yang aku dengar sebelum tertidur adalah teriakan Ibu yang memanggil Ayah dan Kak Awan, kemudian tangisan histeris yang mereka perdengarkan. Tentu saja aku terbangun di RS beberapa hari kemudian, kembali bersahabat dengan selang infus dan oksigen, ditambah selang makanan yang dipakai untuk menguras habis isi lambungku. Aku overdosis obat tidur, begitu kata dokter yang berhasil aku curi dengar.

AIR (END, COMPLETE)Where stories live. Discover now