56 - Sudah Tak Berat Karena Kepercayaan

1.1K 224 3
                                    

"Eh, di mana ini?" Itulah yang Sharley katakan ketika dia bangun dari pingsan. Tubuhnya masih sakit seperti habis dipukul pentungan Orc. Kepalanya pun masih agak pening walau tak separah dulu.

Sharley meringsut duduk, menahan pekikan di kerongkongan ketika kepalanya pusing. Dia merasakan bekas sihir penyembuhan di tubuhnya, tapi dari bekasnya dia tahu kalau sihir tak menyembuhkan secara total.

Kamar tempatnya berbaring kecil tetapi nyaman. Butuh beberapa detik untuknya supaya menyadari ini kamar apa. Sebelumnya dia memang merasa familier dengan kamar ini.

Samar-samar terdengar suara dari ruangan depan sana, Sharley tak bisa mendengar dengan jelas. Dia menginjakkan kaki telanjangnya ke lantai, menggigil ketika dingin merambati telapak kakinya. Sharley menatap diri sendiri, terkejut melihat dirinya sudah berganti pakaian.

Atasan berupa sweater wol hangat berwarna merah muda, bawahnya adalah rok pendek selutut berwarna hijau. Luka-lukanya telah tertutup, hanya menyisakan parut-parut kecil. Kakinya terbungkus kaos kaki putih bergaris-garis seperti yang digunakannya saat sekolah dasar dulu.

"Aku di rumah Nariel," katanya. Kamar ini tak ada yang berubah sejak terakhir kali dia datang ke sini. Semuanya tetap tertata rapi yang jelas mampu membuat Ilnori terpukau.

Dia menyambar syal polkadot dari gantungan pakaian, lantas berjalan keluar dengan sandal rumahan lucu bergambar kelinci. Sharley tak ingat kalau Nariel memiliki sandal seperti ini.

Sembari menyusuri lorong, dia mengikatkan syal di leher. Suhu semakin menurun, rasa-rasanya dia bakalan mati membeku di alam liar sana. Beruntung tempat yang diinjaknya saat ini adalah rumah nyaman ala desa.

Ruang bersantai kosong. Perapian tak menyala di sisi dinding, kayunya dibiarkan teronggok membisu dengan ujung gosong bekas pembakaran. Meja kosong tanpa tumpukan buku, hanya taplak bermotif dedaunan musim panas. Lantai kinclong, rasanya tak ada debu setitik pun.

Suara ternyata berasal dari ruang depan sana, kedai Nariel yang buka setiap hari dan menyajikan berbagai minuman hangat untuk musim dingin nan mencekam. Berganti musim, berganti pula menunya. Sharley membuka pintu penghubung, mengintip lebih dulu sembari memeluk diri sendiri.

Tempat kedai itu penuh, tapi bukan oleh pelanggan. Di meja layan, duduklah sederet orang yang kesemuanya dikenal Sharley. Sementara yang lain –– yang tak dikenalnya –– menyebar ke seluruh isi kedai. Malah ada yang bersandar di jendela karena kehabisan tempat.

Meja layan ada Asher, Cleon, Nariel, trio demon, Cliff, Zephran, Floretta, dan Elora. Sharley meneguk ludah ketika dia membayangkan Larrence duduk di antara mereka.

Mereka membahas sesuatu yang penting. Tak lain dan tak bukan adalah Mord beserta anak buahnya. Alis Floretta nyaris menyatu karena terlalu dalam berkerut, kelihatan kalau ia ingin bergegas pergi dari tempat itu secepatnya.

Bertahan di bawah tekanan keseriusan bukan sesuatu yang dikuasai Floretta. Apalagi dengan fakta kalau ia itu Elf bar-bar.

"Membutuhkan waktu lama untuk mengubur semua jasad Orc. Jumlah mereka terlalu banyak dan kita harus menguburnya secepat mungkin sebelum membusuk," kata Cliff.

Werewolf itu kelihatannya lelah, sepertinya dia menempati posisi penting di kawanan. Tapi apa? Pimpinannya, pengganti Larrence? Sharley tak mendengar kabar apapun tentang kawanan semenjak dia meninggalkan teritori mereka.

"Pakai sihir benar-benar tak bisa, nih?" sahut Starri, meneguk minuman di dalam mug.

"Tidak ada sihir yang bisa membuat lubang kubur persisi, yang ada kita hanya meluluhlantakkan gunung dan membuat marah para hewan," jawab Cleon. Sepupunya itu tak kelihatan betul-betul sehat, kantung mata membayangi bawah kelopak mata hijaunya.

The Eternal Country (1) : Lost In A Foreign Land (√)Where stories live. Discover now