42 - Dia

13 7 30
                                    

Suasana rooftop masih sama seperti sebelumnya. Di sana, Rani dan Dita masih asyik tertawa dan mengobrol. Membicarakan banyak hal. Terutama topik yang menurut mereka sedang sangat hot. Yakni kedekatan Dewa dan Lia yang patutu dicurigakan.

Keduanya terasa semakin dekat. Apalagi tadi Dita melihat raut wajah khawatir Dewa yang tak biasa. Dari sana saja Dita bisa menyimpulkan, kalau Dewa memang menyukai Lia.

"Dunia gak adil banget kalau mereka gak jadian!" seru Dita dengan bersemangat. Rani pun ikut menyetujui seruan Dita dengan anggukan yang sangat mantap.

"Siapa yang gak jadian?"

Dita dan Rani spontan menoleh ke belakang, dan mendapati sosok yang asing bagi Rani, tapi sangat tidak asing bagi Dita. Wajah berbinar tercetak jelas di wajah Dita. Ia memasang senyuman lebarnya sambil melambaikan tangan. Padahal pria itu berada persis di belakangnya. "Hai, Fadi!"

Rani menggeplak lengan Dita dengan gemas. Rani mendekatkan dirinya pada Dita dengan suara yang sedikit dikecilkan, agar tak terdengar oleh pria yang menghampiri mereka. "Dia siapa?"

"Calon suami."

ㅡㅡㅡ

"Sebenarnya, gue punya temen deket. Namanya Alika. Dia satu sekolah bareng kita," jelas Dewa pelan. Namun tatapannya hanya fokus pada lantai dibawah sana. Suasana menjadi hening, ditambah Dewa merasa gugup untuk menjelaskan semuanya pada Lia. Tapi ia rasa, ini diperlukan.

"Terus?" Lia tak mengerti apa maksud Dewa. Lalu kenapa jika ia dekat dengan seorang perempuan? Dan mengapa jika orang itu bersekolah dengannya? Apa hubungannya sama Lia.

"Lo inget sama cewek yang pernah ngejar gue pas latihan basket?"

Lia berusaha mengingatnya. Dan ia mengangguk. Wanita yang mengobrol dengan Dewa, dan mereka terlihat dekat saat itu. Tidak, tidak, wanita itu saja yang dekat dengan Dewa. Karena Dewa terus mendiamkannya.

"Dia Alika," sambung Dewa.

Lia hanya sedikit melebarkan matanya. Ia ingat.

Itu adalah wanita yang sama. Wanita itu lah yang menguncinya di kamar mandi tadi. Pantas saja ia merasa tidak asing dengan wajah wanita itu.

Ternyata, mereka sudah bertemu. Tapi wajah Alika yang penuh make up membuat Lia tak mengenalinya.

"Dia..." gumam Lia sambil mengingat kejadian di kamar mandi dan saat ia menemani Dewa latihan basket. Apakah ia salah ingat? Tapi wajah mereka mirip. Mata wanita itu sipit dan memiliki khas tersendiri menurut Lia.

"Kenapa, AP?"

Lia langsung menatap Dewa dengan sedikit cemas. "Kayanya dia yang--"

Lia menghentikan ucapannya. Ia ragu untuk mengatakan ini. Bagaimana jika ia salah? Tapi ia juga susah untuk menyembunyikan ini.

Ah, Lia kesal. Kenapa ia tak bisa berbohong pada Dewa?

Mata Lia tak bisa diam. Ia terus saja mengalihkan matanya ke segala arah.

Dewa tahu bahwa Lia sedang khawatir akan sesuatu. Karena Lia tak biasanya bersikap seperti ini.

Dewa langsung meraih tangan Lia yang sibuk memainkan jarinya di atas paha, dan mengelusnya dengan lembut guna menenangkan wanita -yang bisa dibilang- Dewa sayangi. Awalnya Lia kaget karena Dewa yang memegang tangannya, namun ia membiarkannya karena merasa lebih tenang.

"Ada apa? Bilang aja," titah Dewa dengan halus.

"Eum... Gue gatau ini bener apa enggak. Soalnya gue gak kenal dia. Tapi seliat gue, mereka mirip. Soalnya dia pake make up yang beda sama waktu itu dan hari ini," ujar Lia pelan.

Unspoken FeelingWhere stories live. Discover now