39 - Terjebak

18 10 32
                                    

Alunan musik jazz yang memenuhi area rooftop membuat suasana semakin terasa nyaman sebagai latar lagu untuk mengobrol. Tetapi tidak untuk sepasang remaja yang tengah menduduki kursi yang berada di pojok are rooftop tersebut. Dita dan Dewa sudah menduduki salah satu bangku yang memiliki 4 kursi dalam 1 meja. Pada awalnya mereka ingin mencari yang hanya berisi 2 kursi, namun sepertinya banyak pasangan yang datang. Jadi itu semua sudah penuh. Seolah musik jazz itu tidak ada, sejak kepergian Lia, mereka berdua selalu saja meributkan banyak hal. Terutama hanya untuk hal kecil.

"Ogah banget sebenarnya gue duduk sama lo," ujar Dita secara tiba-tiba sambil menjauhkan kursinya. Walau tidak terpaut jauh, karena di sebelahnya ada orang lain yang ia tak kenal.

"Dih, yang mau duduk sama lo juga siapa?"

"Banyak!" jawab Dita ketus.

"Binyik," cibir Dewa.

Emosi Dita sudah berada di ubun-ubun saat mendengar cibiran Dewa. Pria di depannya ini memang menyebalkan. Bisa dibilang Dewa adalah teman bertengkarnya setiap hari.

"Gue emang nyebelin, makanya lo diem aja," ujar Dewa seakan akan ialah yang menjadi korban disini.

"Sebenarnya yang korban emosi tuh gue apa dia, sih?" batin Dita. Ia tak percaya, kenapa Lia bisa tahan dicomblangin dengan pria seperti ini.

"Btw, AP kok belom dateng, ya?" tanya Dita sambil melihat jam di ponselnya. Terhitung sudah 30 menit Lia pergi, tetapi ia tak kunjung kembali. Menurut Dita, Lia tak mungkin memerlukan waktu sebanyak ini hanya untuk membersihkan bajunya.

"Telpon coba," suruh Dewa yang mulai khawatir.

Dita langsung mengeluarkan ponselnya lalu menekan kontak Lia, dan menghubunginya. Tak lama kemudian, ia malah mendengar dering ponsel yang muncul dari dalam tasnya. Dita menepuk dahinya dan mematikan sambungan tersebut.

"Handphone nya dia masih di gue!"

"Kok bisa?" tanya Dewa bingung sekaligus khawatir.

"Tadi gue kesini kan naik taxi, terus gue pake hape dia buat mesen. Kayanya dia lupa ngambil," jelas Dita. Ia mulai khawatir dengan Lia. Perasaannya memang tak bagus tentang Lia yang bepergian sendiri ke toilet.

"Gue cari Lia dulu aja," ujar Dewa dan langsung beranjak dari tempat duduknya. Namun Dita langsung mencekal tangan Dewa, "Gue gatau kenapa, feeling gue gak enak. Gue gak pingin kejadian buruk terjadi, tapi kalau dia pingsan atau lemah, kasi dia ini." Dita langsung memberikan Dewa beberapa kaplet obat yang telah dibungkus menjadi satu.

"Waktu habis ambil nilai lari, malemnya dia hampir pingsan. Terus pas dipanggil dokter, katanya Lia emang gampang lelah tapi badannya nolak. Jadi tolong lo kasi ini kalau liat dia kaya abis ambil nilai lari waktu itu. Tadi diem-diem Ibunya nitip ini ke gue."

Dewa pada awalnya hanya diam, namun dengan cepat ia langsung mengambil bungkus obat tersebut dan melanjutkan langkahnya untuk mencari Lia.

ㅡㅡㅡ

Suara gedoran pintu terus terdengar dari kamar mandi wanita tersebut. Lia tak tahu, apakah ia harus menyerah atau lanjut berusaha menggedor pintu tersebut. Ia sudah sangat kelelahan. Terlebih lagi letak toilet ini berada di kawasan yang jarang dilewati oleh banyak orang, karena letaknya yang di pojok dan terpencil.

Lelah, takut, dan menangis. Hanya itu yang Lia rasakan untuk saat ini. Ia hanya berharap seseorang akan menemuinya sebelum ia jatuh tak sadarkan diri.

Ia tak bisa ditinggal sendirian. Bahkan ternyata kamar mandi yang ia kira berisi orang, ternyata tidak. Itu hanya kamar mandi rusak, dan keran yang bocor.

Unspoken FeelingWhere stories live. Discover now