37 - Just kidding

33 12 23
                                    

Semua teman Lia yang berada di kelas masih setia menggoda Lia, baik dengan bersiul, menyenggol lengan Lia, atau hanya sekedar menatap Lia dengan jahil. Tetapi Lia, bukannya merasa terganggu atau senang, ia malah bingung sekaligus khawatir dengan apa yang sudah orang lain lihat tanpa diketahuinya. Karena mereka terlihat senang-senang saja.

"Hah?" Lia bingung. Ia menjadi kaku. Apakah tadi dirinya sedang direkam?

"Hah heh hoh, sok-sokan gatau apa emang lupa?" goda Dita sambil menyenggol nyenggol bahu Lia.

"Sayang gaada audionya, padahal gue kepo mereka lagi ngobrolin apa," keluh Rani kecewa.

Huft

Seakan beban berat telah hilang dari pundaknya, Lia merasa lega karena video yang direkam secara diam-diam itu tak berisi audio. Kalau iya, bisa bahaya. Semua temannya akan mengetahui hal itu. Atau bahkan seisi sekolah akan mengetahuinya.

Lia tak ingin Tiara dipojokkan karena itu menjadi bahan pembicaraan. Karena menurut Lia, ini sudah lewat. Itu hanyalah masa lalu. Walau diungkit atau dipermasalahkan sekarang pun, sudah tak ada gunanya.

"Tapi memangnya kalian ngomongin apaan? Kok AP sampe nangis? Kalian berantem? AP lo gapapa, 'kan?" lanjut Rani bertanya sambil bingung sekaligus khawatir.

"Eh, nggak. Gue gapapa. Kita juga gak berantem kok," sahut Lia sambil tersenyum dan berusaha menenangkan semuanya. Walau Lia tak tahu apakah mereka benar-benar khawatir atau tidak.

"Justru dia yang nenangin gue," batin Lia.

ㅡㅡㅡ

Lia sedang duduk di tempat duduknya. Biasa, hanya memainkan ponselnya. Sebenarnya ia ingin keluar, entah mencari Puspita atau mencari angin. Namun ia batalkan karena ia masih grogi jika bertemu dengan orang lain. Sangat memalukan. Memenangkan kategori Couple of The Year, padahal bukan 'couple' yang sebenarnya.

"AP, gue mau ngomong sama lo dong," ujar Dewa secara tiba-tiba yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi samping Lia. Padahal tadinya ia hanya sendirian disana. Hanya ada beberapa orang di kelasnya.

Lia yang tadinya sedang asik bermain ponsel, dan bahkan sedang tertawa sendirian langsung mengalihkan fokusnya pada Dewa. Ia menurunkan ponselnya dan menaikkan kedua alisnya untuk bertanya.

"Ya ngomong aja, kenapa pake nanya?"

Dewa hanya diam. Tanpa ekspresi. Keadaan seperti ini malah membuat Lia jadi bingung.

"Kenapa, Wa?"

"Gue mau minta maaf," ujar Dewa pelan.

"Hah? Minta maaf buat apaan?"

"Buat yang tadi pas ditanya hubungan kita udah berapa lama." Lia membulatkan mulutnya, ia kira ada apa.

"Ngapain minta maaf? Santai aja, gue ga sensi kek merk masker," sahut Lia sambil sedikit tertawa. Ia berusaha mencairkan suasana. Namun tampaknya ia gagal. Karena Dewa masih memasang muka yang gugup.

"Muka lo kenap--"

"Lo mau wujudin itu jadi nyata gak?" tanya Dewa. Akhirnya setelah mengumpulkan banyak nyali dan keberanian, Dewa berhasil mengatakan itu.

"Maksud lo? Apa yang diwujudin jadi kenyataan?" tanya Lia bingung. Ia tak mengerti kemana arah pembicaraan Dewa saat ini.

Sebenarnya ia sedikit mengerti apa yang Dewa maksud. Tetapi, ia tak ingin percaya diri duluan. Kalau ia salah mengira, bagaimana?

"Itu-- jadi pasangan."

Rasanya tenggorokan Lia langsung tercekat. Lia hanya bisa mengerjapkan matanya dan diam sambil menatap Dewa. Ia tak percaya, ternyata pikirannya benar.

Unspoken FeelingWhere stories live. Discover now