24 - Ambil nilai lagi

32 16 24
                                    

Rumor anak kelas XII mengambil nilai lari mengelilingi sekolah telah beredar. Lia terkejut saat mendengar rumor itu.

Apa kelasnya juga akan mengambil nilai lari mengelilingi sekolah? Padahal baru saja sekitar satu atau dua minggu lalu ia mengambil nilai bulu tangkis.

Ternyata rumor itu nyata. Kini giliran kelas XII IPA 3 untuk berolahraga. Dan saat itu juga, Bu Diah mengatakan bahwa ia akan mengambil nilai lari mengelilingi lapangan sekolah.

Lia sudah pasrah, ia hanya bisa duduk dengan tak bersemangat. Ia sedang berada di lapangan untuk menunggu kapan ia akan dipanggil. Dengan sinar matahari yang benar-benar menyerang kepalanya.

Bu Diah mengatakan jika waktu yang diberikan hanya 15 menit untuk dua putaran. Bagaimana bisa? Sekolah Lia sangat luas. Apalagi ini mengelilinginya dari luar.

Saat ia berlari mengelilingi sekolah di jam olahraga biasa, Lia saja memerlukan waktu sekitar 25 menit lebih untuk menyelesaikan dua putaran.

Bagaimana caranya Lia bisa berlari mengelilingi sekolah sebanyak dua putaran dalam setengah kali waktu yang biasa ia habiskan?

Terlebih lagi Bu Diah mengatakan bahwa jika mereka berlari melebihi waktu yang ditentukan, maka mereka harus mengulangnya. Padahal tidak semua anak bisa berlari dengan cepat, Lia salah satunya.

Ia tidak memiliki penyakit asma atau gangguan pernafasan lainnya, tetapi ia memang tidak bisa berlari cepat. Ia mudah kelelahan. Itulah salah satu alasan mengapa Lia tak menyukai aktivitas yang memerlukan banyak gerak. Lebih baik ia diam tapi otaknya berpikir, dibanding harus bergerak sana sini.

"Absen satu sampai sepuluh siap-siap ya," suruh Bu Diah. Lia yang memiliki nomor absen 8 langsung bersiap-siap.

Ia harus berpikir positif jika ia bisa melewati ini. Semua cobaan ini akan dilewati. Hari-hari yang melelahkan ini akan ia lewati, sama seperti hari sebelumnya.

"AP semangat!" seru Bram, Prasetya, Rani, Tiara, serta Dita. Lia berterimakasih dan hanya tersenyum, lalu tertawa. Ia berusaha menghibur dirinya sendiri agar ia tak patah semangat. Ya walau susah, sih, ya.

Disaat Lia akan bersiap di depan gerbang sekolahnya, tangannya dihentikan oleh seseorang.

Lia dengan rasa gugupnya langsung menolehkan pandangannya ke tangannya, dan beralih kepada pemilik tangan yang sedang memegang pergelangan tangannya. Dewa.

"Larinya yang konstan aja, pelan-pelan. Jangan lari - jalan - lari - jalan. Semangat, Avrilia."

Setelah mengucapkan itu, Dewa langsung pergi begitu saja
dan meninggalkan Lia yang masih membeku disana. Ia tak menyangka Dewa akan menasehatinya, dan bahkan memberikannya semangat.

Lia merasa dirinya semakin semangat. Walau tidak semangat sekali, sih. Tetapi karena dukungan dari teman-temannya dan Dewa, setidaknya ia ada motivasi.

"Avrilia Priyanka?"

Lia langsung menolehkan badannya ke arah suara itu. Ah iya, ia sampai lupa kalau harus mengambil nilai lari. Gara-gara Dewa.

"Saya, Bu. Maaf."

Bu Diah hanya menganggukkan kepalanya. Dan memberi aba-aba. Tak lama dari itu, mereka sudah berlari untuk mengambil nilai.

Semua mulai menyalip satu sama lain. Hanya tersisa Lia, Sabrina, dan Savitri dibelakang. Mereka adalah kaum yang tak bisa berlari cepat.

Bahkan satu putaran pun belum selesai, tetapi Lia sudah kelelahan duluan. Nafasnya sudah terengah-engah. Padahal tadi larinya juga tak begitu cepat menurutnya.

Ia terus mengingat apa saran dari Dewa untuk berlari dengan konstan. Lia berusaha untuk berlari konstan. Walau susah. Nafasnya sudah benar-benar tidak bisa diajak berlari lagi, walau dengan perlahan.

Ia memilih untuk berjalan sebentar untuk menetralkan detak jantungnya yang daritadi sudah berdetak sangat kencang. Ia menarik nafasnya dalam-dalam, menghirup oksigen sebanyak mungkin. Ia merasa kehabisan nafas sejarang.

Setelah ia merasa detak jantungnya berdetak tidak secepat sebelumnya, ia melanjutkan larinya.

Lia merasa aneh berlari sendiri. Biasanya ia dan Dita akan berlari bersama. Karena mereka sama-sama tak bisa berlari. Walau Dita lebih ahli dari Lia, sih.

Satu putaran telah berhasil Lia lewati, sedangkan sisa waktu yang ia miliki hanya 7 menit.

Lia menengok arloji berwarna biru di tangannya, ia memperkirakan waktu yang ia perlukan.

"Oke berarti jalan bentar kaya tadi gapapa," batinnya.

Lia terus saja berlari. Ia berusaha secepat mungkin. Bahkan ia terkadang merasa hampir terjatuh.

Kepalanya sudah sangat pusing dan berdenyut. Nafasnya sudah meminta oksigen yang lebih. Tetapi Lia harus segera berlari. Gerbang sekolah sudah mulai dekat. Mungkin ia hanya memerlukan waktu sekitar 2 menit untuk sampai kesana. Dan sisa waktunya kini tinggal 4 menit.

Namun disaat ia akan berlari, tiba-tiba ia melihat Savitri dibelakangnya yang sudah berusaha mengatur nafasnya sambil berlari.

Lia tahu bahwa Savitri memiliki penyakit asma. Maka dari itu ia berada di paling belakang sekarang. Dan Lia berada di urutan kedua dari belakang.

"Vit, lo gapapa?" tanya Lia sambil menghadapkan badannya ke belakang.

"Tuh-hngghuin ghue," ujar Savitri sambil berusaha berlari.

Lia tak tega melihat itu. Ia langsung mengangguk dan berdiam diri untuk menunggu Savitri. Sekaligus ia sambil mengatur detak jantungnya.

Terlebih lagi ibunya juga memiliki penyakit asma. Ia tahu bagaimana saat ibunya terserang asma. Lia merasa sedih. Lia memang tak memiliki penyakit asma, bahkan ia tak tahu persis bagaimana rasanya saat terkena asma. Amit-amit, Lia tak ingin mendapatkannya. Tetapi jika nafasnya sudah terengah-engah seperti tadi saja membuatnya sangat susah bernafas, apalagi saat terkena asma. Amit-amit, Lia tak ingin.

Lia pun berlari pelan bersama Savitri. Lia masih di depannya Savitri. Hanya saja tidak berjarak sangat jauh.

Setidaknya Lia masih bisa memantau Savitri. Jika terjadi apa-apa, Lia masih bisa melihatnya. Walau Lia tak ingin terjadi sesuatu, tetapi hanya untuk berjaga-jaga.

Akhirnya Lia memasuki gerbang sekolahnya. Dan Bu Diah mencatat waktu tibanya Lia, 14 menit 35 detik.

Lia menghembuskan nafasnya lega. Setidaknya ia tidak terlambat. Walau hampir saja.

Tak lama kemudian Savitri datang, dan beruntung saja ia mempercepat sedikit lariannya. Kalau tidak, ia akan mengulangnya lagi.

Ia menghabiskan waktu 14 menit 58 detik. Benar-benar keberuntungan sedang berpihak pada mereka.

Lia mendudukkan dirinya di bawah pohon dekat lapangan basket. Ia meluruskan kakinya.

Teman-teman cowoknya sudah langsung tiduran di samping dirinya dan bahkan di lapangan. Ingin sekali rasanya Lia ikut menidurkan badannya juga, tetapi ia tak berani. Ini masih di sekolah.

Ia hanya bisa meluruskan kakinya dan menarik nafas dalam-dalam. Menghirup oksigen sebanyak mungkin.

"AP, nih tisu," ucap Bram sambil memberikan sekotak tisu.

Lia hanya tersenyum dan langsung menerima tisu tersebut dan mengelap wajahnya.

Ia merasa pusing dan kepalanya berdenyut. Badannya terasa lemas sekali. Ia bahkan sudah tak memiliki tenaga untuk berbicara.

"AP, muka lo merah banget," kata Prasetya sambil mengipasi Lia dengan sebuah buku.

Lia hanya tertawa seadanya dan kembali mengelap wajahnya.  Nafasnya masih terengah-engah. Ia benar-benar tak bisa berbicara untuk saat ini. Tenaga nya sudah terkuras habis.

ㅡㅡㅡ

-to be continued-

Haai! Maaf banget ya aku ngaret banget nget nget update nya🥺 lagi ada kesibukan rl yang gabisa ditinggal:(

Anw makasih udah mampir❤️
Have a great day & night! ~

Unspoken FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang