Ia hanya bisa menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Atau tidak, malunya akan semakin terekspos. Padahal dengan ia menutupi wajahnya, itu adalah bukti kalau ia sedang malu. Sangat malu.

"Acie, pipinya merah," goda Dita. Tentu dengan tatapan jahilnya.

"Mana ada!" bantah Lia.

"Hayo, coba bilang rasanya gimana?" tanya Bu Mita. PAKE NANYA, YA I'M NOT FINE LAH BU. Jawab Mita dalam pikirannya.

"Biasa aja." Ia berusaha menahan senyumnya dan malunya, tapi ia tak bisa.

"Ah, biasa aja, biasa aja. Tapi mukanya sampe merah kaya kepiting rebus." Lia hanya bisa menggeleng dan tertawa canggung atas ucapan Bu Mita itu. Bisa-bisanya gurunya itu menjahilinya disaat seperti ini? Kalau udah tau malu ngapain nanya, Bu.

"Udah, udah. Stop. Lanjut pelajaran!"

"Giliran pacar-pacaran aja, semangat! Dasar," omel Bu Mita yang dibalas cengiran oleh murid XII IPA 3.

Lia berusaha menahan malunya sebaik mungkin. Tapi tetap saja gagal.

Pipinya dia kalau sekalinya udah blushing, bakal susah hilang.

"Acie, cie. Uhuk."

Bram dan Prasetya masih saja setia menjahili Lia. Mereka mendorong-dorongkan badan Lia.

"Ngeselin banget gue punya temen, uwu nya selalu ketinggalan dirumah."

ㅡㅡㅡ

Tak terasa waktu sangat cepat berlalu. Kini sudah waktunya kelas XII IPA3 untuk mengambil nilai bernyanyi Seni Budaya.

Entah bagaimana hasilnya, Lia juga tak akan tahu. Ia sangat malu.

Selama ini ia berlatih dengan suara yang kecil, tak sebesar untuk mengambil nilai.

Ia tak terlalu memperdulikan hasilnya, yang terpenting adalah saat ia bernyanyi nanti, ia tak akan memalukan.

Sudah ada beberapa murid yang mengambil nilai. Ada yang sangat diterima oleh Bu Mita, namun ada juga yang diomeli oleh Bu Mita karena nada nya tak sesuai.

Lia semakin grogi dan keringat dingin.

Lia berlatih dengan suara kecil dan menyibukkan tangannya dengan tangan lainnya.

Jantungnya sudah berdegup tak karuan.

Kini yang sedang mengambil nilai adalah Anita. Salah satu teman kelas Lia. Anita memiliki badan yang bagus, wajah yang cantik, serta kepribadian yang cukup baik menurutnya. Rambut yang hitam panjang dan jatuh membuat wajahnya semakin cantik.

Lia merasa sedikit iri pada Anita. Pasalnya selain memiliki fisik yang bagus, Anita juga memiliki suara yang bagus.

Bahkan Lia saat ini tengah terpukau pada Anita.

"Kok bisa ya..."

Setelah Anita selesai mengambil nilai dan mendapat tepukan tangan dari murid kelas, suasana kembali tegang. Karena Bu Mita yang sedang melirik daftar nama kelas. Tentu saja untuk mencari target selanjutnya.

"Aduh, aduh, feeling gue ga enak."

Lia terus saja memiliki perasaan buruk. Apa karena ia terlalu gugup?

Tapi tidak! Ternyata perasaannya itu benar. Bu Mita menunjuknya untuk maju mengambil nilai selanjutnya.

Lia menelan ludahnya. Ia kini semakin gugup.

Bram dan Prasetya yang melihat itu langsung menepukkan tangannya ke bahu Lia.

"Ayok, AP, semangat! Bisa yok!"

Huh, setidaknya dengan semangat dari Bram, Prasetya, Dita, Tiara, dan Rani, ia bisa lebih berani.

Walau tidak sepenuhnya. Jantungnya masih saja berdegup sangat kencang.

Ia menarik nafasnya panjang dan berdiri. Berusaha tersenyum, walau susah.

"Semangat!"

Lia bersyukur mempunyai teman seperti mereka. Walau kadang uwu nya ketinggalan, kerjaannya ngajak berantem terus, tapi seenggaknya teman-temannya ini selalu menyemangatinya.

Lia kembali menarik nafasnya dan melirik Bu Mita sekilas. Dan tersenyum. Terlihatnya sih sedikit tersenyum, tapi bagi Lia itu sudah senyum yang selebar mungkin untuk saat ini.

Lia mulai menyanyikan not angka tersebut. Dengan gaya. Karena Bu Mita yang meminta nya.

Lia tak tau harus bergaya seperti apa. Ia tak terbiasa bernyanyi. Apalagi dengan tambahan gaya.

Lia hanya bernyanyi dan menaik turunkan tangannya. Memanjangkan satu tangannya, lalu memanjangkan satu tangan lainnya secara bergantian. Ia tak tau lagi harus bergaya seperti apa. Ia sangat kaku untuk hal seperti ini.

Ia bernyanyi sambil melirik ke arah teman-temannya. Lia melihat teman-temannya itu sudah menahan tawanya. Sialan.

Lia menyesal melihat ke arah teman-temannya itu. Memang akan lebih baik jika ia hanya melihat dinding kelasnya saja.

Namun ia merasa seperti ada seseorang lainnya yang menatap dirinya. Ya walau hampir sekelas kini menatapnya, namun ada satu orang yang mendapatkan fokus pandangan Lia.

Dewa.

Ia menatap Lia. Hanya sekedar menatap. Melihatnya.

"Aish, kenapa diliatin kek gitu."

Batin Lia terus saja bergelut. Ia harus melanjutkan nyanyiannya namun ia juga sudah merasa malu.

Ia kembali menatap dinding kelasnya. Walau terkadang pandangannya terus saja kembali ke Dewa.

Habisnya Dewa menatapnya dengan tatapan yang datar. Ia tak menahan tawa, namun ia memperhatikan Lia.

Setelah beberapa menit, akhirnya Lia selesai menyanyikan not angka tersebut. Ia juga mendapat tepukan tangan dari kelasnya. Hanya sekedar untuk menghargainya menurutnya.

Lia mendapat pujian sekaligus komentar dari Bu Mita. Di satu sisi ia dipuji karena nada nya yang cukup bagus. Namun di satu sisi ia dikomentari karena gerakannya yang itu-itu saja.

Kalau kata Bu Mita, ia seperti orang yang sedang mempromosikan brosur di jalanan.

Ah, kenapa Bu Mita memberikan pujian terlebih dahulu? Ini seperti Lia yang sudah mulai terbang ke langit, namun tiba-tiba ia kembali terjatuh karena komentar Bu Mita itu.

ㅡㅡㅡ

-to be continued-


Hi semuanya! Thank you! Semoga terhibur!💖

Unspoken FeelingNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ