07 - Kulit Badak

Mulai dari awal
                                    

"Ya dari kantin lah," jawab Lia santai.

"Lama banget, kek beruang hibernasi," celetuk Rani.

"Iya beruangnya lagi hibernasi di kantin soalnya," jawab Lia pada Rani. Namun ia menekankan di setiap kata nya, untuk menyindir pria yang saat jam istirahat selalu saja menduduki kursi Adi yang di sebelahnya. Siapalagi kalau bukan Dewa.

Sedangkan pria yang disindir oleh Lia itu sepertinya acuh. Ia tak peduli sama sekali.

"Kulit badak!" gerutu Lia sambil memakan sisa jajannya.

Rani dan Dita yang mendengar itu langsung kaget, "Kulit badak? Mana? Siapa?"

Lia yang tersadar bahwa ia keceplosan mengatakan itu hanya menggelengkan kepalanya sambil nyengir. "Gapapa, gue cuma iseng nyebut kulit badak. Soalnya tiba-tiba kepikiran gimana rasanya punya sandal dari kulit badak."

Rani langsung tertawa sekaligus bingung mendengar jawaban Lia. "Terus sandal kulit badaknya mau lo apain? Ga sayang kulit badak diinjek?"

"Buat nampol orang keknya enak," jawab Lia santai kepada Rani. Namun tatapannya menatap Dewa sekilas. Dan tentu saja pria itu tidak menyadarinya.

ㅡㅡㅡ

"Eh, senbud ga hari ini kan, ya?" tanya Lia panik pada Bram.

"Maksud lo? Kan jam habis ini senbud, bege!"

"Ah, maksud gue yang nyanyi." Bram menggelengkan kepalanya.

"Itu beberapa minggu depan lagi, AP. Sabar," kekeh Bram.

"Aish, gue bukannya ga sabar yang gitu. Gue belum belajar masalahnya," gerutu Lia.

Baru saja dipertanyakan, tiba-tiba Bu Mita guru seni budaya nya datang. Huh.

"Panjang umur," gumam Bram dan Lia bersamaan.

"Baik, anak-anak. Sekarang kita akan mempelajari tentang penghayatan lagu."

"Haish, gue ga bakal bisa inimah," gumam Lia.

Bla bla bla. Entah apa yang dijelaskan oleh Bu Mita. Lia mendengarnya, ia memahaminya. Namun ia yakin tak akan bisa mempraktekan itu.

"Baik, siapa yang ingin memberikan contoh?"

Semua murid langsung menolehkan pandangannya ke arah lain. Berpura-pura tidak mendengar.

Namun Lia berusaha terlihat biasa saja. Biasanya semakin dihindari, semakin menjadi santapan empuk untuk dipanggil.

Jadi Lia sebisa mungkin bersikap seperti biasa. Namun di dalam lubuk hatinya ia sangat berharap agar bukan dirinya lah yang memberikan contoh.

Ia tak akan bisa.

Deg deg deg deg

Jantung Lia berdegup semakin kencang saat Bu Mita berjalan ke arah tempat duduknya.

Sudah seperti ia berdekatan dengan doi.

Eh, memang Lia punya doi?

"Jangan gue plis, jangan gue."

"Baik, coba kamu. Nak namanya siapa?" Lia langsung menegang.

Dan ia menarik nafasnya lega. Namun tetap berusaha untuk terlihat tenang.

Yang dipilih adalah Dewa. Haha, rasakan! Batin Lia rasanya ingin menertawai Dewa saat itu juga.

"Saya?"

Seisi kelas langsung tertawa mendengar itu. Ya iyalah Dewa, siapalagi?

"Ya kamu. Masa setan."

"Hiih, dia kan emang setan," batin Lia.

"Dewa, Bu."

"Oke, Dewa. Sekarang coba panggil nama seseorang yang kamu suka, dan tunjukkan seolah-olah kamu sedang menembaknya. Tunjukkan dengan penuuuhhh perasaan," suruh Bu Mita dan seakan-akan Bu Mita lah yang sedang dalam asmara.

Deg

Jantung Lia rasanya semakin berdegup kencang. Entah apa yang ia rasakan. Ia juga tak tahu. Perasaannya saat ini campur aduk. Pokoknya banyak perasaan yang sedang ia rasakan saat ini. Sudah seperti nasi campur yang seharga 20.000.

Rani dan Dita langsung menyenggol-nyenggolkan lengan Tiara. Sedangkan Tiara hanya malu.

"Hah, asli, muka nya gedegin banget," batin Lia.

Namun ia tetap saja menggoda Tiara dengan tatapan jahilnya. Mereka secara bergantian menatap Dewa dan Tiara.

Tak ada jawaban dari Dewa. Ia hanya berdiam diri.

Namun tak lama kejahilan itu berlangsung, karena Bu Mita mengucapkan sesuatu.

"Nama kamu siapa, Nak?" Lia terkejut saat Bu Mita menyentuh bahunya.

Deg

ㅡㅡㅡ

-to be continued-

Hi hi! Thank you semuanyaa!💖

Hayolo, Lia disuruh ngapain😳

Unspoken FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang