LEONA 🌻 16

122 30 64
                                    

Jangan lupa tinggalin jejak kalian sebelum membaca.

Kalo ada yang typo/kesalahan dalam penulisan, langsung komen aja ya.

° • ° • ° • ° • ° •

° • ° • ° • ° • ° •

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

duk duk duk

"Melati! Keluar kamu!" Aarghh! Siapa sih yang menggedor pintu kamarku di jam segini?

Aku segera beranjak dan pergi membuka pintu. Ternyata Papa yang mengganggu ketenanganku saat ini. "Kamu berani natap Papa kamu kaya gitu, hah?! Mana sopan santun kamu?!"

Hei, apa kalian tahu? Aku tak lagi berpikir bahwa mereka berdua adalah orang tua yang layak ku hormati. Bahkan untuk menatap mata mereka pun, kini aku berani. Ternyata, begini ya rasanya menantang?

Bukan maksud untuk mengajari kalian hal negatif, tapi ... ah, kalian tahu maksudku bukan? Aku ini hanya seorang boneka, bagaimana bisa aku menghormati mereka yang memperlakukan ku dengan semena-mena?

"Apa?" tanyaku dengan suara dingin dan wajah datar. Lalu Papa melayangkan tangannya, lebih tepatnya menampar pipiku. Bekas tadi sore saja masih ada, sekarang sudah bertambah lagi.

"Kamu gak tahu sopan santun ya!"

"Papa mau Melati salim? Ya sudah." Aku langsung mengambil tangan kanan Papa untuk bercium tangan, namun Papa sudah menarik tangannya terlebih dahulu.

Lalu Papa mendorong tubuhku secara tiba-tiba untuk duduk dan memegang kedua rahangku dengan kuat.

"Denger ya, saya sebagai Papa kamu hanya menginginkan satu, kamu harus jadi anak yang sempurna. Kamu wajib membanggakan saya, kamu wajib mematuhi saya, kamu wajib menuruti apa pun perintah saya, dan apa yang semua saya katakan, wajib kamu laksanakan. Paham kamu?"

Aku menggeleng dengan kuat dan berusaha untuk menahan tangis. "Anak perempuan itu tidak boleh cengeng!" Ah, sial! Papa menekan kedua rahangku terlalu kuat hingga aku meringis kesakitan.

"Paham kamu, Melati?"

Aku langsung memberontak dengan kuat. Setelah itu aku berdiri dan melangkah mundur dengan perlahan sambil berkata, "Papa kenapa sih, tiba-tiba kayak gini sama Melati? Dulu Papa gak ada tuh, sampai ngekang Melati kayak gini. Bahkan Papa gak pernah memperlakukan Melati secara kasar seperti ini. Terus, kenapa sekarang Papa berubah?"

plak

Satu tamparan keras, lagi lagi mengenai pipiku. Rasanya panas, perih, hingga aku merasa kaku tak bergerak. Dan saat itu juga, air mataku mentes. Tak mampu terbendung lagi.

"Pa?" tanyaku memelas dengan air mata yang mulai meluncur. "Ini Melati, Pa. Bukan orang asing," ucapku dengan suara parau sambil memegang pipi.

"Melati yang saya kenal itu tidak seperti ini. Dia anak yang patuh, cerdas, bahkan menghormati orang tuanya. Bukan seperti yang saya lihat saat ini. Bodoh, kasar, bahkan terlihat seperti anak yang tak terurus. Kamu tahu kan, kalau cari uang itu susah? Terus kenapa kamu buang-buang uang?"

L E O N A [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang