38. Sayang kamu

15.7K 2K 102
                                    

Selamat membaca.

***

Danu membuka mata dan dia mendapati ibunya duduk di sofa yang terletak di sudut ruangan sedang memainkan ponsel. Seingatnya semalam Firly datang dengan Julia. Sepupunya itu pasti mencari tempat tidur yang lebih nyaman dibandingkan di ranjang tambahan rumah sakit kecil seperti ini.

"Sudah bangun? Mau sesuatu?" Firly langsung berdiri dan menghampiri Danu.

Danu menggelengkan kepala lalu memejamkan matanya kembali. Efek kecelakaan itu tidak banyak, tetapi belakangan dia memang memiliki banyak tekanan dan ini seperti dia diberi hari libur paksa yang harus dia manfaatkan dengan baik. Rasanya tidak terlalu buruk--kecuali bagian dia tidak dapat melihat Dara. 

"Kamu sudah boleh pulang karena lukanya tidak terlalu serius dan kita jelas bisa mendapatkan perawatan yang lebih bagus di rumah sakit yang lebih bagus juga. Tapi, kita harus menunggu sampai siang karena supir kita sedang diculik Julia. Anak itu tidak pernah tidak menyusahkan." Firly mengakhiri kalimatnya dengan senyuman palsu.

Danu ikut tersenyum. "Apa mereka menemukan ponselku?"

"Danu ... ayolah. Masih jam 7 pagi dan kamu sudah mencari ponsel? Kamu bukan CEO dari perusahaan yang jam kerjanya 25 jam sehari!" Firly berucap dengan sinis lalu duduk di tepian ranjang. Tangan kanannya mengelus pelan tangan sang anak. "Istirahatlah. Kecelakaan ini mungkin peringatan dari Tuhan kalau kamu juga butuh istirahat."

"Mami membahas Tuhan? Wow!" 

Firly tertawa dengan ejekan Danu. Namun, sedetik kemudian, wajahnya menegang setelah melihat ekspresi tidak bersahabat di wajah Danu. 

"Mami harus menemukan ponselku. Sebelum seseorang menemukannya dan membuka isinya!" geramnya dengan mata sedikit memicing.

***

Pintu diketuk, tetapi Dara merasa itu bagian dari mimpinya. Dia membiarkannya saja. Namun, suara semakin kuat dan akhirnya, dia seperti terbangun paksa yang membuat kesadarannya menjadi 100% diiringi dengan denyutan sakit di kepala bagian belakangnya. 

"Astaga ...." Dara merasa tidak enak badan. Setelah semalaman menangis dan meratapi nasib, pagi atau mungkin siang ini, dia terbangun dengan kepala yang sakit, hidung tersumbat, dan tubuh sedikit panas. 

"Mbak Dara ... Mbak ... Mas Danu nelepon!!! Mbak Dara ...."

Ketukan serta teriakan itu terdengar lagi.

"Iyaaaa .... Suruh Mas Danu nelepon ke ponsel saya aja, Bik!" Dara balas terberiak. Dia bergerak perlahan untuk duduk lalu menarik napas panjang. Sebelah tangannya bertumpu di ranjang, sebelah lagi mengelus perutnya yang buncit.

"Seenggaknya, Papa sayang kamu, Baby," bisiknya, diiringi air mata yang kembali menetes. Mudah sekali membuatnya menangis karena hatinya masih begitu sendu.

"Mbaakkk ...."

"Suruh telepon ke hp saya!"

"Tapi, kata Mas Danu hp mbak nggak aktif!"

Dara mengerutkan kening lalu mengecek ponselnya. Benar, tidak aktif. Aneh karena dia tidak lama menggunakannya semalam. Dara mengecas ponselnya lalu berjalan menuju pintu. "Terus gimana?" tanyanya pada sang ART.

ART itu langsung menyodorkan ponselnya ke Dara, yang saat melihat layarnya, Dara tahu panggilan Danu masih aktif. Dengan tangan bergetar dan jantung yang berdetak kencang, Dara mengambil ponsel itu.

"Ya, Mas?" tanyanya dengan suara pelan, berusaha agar Danu tidak sadar kalau dia sedang menangis. Sesuatu yang sia-sia karena Danu langsung menebak dengan tepat.

"Kamu menangis? Itu cuma kecelakaan kecil Dara. Aku masih hidup, meski sedikit lecet di kaki yang artinya, mungkin aku tidak akan bisa menggendong kamu untuk beberapa lama."

"Mas!" Dara kaget dan secara spontan dia melirik sang ART. Untungnya, panggilan itu tidak dispeakerkan. Dara menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya dan berbicara pada sang aRT. "Mbak, saya pinjam dulu hpnya ya? Nanti kalau sudah selesai, saya kasih tau."

ART itu mengangguk lalu beranjak pergi. Dara menutup pintu dan kembali duduk di atas ranjang.

"Mas udah sarapan?" Dara mencoba berbasa-basi, seolah dia belum mengetahui skandal Danu.

"Tumben kamu bertanya. Tapi, apa kamu sudah sarapan? Jangan bilang sudah karena kata Bibik tadi belum."

Dara mengerucutkan bibirnya ke bawah sambil memainkan jemarinya di tumpukan selimut. "Aku baru bangun," jawabnya jujur.

"Syukurlah kamu bisa tidur dan justru lebih lama dibanding biasanya. Aku sedang dalam perjalanan, tapi mungkin tidak akan ke rumah. Aku butuh pemeriksaan lebih serius dan mungkin dirawat intensif beberapa hari. Jaga-jaga. Kamu di rumah saja. Rumah sakit tidak baik untuk ibu hamil dan memang tidak akan ada yang bisa kamu lakukan kalau kamu datang. Aku butuh kamu istirahat dan menjaga anak kita dengan baik. Bisa dipahami?"

Dara mengangguk. 

"Dara?"

"Eh ... iya. Aku paham, kok."

"Makanlah. Bibik membuatkan kamu makanan yang sedikit lebih berasa dibanding biasanya mumpung Mami tidak di rumah. Ada tahu kuah kesukaanmu dengan ekstra dedaunan itu. Sekali. Hanya sekali. Agar kamu lahap setelah begadang sampai jam ...."

"Jam 3." Dara menjawab dengan jujur.

"Itu buruk sekali, Dara. Harusnya kamu tidak begadang kalau bukan karena aku."

"Aku ..." Dara menarik napas, karena berakting memang butuh kekuatan super. Sesuatu yang tidak biasa dia lakukan, terutama dengan lelaki yang sepertinya memiliki indra keenam karena mudah sekali menebak sesuatu. "Aku kaget dengar Mas kecelakaan dan cuma tau itu aja. Aku bingung. Aku ...."

"Sudahlah. Sarapan sampai kenyang, mandi, lalu kalau mau tidur ya tidur lagi. Hari ini kamu dimaafkan kalau menjadi pemalas."

Dara tersenyum, meski air matanya kembali menetes. Meski tidak mengungkapkannya secara terang-terangan, ada bagian dari dalam diri Dara percaya Danu menyayanginya. Mungkin bukan cinta. Tetapi, lelaki itu memiliki perasaan padanya. Dan ... Danu adalah sosok paling penyayang yang pernah Dara temui, bahkan melebihi ayah Dara sendiri.

"Terbiasa dilarang terlalu banyak makan dan tidur, membuat perintah Mas terasa aneh. Tapi, aku memang sudah lapar. Ngomong-ngomong, Mas belum jawab. Mas sudah makan?"

"Sudah."

"Minum obat?"

Danu tertawa sambil berkata, "Sudah."

"Laki-laki sekuat Mas pasti mudah meminum obat, ya kan. Apa ... apa Mas baik-baik aja? Apa kecelakaannya parah? Apa ... Mas mau menceritakan masalah kecelakaan itu, agar aku tau sesuatu?"

Danu terdiam dan itu membuat kepala Dara sibuk menduga-duga. Dia bahkan harus menggigit bibir bawahnya agar isakannya tidak terdengar ke seberang sana. "Mas?"

"Jangan menangis, Dara. Aku baik-baik saja. Sudah, sarapan sana."

"Aku sayang Mas."

Dara mengucapkan itu beriringan dengan suara yang muncul saat panggilan diakhiri. Tangis Dara lolos. Itu benar, dia menyayangi Danu, bahkan mungkin mencintai. Rasa sakit yang dia rasakan begitu nyata. 

Tidak. Dia tidak mau kehilangan Danu. Dia tidak mau berbagi dengan wanita mana pun meski seinci tubuh suaminya itu. Ini tidak benar. 

Dara akan bertahan meski benar, Danu telah selingkuh. Dia akan berjuang mempertahankan rumah tangganya. Danu adalah pria baik yang menjunjung tinggi makna keluarga. Dia pasti akan lebih memilih Dara yang merupakan istri sahnya serta anak yang sebentar lagi akan lahir ini. 

Dara menghapus air matanya, lalu menarik napas panjang. Danu mungkin melarang, tapi hanya satu perempuan yang Dara kenal, yang sangat khatam akan perselingkuhan. Dan wanita itu, dia pernah menjadi bagian dari kehidupan ranjang Danu.

Dara membutuhkan Lucy. 



NB

DaraOn viuen les histories. Descobreix ara