57

21.1K 1.8K 185
                                    


Selamat membacaaa

***

Tidak mau dibuat kepikiran, Danu memutuskan untuk menjemput jawaba. Dia memesan tiket menuju kota di mana Laras kuliah, seorang diri. Dia tidak mau masalah ini melebar ke mana-mana.

Begitu sampai, dia langsung naik taksi menuju ke kampus Laras karena menurut pemantauannya, hari ini Laras sedang ada kelas. Dia menunggu dengan perasaan tidak menentu. Bukan karena dia sedang dikuasai amarah, dia hanya tidak siap kecewa lagi dan lagi. Uang baginya tidak masalah, tapi kesetiaan, kepedulian, dan ketulusan, itu sulit sekali dicari. Dia tidak sedang mengharapkan skandal baru, terutama dari adik iparnya sendiri. 

"Udah lama, Mas?" Laras menghampiri Danu. Dia menarik kursi lalu meletakkan tasnya sebelum menduduki kursi itu. 

"Baru," jawab Danu sambil tersenyum. Matanya spontan menatap ke arah leher Laras, memastikan benda itu ada di sana. 

"Mbak Dara tau Mas di sini?"

Danu menggelengkan kepalanya. "Dia tidak pernah tau jadwalku. Dan aku memang tidak memberi tahu agar dia tidak heboh. Aku takut dia jadi ingin ikut, padahal kandungannya sudah sangat besar."

"Ah iya benar. Keponakanku sebentar lagi lahir. Duh ... jadi nggak sabar. Btw, Mas mau sekalian makan nggak? Udah mesan?"

Danu menggelengkan kepala. "Aku ada pertemuan dengan kolega. Langsung saja, aku mampir ke sini karena ingin bertanya secara langsung mengenai kalung yang kamu pakai."

Laras tersenyum lalu memegang bandul kalung itu, tidak menampakkan raut bersalah. "Kenapa kalungnya, Mas?" tanyanya.

"Jadi, uang yang kutransfer kamu belikan itu?"

Gantian, Laras yang menggelengkan kepalanya. "Ya enggak lah. Mubazir. Uang dari Mas aku gunain untuk buka usaha kecil-kecilan supaya dananya berputar. Aku nggak mau bergantung sama Mas terus. Dan kalau-kalau Ibu," Laras membentuk tanda kutip dengan jadi tengah dan telunjuknya, "kumat lagi, aku udah bisa bantu sedikit-sedikit. Termasuk Andika." Dia menambahkan dengan cepat.

"Ah ... syukurlah." Danu mengangguk-angguk pelan dengan tatapan intens seakan menyelidik. Matanya memicing.

"Okay, cukup basa-basinya, Mas. Kalung ini kalung Mbak Dara. Benar. Dan sekarang kupakai, dengan sengaja, karena aku ingin menantang siapa pun yang ingin menjebakku. Kalung ini ada di tasku. Aku kaget. Tapi, alih-alih panik, aku sengaja terus memakainya untuk menantang siapa pun pelaku aslinya. Karena pencuri tidak pernah memamerkan barang curiannya."

Kini, senyum Danu melebar. Adik iparnya yang satu ini memang berbeda. Andika, dia anak mami yang merepotkan. Selalu membuat ulah, tidak punya bakat, dan manja. Sedangkan Laras, dia cerdas, manipulatif, berani, dan penuh perhitungan. 

"Bagaimana kalau ..." Danu yang tadi duduk dengan sikap tubuh santai, kini menegakkan tubuhnya. Tangannya telah bertumpu di atas meja, "Bagaimana kalau ternyata kamu memang mencurinya dan berakting seolah kamu ingin menantang pencuri hanya agar kamu tidak dicurigai sebagai pencuri aslinya?"

Laras menyunggingkan senyumannya ke bawah. Dia mengangguk. "Ide bagus. Tapi, aku tidak akan mau repot-repot berbuat jahat secara ganda seperti itu. Mas bersedia mengirimkan uang untukku karena aku kesayangan Mbak Dara. Mbak Dara rela memberikan kepadaku apa pun yang dia punya karena aku kesayangan Mbak Dara. Jadi, kenapa aku harus repot-repot?" tanyanya. "Sekadar informasi tambahan bagi Mas, yang berusaha menyingkirkan aku dari rumah itu bukan cuma satu orang. Semua, kecuali Mas dan Mbak Dara. Nina diperas oleh Julia dan dia memberikan kalung ini pada Julia. Lalu, entah bagaimana kalung ini sampai padaku. Yang jelas, kutebak, Ninalah yang mengadu kepada Mas karena Nina memang sedang ditekan oleh Julia yang mengaku kehilangan kalung ini."

"Maksudmu ... Nina yang mencurinya dari kamar Dara? Dari kamar kami?"

"Menurut pesan yang sering Nina kirimkan ke Julia sih ... begitu."

"Dari mana kamu bisa tahu?"

"Dari ... perangkat Nina yang kubajak. Adik Mas itu modern, tapi juga kolot. Dia membiarkan aku memegang ponselnya dan tidak sadar aku sudah membajaknya. Jangan sungkan bilang ke aku kalau Mas butuh bukti." Laras mengangkat tangannya, melirik jam yang bertengger di sana. "Ah, sudah mau masuk ke jam berikutnya dan kebetulan aku ada presentasi. Harus ke kelas sekarang."

Laras berdiri lalu kembali memakai tas ranselnya. "Jangan lupa, Mas, dicari tau apa yang terjadi sebenarnya. Karena jujur saja, aku tidak suka difitnah seperti ini. Sekeji ini."

***

"Sial!!!" geram Danu di mobil dalam perjalanan menuju ke bandara. Dia kembali kecewa ... dan berulang kali, dilakukan oleh orang terdekatnya. 

Danu bisa melihat sang supir taksi melirik dari spion tengah. Dia tidak berniat menjelaskan. Dia menarik napas panjang lalu menatap ke luar jendela. Dua adiknya saling berbuat licik di belakangnya. Entah untuk apa. Rahasia yang dikatakan Laras itu, pasti rahasia mengenai Nina yang kencan dengan ayah dari sahabatnya. Danu sudah mengetahui itu. Dia sendiri yang turun tangan memberi pelajaran pada pria yang lebih tua darinya itu dan setahunya hubungan mereka memang tidak berlanjut.

Malahan Nina sedang dalam masa berduka karena selain akhirnya dijauhi oleh sang sahabat, lelaki tua itu pun akan segera menikah dengan wanita yang lebih cocok dengannya secara usia. Nina dicampakkan. 

Lalu, kenapa Julia memeras?

Atau ada rahasia lain lagi? Memangnya apa yang lebih buruk dari skandal Nina dengan orang yang lebih cocok menjadi ayahnya itu???

Dan Julia ... dia pasti memeras bukan karena uang. Alasannya pasti lebih dari sekadar pundi. Yang Danu takutkan, semua ini memang sudah Julia rencanakan. Julia sedang ingin membuat Nina dan Laras bermusuhan, karena seingat Danu, adik dan adik iparnya itu memang agak akur belakangan.

"Pak, sudah sampai."

Danu sibuk berpikir sampai tidak terasa dia pun tiba di bandara. Setelah membayar, dia segera keluar dari taksi itu dan berjalan sambil menyusun rencana berikutnya. Mungkin benar ucapan ibunya, dia harus segera mengusir Julia dari hidupnya.

Sudah cukup toleransi yang Danu berikan atas masalah-masalah yang Julia hadirkan. Dia tidak mungkin terus menjadi pelindung Julia, di saat wanita itu sudah cukup dewasa dan seakan tidak pernah lelah membuat masalah. Lagi pula, kalau dia terus mempertahankan niatannya untuk menjadi pelindung Julia, dia bisa merusak Nina semakin parah, juga membuat Dara semakin jauh darinya.

Menarik napas panjang, Danu menguatkan tekad. Sepulang dari kota ini, dia akan memastikan Julia benar-benar tidak berkutik. Demi Tuhan, dia hanya ingin hidup tenang.




NB

DaraWhere stories live. Discover now