42

13.6K 1.9K 104
                                    


Sesuai janji, hari ini Dara berkunjung ke rumah sekaligus toko orang tuanya. Susah payah akhirnya dia mendapatkan kesempatan ini. Selama sakit dan beristirahat di rumah, Danu tidak pernah membiarkan Dara beranjak dari sisinya. Awalnya Dara menjalani hal itu dengan ikhlas dan tentu saja, perasaan berbunga-bunga. Sejak menikah mereka tidak pernah berduaan dalam waktu lama sekadar untuk saling diam dan menghabiskan waktu bersama. Selalu saja ada orang lain. Anehnya, saat Danu sakit, Julia tidak berkunjung, mertuanya sering keluar rumah, dan kebetulan, Nina pun banyak kegiatan sekolah. Namun, situasi itu membuat ruang gerak Dara terbatas. Untuk membaca pesan Lucy saja, Dara harus menunda-nunda.

"Jadi, gimana?" tanya Dara saat memasuki kamarnya. 

Dara curiga ibunya terlalu setia pada Danu. Saat suaminya itu sakit, ibu Dara rajin sekali menanyakan kabar bahkan tidak menyinggung berita di koran sama sekali. Seolah tidak terjadi apa pun. Entah ibunya tidak membaca koran dan mendengarkan omongan orang-orang, atau hanya tidak peduli. Karena itu, dia sengaja mengatur janji temu saat ibunya ada kegiatan di luar rumah. Dengan bantuan seseorang yang menyamar menjadi pembeli dan mengalihkan perhatian ayah Dara, Lucy pun naik ke lantai atas dan masuk ke kamar Dara.

Lucy menutup buku di hadapannya dengan cepat. "Astaga, ngagetin aja!" 

"Kamu baca apa?"

"Hah? Enggak. Tadi aku ambil buku di sini sembarangan dan nulis daftar kerjaan yang harus kukerjain. Astaga ... perut kamu udah gede banget! Udah berapa bulan sih? Enam, ya?"

Dara tersenyum lebar, membiarkan Lucy yang duduk di kursi meja belajar mengelus perutnya. Dia memperhatikan itu, senyum yang tidak sampai membuat sudut mata mengerut. Hal yang belakangan mulai khatam dia pelajari, memindai raut lawan bicara untuk menilai emosinya. Hal itu benar-benar berguna. Contohnya sekarang, dia bisa merasakan bagaimana senyum Lucy terasa kosong. Hampa. Palsu. Temannya itu berakting seolah biasa saja baginya belum memiliki anak. Padahal ... dia merindukan pelengkap kebahagiaan itu.

"Kata dokter perempuan," bisik Dara.

"Oh ya? Pasti dia cantik kayak kamu."

Tawa kaget Dara hampir membuatnya tersedak. Semenjak menikah dengan Danu, kata cantik sering dikaitkan dengannya. Tentu saja sulit baginya untuk percaya karena sebutan itu jarang sekali disematkan padanya sebelumnya. Seolah pujian itu hanya kata yang digunakan untuk basa-basi agar dia senang.

"Kebiasaan. Ngeyel! Semoga, meski cantiknya niru kamu, keras kepala dan rendah dirinya enggak. Malah narsis kayak aku, tantenya." Lucy tersenyum lebar sambil berdiri dan menarik Dara untuk ikut duduk bersamanya di tepi ranjang.

"Oke, Bu Danu, karena pertemuan kita singkat, jadi langsung aja, ya. Aku masih baru dalam hal detektif-detektifan begini, jadi informasinya nggak terlalu banyak. Aku ngasih jawaban utama dulu. Masalah kamu sekarang kan kamu curiga Danu ada WIL? Aku cek ke beberapa orang teman Danu, ke tempat dia biasa nongkrong sama temennya, juga selidiki dari beberapa orang, bisa dipastikan Danu enggak begitu."

Meski ucapan Lucy sesuai apa yang Dara harapkan, dia tidak bisa berpuas diri karena di dalam hatinya, masih ada keraguan. Entah mengapa, dia masih merasa ada sesuatu yang salah.

"Dan ... masalah kecelakaan itu ... dia besar kemungkinan sedang bersama calon istri Pak Brata."

"Hah? Tua Bangka--" Dara menutup mulutnya agar suara memekiknya terhenti, serta ucapan tidak sopannya tidak berlanjut. "Maksud kamu Mas Danu selingkuh dengan istri Pak Brata?"

Kepala Lucy menggeleng dengan cepat. "Semobil belum tentu selingkuh. Aku pernah bilang gini nggak sih?! Hati-hati kamu! Perkataan adalah doa. Kamu sering bilang begitu, kalau misalkan awalnya nggak begitu dan akhirnya Danu beneran selingkuh, sedikit banyaknya kamu ikut andil!"

DaraUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum